Menjamin Industri Halal Melalui UU JPH (?)
Kolom

Menjamin Industri Halal Melalui UU JPH (?)

UU JPH ini adalah kabar baik bagi kita semua, yaitu konsumen dan pelaku usaha, sebagai awal dan batas yang jelas bermulanya interaksi positif produsen-konsumen yang menguntungkan kedua belah pihak.

Bacaan 2 Menit
Foto: http://bplawyers.co.id/
Foto: http://bplawyers.co.id/

Dua puluh lima September lalu, DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) untuk memberikan jaminan hukum mengenai kehalalan suatu produk, yang dibuktikan dengan sertifikat halal. Indonesia, sebagai negara yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia, adalah pasar potensial penduduk dunia yang tentu saja memiliki kepentingan menjaga masyarakatnya mendapatkan perlindungan dan jaminan kehalalanproduk yang dikonsumsi.

UU JPH sangat berhubungan dengan aktivitas bisnis di Indonesia, impor maupun ekspor. Aktivitas untuk memastikan produk tersebut halal melingkupi segi suplai bahan, proses produksi, penyimpanan, pengemasan, distribusi, penjualan hingga penyajian produk.

Dalam RUU JPH disebutkan bahwa produk yang memasuki, bersirkulasi dan diperdagangkan di wilayah Indonesia, wajib memiliki sertifikat halal. Sedangkan definisi dari produk tersebut adalah barang dan/atau jasa yang berhubungan dengan makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, produk kimia, produk biologis, produk rekayasa genetik dan barang-barang yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh publik. Lebih lanjut disebutkan, produk halal adalah produk yang telah dideklarasikan halal menurut syariah Islam.

Secara garis besar, RUU JPH mengatur hal-hal sebagai berikut: penyelenggaraan JPH dan penyelenggara JPH; Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH); syarat dan prosedur pelaku usaha dalam sertifikasi JPH; pengawasan terhadap produk halal; dan penegakan hukum terhadap penyelenggaraan JPH.

PenyelenggaraanJaminan Produk Halal
Pemerintah mengorganisir jaminan produk halal dengan membentuk BPJH yang berkerjasama dengan menteri dan/atau badan-badan yang berhubungan, Lembaga Penjamin Halal (LPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bentuk kerjasama antara BPJPH dengan LPH adalah untuk menginspeksi dan/atau menguji kehalalan suatu produk. Sedangkan,lingkup kewenangan MUI adalah Sertifikat Audit Halal; Penentuan status halal suatu produk; dan akreditasi dari LPH.

Nantinya LPH ini dapat didirikan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. Namun, khusus LPH yang didirikan oleh Masyarakat harus diajukan oleh lembaga keagamaan Islam yang berbadan hukum.

Bahan dan Proses Produksi Halal
Bahan yang digunakan dalam proses produksi halal mencakup bahan mentah, bahan olahan dan bahan-bahan tambahan. Bahan-bahan ini bisa didapatkan dari hewan, tanaman, mikroba atau bahan olahan kimia, biologis atau proses rekayasa genetik yang pada dasarnya halal kecuali yang sudah ditetapkan haram menurut syariah Islam yaitu bangkai, darah, babi, dan/atau binatang yang tidak disembelih sesuai syariah Islam.

Lokasi, tempat, dan peralatan proses produksi halal harus dipisahkan dari lokasi, tempat, peralatan untuk penyembelihan, proses, penyimpanan, pengemasan, distribusi, penjualan, dan penyajian produk yang tidak halal. Lokasi, tempat, dan peralatan tersebut harus tetap bersih, higienis dan bebas dari najis dan material yang tidak halal.

Kewajiban Pelaku Usaha
Pelaku Usaha yang menyerahkan permohonan sertifikat halal harus:

  1. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur
  2. Memisahkan lokasi, tempat, peralatan untuk penyembelihan, proses, penyimpanan, pengemasan, distribusi, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak halal
  3. Mempunyai pengawas untuk produk halal
  4. Memberikan laporan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH

Pelaku Usaha yang telah mendapatkan sertifikat halal, wajib melakukan:

  1. Mencantumkan label halal pada produk yang telah mendapatkan sertifikat halal
  2. Mempertahankan kondisi kehalalan produk yang telah mendapatkan sertifikat halal. Ketidakpatuhan terhadap peraturan ini akan dikenakan sanksi penjara selama minimal 5 (lima) tahun atau ganti rugi sebesar Rp. 2.000.000.000 (dua miliar Rupiah).
  3. Memisahkan lokasi, tempat, peralatan untuk penyembelihan, proses, penyimpanan, pengemasan, distribusi, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak halal
  4. Memperbaharui sertifikat halal yang sudah tidak berlaku
  5. Memberikan laporan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH

Pelaku Usaha yang memproduksi produk dari bahan-bahan yang tidak halal, tidak diikutsertakan dalam penyerahan permohonan sertifikat halal. Namun demikian, Pelaku Usaha tersebut harus mengikutsertakan informasi produk yang tidak halal.

Dalam jangka waktu lima tahun sejak UU JPH diundangkan, maka setiap pelaku usaha yang produknya masuk dalam definisi produk dalam UU JPH, wajib melakukan registrasi sertifikasi halal. Jika tidak, akan dikenai sanksi administratif berupa penarikan produk dari peredaran.  

Sedangkan untuk Produk dari luar negeri (impor) yang akan diedarkan di Indonesia wajib untuk memiliki sertifikat halal dari lembaga sertifikasi halal di negara asalnya, sepanjang Lembaga Sertifikasi Halal tersebut telah melakukan kerjasama dengan pemerintah dan saling pengakuan.

Prosedur untuk Mendapatkan Sertifikat Halal
Permohonan sertifikat halal diserahkan ke BPJPH dan disertakan dokumen-dokumen sebagai berikut: informasi bisnis; nama dan jenis produk; daftar produk dan bahan yang digunakan; dan proses produksi:

Setelah dokumen diterima, BPJPH akan menentukan bahwa LPH akan menginspeksi dan/atau menguji apakah produk tersebut halal atau tidak. Penentuan dari LPH akan dilakukan dalam kurun waktu lima hari kerja sejak penerimaan dokumen dinyatakan lengkap. Inspeksi dan/atau pengujian dari produk tersebut akan ditentukan oleh pemeriksa halal di lokasi bisnis dan proses produksi.

LPH memberikan hasil inspeksi dan/atau uji produk kepada BPJPH yang mana akan meneruskan laporan kepada MUI untuk ditindak lanjuti mengenai ketentuan dari kondisi halal atau tidaknya produk tersebut. MUI akan menentukan hal tersebut melalui sidang fatwa yang akan dilakukan dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak laporan diterima. Ketentuan dari MUI akan diberikan kepada BPJPH untuk digunakan sebagai dasar pembuatan sertifikat halal dalam kurun waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak laporan diterima. Sertifikat tersebut berlaku selama 4 (empat) tahun sejak penerbitan sertifikat.

Pelaku Usaha yang telah mendapatkan sertifikat halal wajib memberikan label halal pada kemasan dan beberapa bagian/tempat produk tersebut yang dapat dengan mudah dilihat dan dibaca serta tidak dengan mudah dihapus, diambil dan dirusak. Pelaku Usaha yang memberikan label namun tidak sesuai dengan ketentuan ini akan dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pencabutan sertifikat halal

Ketentuan-ketentuan Peralihan
Sertifikat halal yang sudah dikeluarkan oleh MUI sebelum Undang-undang Halal akan tetap berlaku sampai tanggal yang tertera. Sebelum BPJPH berdiri, penyerahan permohonan pembaharuan sertifikat halal dilakukan sesuai dengan prosedur untuk memperoleh sertifikat halal yang berlaku sebelum RUU JPH terdaftar.

Peraturan Pelaksana
RUU JPH dimandatkan untuk pengeluaan beberapa peraturan pemerintah untuk mengatur:

a.    kewenangan BPJPH dan kerjasamanya dengan menteri,
b.    agen yang berhubungan, LPH, dan MUI.
c.    lebih lanjut mengatur tentang LPH,
d.    proses produksi halal, sertifikat halal,
e.    kerjasama internasional,
f.     prosedur registrasi sertifikat halal; dan
g.    supervisi dan tipe dari produk sertifikat halal.

Selain itu, sebagai turunan UU JPH akan diterbitkan beberapa peraturan menteri untuk mengatur:

a.    prosedur pemberlakuan sanksi administratif,
b.    pengaturan lebih lanjut untuk supervisi halal,
c.    prosedur permohonan sertifikat halal,
d.    prosedur penunjukkan LPH,
e.    pembaharuan sertifikat halal,
f.     manajemen keuangan BPJPH, dan
g.    apresiasi terhadap partisipasi aktif publik dalam melakukan pengawasan JPH.

Terlepas dari pro kontra terkait tudingan UU JPH menyuburkan monopolisasi sertifikasi halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau kekurangan terhadap UU JPH lainnya, kelahiran UU JPH patut diapresiasi sebagai langkah konkret dari negara dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat muslim. UU JPH jelas ditujukan kepada pelaku usaha muslim dan non-muslim, baik di dalam negeri dan di luar negeri yang produknya dipakai, digunakan dan dimanfaatkan di Indonesia.

Di sisi lain, pelaksanaan UU JPH nantinya diharapkan agar tidak menjadi batu sandungan bagi pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya. Yang tentu menjadi perhatian adalah bagaimana mengisolasi proses JPH dari biaya pungli serta penerapan kebijakan yang berbelit-belit sehingga terucap kata “mahal” dan “lama” sertifikasi halal di Indonesia.

Penyelenggaraan JPH sebagaimana diuraikan, akan melibatkan berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta hingga masyarakat. Penerbitan peraturan-peraturan pelaksana yang menjadi turunan UU JPH pun jangan sampai tertunda karena akan menjadi kendala bagi efektivitas UU JPH itu sendiri.

Akhirnya, UU JPH ini adalah kabar baik bagi kita semua, yaitu konsumen dan pelaku usaha, sebagai awal dan batas yang jelas bermulanya interaksi positif produsen-konsumen yang menguntungkan kedua belah pihak. Produsen memiliki ketetapan aturan dan definisi produknya, dan konsumen mendapatkan perlindungannya.

Di sisi lain, masyarakat muslim harus meningkatkan perhatian dan lebih mawas diri dalam mengkonsumsi kehalalan suatu produk, terlepas dari ada atau tidaknya sertifikat halal, menjadi halal auditor pribadi masing-masing. Karena yang terpenting bukanlah mengkonsumsi produk yang bersertifikasi halal, namun konsumsi terhadap produk halal sesuai dengan syariat Islam. Wasalam.

* Konsultan Hukum pada Kantor Hukum BP Lawyers / Ketua Umum Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia (JPMI) Wilayah DKI Jakarta Raya  

Tags:

Berita Terkait