Meninjau Bursa Kripto Indonesia
Kolom

Meninjau Bursa Kripto Indonesia

Minat investor terhadap aset kripto semakin meningkat. Perlu ada perlindungan dan kepastian hukum kepada para investor.

Bacaan 5 Menit
Muhamma Alpian Ramli. Foto: Istimewa
Muhamma Alpian Ramli. Foto: Istimewa

Masih hangat pemberitaan kolaps-nya dua bursa atau platform aset kripto di Turki (yaitu Thodex dan Vebitcoin) yang berakibat dihentikannya seluruh aktivitas perdagangan aset kripto pada kedua bursa tersebut. Belum lagi CEO Thodex yang dikabarkan menghilang dan membawa kabur aset investor yang tentu saja membuat ratusan ribu investornya menjadi khawatir dengan aset yang disimpannya.

Kedua peristiwa ini tentunya menjadi pelajaran yang berharga bagi para pelaku pasar aset kripto di Indonesia mengingat semakin meningkatnya transaksi aset kripto di Indonesia. Peristiwa ini juga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Badan Pengawas Perdagangan Komoditi (Bappebti) yang saat ini tengah dalam proses persetujuan pembentukan bursa khusus perdagangan aset kripto. Namun seperti apakah bursa kripto tersebut nantinya di Indonesia?

Saat ini ketentuan mengenai bursa kripto dan perdagangan aset kripto diatur di dalam Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka, yang terakhir kali diubah oleh Peraturan Bappebti No. 3 Tahun 2020 (Peraturan Bappebti). Sama seperti halnya bursa saham, bursa kripto ini merupakan badan usaha yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk kegiatan jual beli (dalam hal ini komoditi aset kripto).

Bursa kripto nantinya akan memiliki anggota-anggota bursa yang berhak untuk menggunakan sistem dan/atau sarana yang disediakan bursa kripto tersebut serta berhak melakukan transaksi perdagangan aset kripto sesuai dengan peraturan dan tata tertib bursa kripto. Namun sebelum dapat memfasilitasi perdagangan aset kripto, bursa kripto harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Kepala Bappebti serta memenuhi persyaratan, antara lain:

  1. memiliki modal disetor paling sedikit Rp 200 miliar yang nantinya harus ditingkatkan pada periode-periode tertentu;
  2. mempertahankan ekuitas paling sedikit Rp 150 miliar;
  3. memiliki paling sedikit tiga pegawai yang bersertifikat tertentu; dan
  4. memiliki sistem pelaporan untuk menampung transaksi perdagangan aset kripto yang terjadi.

Pada dasarnya pembentukan bursa kripto ini merupakan bentuk perlindungan dan kepastian hukum kepada para pelaku usaha seperti investor, pedagang, dan lembaga terkait lainnya dalam bertransaksi perdagangan aset kripto. Misalnya, di dalam ekosistem bursa akan terdapat lembaga kliring yang memberikan jaminan terhadap transaksi yang dilakukan.

Selain itu, bursa akan mengkaji terlebih dahulu tata cara perdagangan (trading rules) para pedagang aset kripto, serta sistem perdagangan yang dimiliki oleh para pedagang aset kripto diharuskan compatible secara sistem maupun aplikasi dengan sistem bursa. Bursa kripto juga akan menyediakan sarana penyelesaian perselisihan dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak dalam penyelenggaraan pasar fisik aset kripto.

Meskipun pembentukan bursa kripto masih dalam proses persetujuan Bappebti, beberapa pelaku perdagangan aset kripto telah terdaftar di Bappebti dan telah melakukan perdagangan aset kripto, sehingga setelah bursa dan peraturan pelaksana terbentuk maka para pedagang tersebut harus menyesuaikan sistem perdagangannya. Hingga saat ini terdapat 13 pedagang aset kripto yang telah terdaftar di Bappebti.

Selain itu, Bappebti pun juga telah menetapkan aset kripto yang dapat diperdagangkan di pasar fisik aset kripto mengingat tidak semua mata uang kripto memiliki kualitas yang sama. Dari sekitar 8.000-an aset kripto yang ada di dunia, hanya 229 aset kripto yang dapat diperdagangkan sebagaimana diatur di dalam Peraturan Bappebti No. 7 Tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto Yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.

Sehubungan dengan daftar aset kripto yang ditetapkan oleh Bappebti, masih hangat juga pemberitaan nasional mengenai kasus penipuan, penggelapan, dan pencucian uang oleh EDCCash di mana EDCCash memperdagangkan aset kripto yang tidak termasuk ke dalam 229 aset kripto yang telah ditetapkan oleh Bappebti. Aset kripto yang diproduksi oleh EDCCash (koin EDCCash) dianggap tidak memenuhi persyaratan minimum sebagai aset kripto yang dapat diperdagangkan di Indonesia, yakni:

  1. aset kripto berbasis distributed ledger technology;
  2. berupa aset kripto utilitas (utility crypto) atau aset kripto beragun aset (crypto backed asset);
  3. nilai kapitalisasi pasar (market cap) masuk ke dalam peringkat 500 besar kapitalisasi pasar aset kripto (coin market cap) untuk kripto aset utilitas;
  4. masuk dalam transaksi bursa aset kripto terbesar di dunia;
  5. memiliki manfaat ekonomi, seperti perpajakan, menumbuhkan industri informatika dan kompetensi tenaga ahli dibidang informatika (digital talent); dan
  6. telah dilakukan penilaian risikonya, termasuk risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme serta proliferasi senjata pemusnah massal.

Idealnya, bursa kripto nantinya tidak hanya sebagai pencatat transaksi perdagangan saja, tapi juga harus memiliki fungsi edukasi. Fungsi ini menjadi penting mengingat selalu ada risiko di setiap investasi. Terlebih lagi aset kripto termasuk investasi baru di Indonesia sehingga masih belum banyak masyarakat yang mendapatkan informasi mengenai aset kripto dengan cukup.

Sebagai perbandingan, di bursa saham terdapat sekolah pasar modal gratis yang diselenggarakan oleh bursa saham bekerja sama dengan perusahaan sekuritas di mana para calon investor akan mendapatkan bermacam-camam pembekalan mengenai transaksi perdagangan saham. Kegiatan serupa juga dapat dilakukan di bursa kripto.

Bukan Merupakan Alat Pembayaran di Indonesia

Meskipun Bappebti telah menetapkan beberapa aset kripto sebagai komoditi yang dapat diperdagangan di pasar fisik aset kripto, namun hingga saat ini aset kripto bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia. Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang mengatur bahwa Rupiah merupakan alat pembayaran yang sah yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan Rupiah, dengan beberapa pengecualian tertentu.

Selain itu, Bank Indonesia menegaskan bahwa virtual currency seperti Bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Bank Indonesia juga melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran (seperti prinsipal, penerbit, acquirer, para penyelenggara switching, payment gateway, kliring, penyelesaian akhir, transfer dana, dompet elektronik, dan penyelenggara jasa sistem pembayaran lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia) dan penyelenggara teknologi finansial (fintech) untuk memproses transaksi pembayaran atau melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan virtual currency, sebagaimana diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan Peraturan Bank Indonesia No. 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Sebagai penutup, terlepas dari pelarangan penggunaan aset kripto atau mata uang kripto sebagai alat pembayaran di Indonesia, pada kenyataannya minat investor terhadap aset kripto semakin meningkat. Melihat hal ini, sudah seharusnya bursa aset kripto dibentuk untuk melindungi serta memberikan kepastian hukum kepada para investor dan juga para pelaku usaha perdagangan aset kripto lainnya, agar terhindarkan dari hal yang serupa dengan peristiwa kolapsnya bursa aset kripto di Turki. Semoga dengan berdirinya bursa kripto Indonesia, masyarakat semakin mengenal aset kripto.

*)Muhammad Alpian Ramli, konsultan hukum di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait