Menimbang Urgensi Tax Amnesty di Masa Pandemi
Berita

Menimbang Urgensi Tax Amnesty di Masa Pandemi

Tak ada alasan yang tepat untuk kembali melaksanakan amnesti pajak. Jika diterapkan, akan menurunkan kredibilitas pemerintah.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Isu pengampunan pajak atau tax amnesty tiba-tiba saja bergaung kembali di saat pandemi. Kesukseskan pemerintah dalam menerapkan amnesti pajak jilid 1 dahulu dinilai dapat kembali diterapkan guna membantu memulihkan ekonomi nasional. Kala itu pemerintah meraup penerimaan pajak yang cukup besar yakni senilai Rp107 triliun.

Namun seberapa urgen penerapan amnesti pajak untuk situasi seperti saat ini? Menurut pengamat pajak Fajry Akbar kebijakan amnesti pajak tidak memiliki urgensi untuk kembali diterapkan. Setidaknya terdapat tiga alasan terkait argumentasinya tersebut.

Pertama, jika program ini dilakukan berulang dalam jangka waktu berdekatan, maka program amnesti pajak tidak akan efektif. Kedua, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan luntur. Dan ketiga, jika diterapkan kembali, amnesti pajak jilid 2 akan memberikan rasa ketidakadilan bagi wajib pajak yang telah mengikuti amnesti pajak jilid I dan selama ini patuh. Hal tersebut bisa berdampak kepada menurunnya tingkat kepatuhan wajib pajak.

“Saya kira amnesti pajak jilid II tidak tepat dan tidak ada urgensinya. Mengapa tidak tepat? Kita tahu, dalam amnesti pajak jilid I pemerintah selalu gembar-gembor jika amnesti pajak hanya diselenggarakan sekali saja. Kredibilitas pemerintah akan turun,” katanya kepada Hukumonline, Selasa (23/3).

Amnesti pajak memang dimungkinkan dilakukan berulang kali. Namun Fajry mengingatkan bahwa kebijakan amnesti pajak tidak bisa dilakukan dalam waktu berdekatan, dan di sisi lain kebijakan ini harus didasari alasan yang kuat. (Baca: Advokat Perlu Jadi Contoh Kepatuhan Lapor SPT)

Semisal amnesti pajak jilid 1, lanjutnya, dimana pemerintah menerapkan amnesti pajak dengan tujuan repatriasi dan basis pajak dan mendapatkan hasil yang optimal. Sementara saat ini pemerintah tak punya alasan yang tepat untuk melakukan kembali amnesti pajak.

“Dahulu kita pernah melakukan amnesti pajak, pertama kali tahun 1984. Lalu kita melakaukan sunset policy tahun 2008, berhasil karena rentang waktunya jauh sekali. Jika program amnesti pajak jilid II dibilang urgen karena kondisi penerimaan, justu menimbulkan pertanyaan. Kita tahu jika program amnesti pajak jilid I dapat dianggap berhasil. Deklarasi harta sebesar Rp4.813,4 triliun. Inikan muncul pertanyaan, kita mau mengincar yang basis pajak yang mana lagi? Kalau dahulu sudah optimal, jilid II mau menyasar yang mana? potensi penerimaan yang diincar yang mana? kan tidak jelas akhirnya,” tambahnya.

Dalam masa pemulihan ekonomi, salah satu hal yang mungkin dilakukan oleh pemerintah adalah dengan pendekatan supply side atau menurunkan pajak dan menerapkan kebijakan fiskal yang mendorong pemulihan ekonomi, serta meningkatkan penerimaan pajak. Hal ini sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh OECD.

Untuk jangka pendek, pemerintah dapat meniru strategi pemerintah Amerika Serikat dalam memulihkan ekonomi dan meningkatkan penerimaan pajak. Yakni dengan menyasar kelompok super kaya lewat pajak harta. Kebijakan ini hanya berlaku bagi wajib pajak dengan harga tertentu.

“Contoh, akibat pandemi, ketimpangan meningkat. Pemerintah dapat menyasar kelompok super kaya. Dan di luar negeri-pun strateginya sama, bahkan di ameriak serikat muncul lagi isu wealth tax. pengenaan pajak atas harta. Tapi di Indonesia sepertinya jauh, karena lebih konservatif dan tidak se-progresif di amerika,” paparnya.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah tidak berencana untuk melakukan amnesti pajak saat ini. Dalam Prolegnas, lanjutnya, pemerintah khususnya Kemenkeu dan DPR hanya menyepakati tiga pembahasan RUU yakni RUU tentang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, RUU Reformasi Sektor Keuangan, dan RUU KUP.

“Dalam program legislasi saat ini seperti kemaren disampaikan ada 3 RUU yang berhubungan dengan Kemenkeu. Kami akan bersama-sama dengan DPR akan menggunakan prioritas legislasi tersebut untuk memperkuat segala aturan perpajakan,” katanya dalam konferensi pers secara daring, Selasa (23/3).

Saat ini Sri Mulyani mengaku jika pihaknya tengah fokus dalam pembahasan pajak digital bersama DPR. Mengingat dinamika ekonomi yang kian berkembang, Sri Mulyani menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh tertinggal dari dinamika global agar terus bisa menjaga penerimaan perpajakan Indonesia.

Sekadar informasi, program amnesti pajak dimulai pada Juli 2016 yang tertuang dalam UU No. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Implementasi kebijakan tax amnesty ini merupakan rekonsiliasi antara wajib pajak dan pemerintah. Pada kebijakan tersebut, pemerintah telah mengantongi data deklarasi harta senilai Rp4.884,2 triliun yang Rp1.036,7 triliun, di antaranya berasal dari luar negeri. Otoritas pajak juga mencatat adanya repatriasi aset senilai Rp146,7 triliun dan uang tebusan dari wajib pajak senilai Rp114,5 triliun.

Dari sisi tingkat partisipasi, jumlah wajib pajak yang ikut pengampunan pajak kurang dari 1 juta atau 2,4 persen dari wajib pajak yang terdaftar pada 2017, yakni 39,1 juta. Dari sisi uang tebusan, realisasi Rp 114,5 triliun, angka ini masih berada di luar ekspektasi pemerintah yang berada di angka Rp165 triliun. Begitupun dengan realisasi repatriasi yang masih di bawah target.

Tags:

Berita Terkait