Meninjau Kembali Cryptocurrency Sebagai Alat Investasi
Kolom

Meninjau Kembali Cryptocurrency Sebagai Alat Investasi

Terdapat beberapa risiko yang erat kaitannya dengan transaksi serta investasi pada aset kripto.

Bacaan 5 Menit
Christy Dwita Mariana. Foto: Istimewa
Christy Dwita Mariana. Foto: Istimewa

Dalam ekonomi yang semakin maju dengan kemungkinan investasi yang sangat beragam dan luas, karakteristik cryptocurrency sebagai investasi alternatif telah banyak dipelajari. Studi-studi tersebut sebagian besar mengenai pro-kontra dalam mengelola cryptocurrency ini. Pandemi Covid-19 telah menyediakan laboratorium alami untuk mempelajari sejauh mana konsistensi dan kekuatan cryptocurrency sebagai instrumen lindung nilai atau safe-haven dalam kondisi ekonomi yang ekstrim.

Melalui artikel yang ditulis oleh Penulis pada Jurnal Finance Research Letters Volume 38 tahun 2021 (lihat Mariana et al. (2021)), cryptocurrency (khususnya Bitcoin dan Ethereum) merupakan instrumen investasi yang tergolong safe-haven bagi pasar saham di Amerika Serikat. Lebih lanjut, Penulis pun menemukan dari hasil penelitian Disertasi-nya dari Program Pascasarjana Ilmu Manajemen (PPIM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia yang lalu, bahwa peran safe-haven dari cryptocurrency berbeda-beda untuk setiap negara yang dikaji (negara Amerika Serikat dan negara-negara berkembang).

Terlepas dari semua penelitian yang telah dilakukan pada cryptocurrency, terdapat satu pertanyaan yang Penulis coba tinjau ulang melalui artikel ini: siapkah cryptocurrency menjadi alat instrumen investasi?

Untuk menjawab hal ini, kita perlu menilik kembali pemberitaan mengenai cuitan-cuitan serta tindakan yang dilakukan oleh Elon Musk terkait Bitcoin. Berawal dari investasinya sejumlah AS$1,5 miliar pada Bitcoin di bulan Februari 2021 yang lalu, tindakan Elon Musk ini telah disoroti masyarakat serta menjadi salah satu penyebab lonjakan harga Bitcoin hingga mencapai nilai Rp900 juta. 

Walaupun demikian, tindakan lainnya seperti pelarangan penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran untuk mobil Tesla di bulan Mei 2021 yang lalu, turut menyebabkan jatuhnya nilai aset digital ini secara drastis. Tidak hanya Bitcoin, Elon Musk pun menyebabkan naik dan turunnya harga cryptocurrency lainnya seperti Dogecoin. Fenomena ini seringkali dikenal sebagai “pom-pom investor”, atau investor yang memiliki andil dalam “menciptakan” persepsi publik kepada suatu aset. 

Sebelum meninjau lebih jauh terhadap kesiapan cryptocurrency, kita perlu membahas kembali mengenai definisi dari aset dan investasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aset adalah sesuatu yang memiliki nilai tukar, atau modal, kekayaan. Investasi sendiri merupakan penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Merujuk kepada kedua definisi tersebut, cryptocurrency dapat dikategorikan sebagai aset yang menjadi instrumen investasi. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cryptocurrency memiliki nilai tukar dan diperjualbelikan di suatu platform, serta tujuan dari para pemain kripto adalah untuk memperoleh keuntungan di masa mendatang.

Telah dipelajari secara luas bagaimana pasar keuangan “konvensional” bergerak bersama-sama selama krisis, yang mencerminkan ketidakmampuan aset konvensional tersebut untuk bertindak sebagai aset-safe-haven atau aset yang berkorelasi negatif terhadap pasar keuangan khususnya selama krisis. Kategorisasi safe-haven tersebut telah berkembang dari awalnya hanya aset konvensional (emas, obligasi, tanah atau benda berwujud lainnya) menjadi termasuk di antaranya instrumen investasi alternatif (berupa hedge fund dan saat ini berkembang ke bentuk cryptocurrency). Namun, pengujian secara empiris atas peran safe-haven dari cryptocurrency tersebut masih kontradiksional.

Dari Disertasi yang disusun oleh Penulis dan bertajuk “Safe-Haven Dynamics of Cryptocurrencies for the U.S. and Emerging Stock Markets”, Penulis menemukan bahwa peran safe-haven cryptocurrency di suatu negara dapat dikaitkan dengan kondisi pasar modalnya. Selain itu, status hukum cryptocurrency di suatu negara juga dapat mempengaruhi apakah itu tempat yang aman untuk saham lokal atau tidak.

Penulis menemukan fakta empiris bahwa Bitcoin dapat menjadi safe-haven bagi saham di Indonesia dan Malaysia, namun tidak pada Afrika Selatan dan bahkan menjadi instrumen investasi yang berkorelasi tinggi dengan pasar saham di Nigeria. Penjelasan mengenai hal ini dapat berkaitan dengan regulasi di setiap negara mengenai cryptocurrency. Otoritas regulator telah merilis pernyataan cryptocurrency sebagai komoditas legal di Indonesia (Peraturan Bappebti Nomor 7 Tahun 2020) dan Malaysia (Zhe, 2020).

Pada bulan September 2020, meskipun tidak secara khusus mengatur cryptocurrency, SEC Nigeria merilis pernyataan yang dibuat pada 14 September 2020 tentang Aset Digital dan klasifikasi serta perlakuannya (SEC Nigeria, 2020). Namun, pada awal tahun 2021 yang lalu Bank Sentral di Nigeria melarang setiap perbankan dan institusi finansial untuk menerima dan memfasilitasi penyaluran dana dari dan ke platform kripto. Sebaliknya, di Afrika Selatan, masih belum ada kerangka peraturan tentang investasi dan transaksi cryptocurrency.

Prospek Cryptocurrency Sebagai Instrumen Investasi di Indonesia

Saat ini ketentuan mengenai perdagangan aset kripto di Indonesia diatur di dalam Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka, yang terakhir kali diubah oleh Peraturan Bappebti No. 3 Tahun 2020 (Peraturan Bappebti). Pada akhir tahun 2021 ini pun akan diselenggarakan bursa khusus kripto, yang merupakan badan usaha sebagai penyelenggara sistem dan saran untuk kegiatan jual beli komoditi aset kripto. Terlebih, Bappebti pun telah menetapkan sejumlah 229 aset kripto yang dapat diperdagangkan di pasar fisik aset kripto (sebagaimana diatur dalam Peraturan Bappebti No.7 tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto Yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto).

Walaupun demikian, terdapat beberapa risiko yang erat kaitannya dengan transaksi serta investasi pada aset kripto. Pertama, ketiadaan underlying asset pada aset kripto menandakan bahwa adanya suatu penangguhan ketidakpercayaan (suspension of disbelieve) dari para pemain atau investor kripto terhadap nilai aset kripto. Selama harga atau nilai dari aset kripto tetap ada, atau bahkan meningkat, maka ketidakpercayaan terhadap nilai aset kripto akan ditangguhkan. Hal ini tentunya dapat berlanjut kepada kondisi bubble kripto, di mana pada suatu saat harga dari aset kripto akan turun drastis ketika sudah tidak ada lagi kepercayaan dari para investor.

Kedua, berkaitan dengan volatilitas yang teramat tinggi pada aset kripto. Penulis menemukan bukti empiris pada disertasinya mengenai bagaimana volatilitas aset kripto pada suatu negara 5 hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan volatilitas pasar saham lokal. Oleh karena itu, perlu adanya suatu mekanisme regulasi yang diterapkan oleh regulator untuk mengatas isu ini. Salah satu mekanisme yang ditawarkan oleh Penulis adalah untuk merilis kisaran volatilitas normal setiap periode tertentu, yaitu 4 hari sebagai proses mean reversion pada pasar Bitcoin di Indonesia (seperti yang dituliskan pada Disertasi penulis).

Selain itu, regulator pun dapat memberikan edukasi seputar excessive volatility pada transaksi aset kripto: menentukan dana minimum bagi investor untuk melakukan investasi pada aset kripto dan menentukan besaran persentase dana yang ditanamkan terhadap kekayaan investor secara keseluruhan. Dengan demikian, risiko sistemik yang mungkin timbul terhadap institusi keuangan lainnya dapat terhindari.

Ketiga, berkaitan dengan tindakan kriminal yang berkaitan erat dengan transaksi pada aset kripto: pencucian uang. Kripto dapat menjadi media pencucian uang, terutama pada tahapan transfer (layering). Filosofi dari pencucian uang adalah kerumitan dan penghilangan jejak dan Layering itu menggambarkan kedua filosofi tersebut. Melalui transaksi Bitcoin akan memberikan anonimitas pada pengirim dan penerima uang yang disebabkan alamat wallet dari pihak yang terlibat transaksi tidak berisi informasi detail yang bisa diidentifikasi. Hal yang dapat dilakukan penegak hukum untuk mengawasi tindakan pencucian uang ini di antaranya adalah melihat kondisi-kondisi yang menjadi "red flag" pada transaksi kripto (transaksi dengan dana, frekuensi, dan penerima yang tidak wajar; pengguna seringkali mengubah data pribadi). Untuk melakukan ini, crypto exchange perlu menerapkan prinsip KYC (Know Your Customer) pada investor.

Sebagai penutup, terlepas dari berbagai risiko yang berkaitan dengan investasi pada aset kripto, Penulis yakin bahwa dengan regulasi dan mekanisme yang tepat, aset kripto potensial untuk memberikan manfaat baik bagi investor ritel maupun korporat. Salah satunya tentu saja untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui keuntungan yang dapat diperoleh dari investasi pada aset kripto. Selain itu, aset kripto pun dapat menjadi sumber pendanaan pihak ketiga selain bank apabila dapat ditemukan pola yang tepat untuk saat membeli dan menjual aset tersebut. Dengan demikian, Penulis yakin bahwa aset kripto memberikan suatu alternatif bagi masa depan investasi.

*)Dr. Christy Dwita Mariana merupakan akademisi dan praktisi, yakni dosen pada Program Studi Kewirausahaan Universitas Agung Podomoro serta Senior Partner Financial & Service Industry di PT. Strategi Transforma Infiniti.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait