Meninjau Ulang Peninjauan Kembali
Resensi:

Meninjau Ulang Peninjauan Kembali

Sangat kaya analisis dan kritik membangun. Mungkin satu-satunya buku di Indonesia yang membahas secara mendalam hubungan PK dengan ne bis in idem.

Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit

Buku ini diangkat dari disertasi penulisnya di Tilburg Law School, Belanda. Maurice Adams, Guru Besar di kampus ini, memuji kajian Binziad Kadafi sebagai ‘hasil penelitian yang solid’ karena penulis memberi landasan yang jelas bagi masalah konseptual yang sangat teknis dan kompleks. Pujian juga datang dari Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso: “Di Indonesia, ini adalah satu-satunya buku yang membahas secara mendalam hubungan antara PK dan ne bis in idem”.

Meskipun demikian, penulis sebenarnya membatasi diri pada PK di lingkungan pidana. Dalam banyak sistem hukum, masalah ‘putusan final’ dan upaya hukum didekati dengan kacamata prinsip finalitas dan ide mengenai falibilitas. Doktrin paling mengemuka yang mengelaborasi prinsip finalitas di lingkungan pidana adalah ne bis in idem, atau yang mirip konsep double jeopardy di negara common law (hal. 2). Tanpa doktrin ne bis idem, pemerintah dapat berulang-ulang menuntut warganya (hal. 5). Finalitas adalah karakter yang dilekatkan pada putusan yang dibuat oleh pengadilan terakhir. Proses peradilan harus mencapai titik akhir. Finalitas erat hubungannya dengan adagium justice delayed justice denied (keadilan yang tertunda adalah keadilan yang disangkal). Adapun falibiltas merupakan gagasan yang intinya menyatakan bahwa hakim dan proses peradilan bisa salah, atau rentan terhadap kesalahan.

Buku ini bukan saja mengajak pembaca untuk melakukan penelusuran mendalam tentang ne bis in idem, tetapi juga mengajak untuk meninjau ulang pemahaman umum tentang PK. Pertanyaan kritis yang perlu dijawab, misalnya: kapan suatu situasi dapat dikualifikasi sebagai ne bis in idem? Pandangan para sarjana beragam. Court of Justice Uni Eropa mencatat lima hal yang perlu dipertimbangkan untuk menilai situasi tersebut: syarat ‘orang yang sama’, syarat bis yang berfokus pada putusan dinal, syarat idem yang fokus pada tindakan yang sama, syarat pelaksanaan putusan, dan syarat sifat pidana (hal. 9).

Hukumonline.com

Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur alasan-alasan untuk mengajukan PK dan bagaimana mekanismenya. Buku ini melangkah lebih jauh, mencatat bukan saja aspek pengaturan dan teoritis PK, tetapi mendokumentasikan dinamika terbaru seperti pengajuan PK oleh penasihat hukum tanpa kehadiran terpidana (Hal. 257). Tetapi, barangkali, yang paling menarik bagi praktisi hukum, adalah elaborasi penulis tentang ne bis in idem dan menjadikannya sebagai lampu sorot untuk melihat PK di Indonesia. Alasan materiil pengajuan PK adalah putusan saling bertentangan, adanya novum, kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, falsum, dan pernyataan terbukti tanpa pemidanaan.

Tidak semua alasan itu diterima para ahli dengan satu suara. Faktanya, alasan mengajukan PK karena ada kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata telah menimbulkan banyak perdebatan (Hal. 294). Apa yang dimaksud kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata? Apakah dua frasa itu berada dalam satu nafas? Apa kriterianya? Apa saja yang masuk kualifikasi kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata? Bagaimana praktiknya di luar negeri? Pertanyaan-pertanyaan kritis ini sangat mungkin mengajak pembaca untuk meninjau ulang Peninjauan Kembali.

Di situlah letak pentingnya buku ini bagi para pembaca. Pengamatan dan analisis penulis terhadap persoalan PK di Indonesia sangat komprehensif, meskipun --seperti kata Maurice Adams—seringkali penulis harus berhadapan dengan hal-hal yang cenderung teknis. Buku ini juga penting karena menyuguhkan contoh-contoh kasus di Indonesia dan perbandingan dengan Belanda. Bagi mereka yang ingin melakukan riset lanjutan, buku ini menyediakan banyak informasi berguna. Apalagi, pada bagian akhir bukunya (Bab 9) penulis mengajukan gagasan-gagasan menarik menuju fondasi baru sistem PK di Indonesia (Hal. 381).

Apa saja gagasan yang disampaikan penulis? Apakah cocok diterapkan di Indonesia? Apakah gagasan itu diakomodir dalam RUU KUHAP? Halaman demi halaman buku ini menyajikan uraian yang menarik untuk dibaca. Sebaiknya, dibaca dari awal hingga akhir agar dapat menangkap gagasan yang disampaikan penulis pada bagian akhir. Bagi pembaca yang terbentur waktu, tak perlu khawatir, Anda bisa dibantu oleh bibliografi dan indeks. Satu hal yang pasti: buku ini adalah referensi yang sangat layak dibaca baik akademisi maupun praktisi.

Selamat membaca….

Tags:

Berita Terkait