Meninjau Ulang Wewenang Kejaksaan Mengawasi Barang Cetakan
Berita

Meninjau Ulang Wewenang Kejaksaan Mengawasi Barang Cetakan

Lembaga swadaya masyarakat menilai kewenangan kejaksaan mengawasi perederan barang cetakan, sebaiknya dihilangkan sama sekali.

Ali
Bacaan 2 Menit
Meninjau Ulang Wewenang Kejaksaan Mengawasi Barang Cetakan
Hukumonline

Isu pembredelan buku 'Membongkar Gurita Cikeas” karya George Aditjondro mengundang reaksi sejumlah pihak. Ada yang mencurigai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat dibalik hilangnya buku itu di pasaran. Namun, tak sedikit yang justru balik menuduh 'hilangnya' buku-buku itu di pasaran hanya sebuah strategi marketing George. Terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah, wacana soal penolakan pembredelan buku kembali mencuat.

 

Imbasnya adalah Kejaksaan Republik Indonesia. Kewenangannya dalam mengawasi barang cetakan digugat oleh sejumlah kalangan. Salah satunya adalah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Deputi Direktur Program ELSAM Indri D Saptaningrum menilai kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan itu telah usang. “Pada prinsipnya kami minta agar kewenangan itu dihilangkan saja,” ujarnya kepada hukumonline, Senin (28/12). 

 

Indri tak main-main. Bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang lain, lembaganya akan menguji undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk mengawasi barang cetakan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yakni, Pasal 30 ayat (3) huruf c UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. “Permohonannya sedang kami persiapkan. Mungkin akan kami daftarkan pada akhir Januari,” tuturnya. Kewenangan itu dinilai melanggar kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi.

 

Pasal 28F UUD 1945 menyebutkan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan  segala jenis saluran yang tersedia”.

 

Meski meminta agar kewenangan mengawasi barang cetakan dicabut sama sekali, Indri menawarkan pilihan lain. Yakni, dengan memperbaiki dan memperketat pengawasan barang cetakan dalam sebuah aturan yang jelas. Indri tak menampik bila UUD 1945 dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia membolehkan pembatasan hak untuk berekspresi. “Asalkan pembatasannya benar-benar sesuai dengan prinsip ICCPR,” ujarnya.

 

Yang dimaksud Indri adalah pembatasan yang diatur dalam UU. Selama ini, lanjutnya, aturan dan syarat pembatasan kebebesan berekspresi dalam hak pengawasan barang cetakan ini tidak jelas. “Selama ini dalam UU Kejaksaan hanya disebut demi ketertiban umum tanpa ada penjelasan apa makna ketertiban umum itu,” tuturnya.

Tags: