Menimbang Urgensi Pilkada Melalui Sistem Perwakilan
Utama

Menimbang Urgensi Pilkada Melalui Sistem Perwakilan

Karena sistem pilkada langsung dinilai banyak mudharat-nya. Sementara Pilkada melalui sistem perwakilan di DPRD biaya lebih murah, pencegahan korupsi lebih mudah dikontrol.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Maraknya korupsi saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan pelaksanaan pemerintahan daerah, salah satu bukti mekanisme Pilkada langsung dipilih rakyat dirasa belum tepat. Alhasil, wacana Pilkada dengan melalui DPRD pun kembali digulirkan dalam sepekan terakhir. Selain menghemat biaya, pemilihan kepala daerah mudah dikontrol karena para anggota DPRD jumlahnya relatif sedikit dibanding dengan Pilkada langsung.

 

Ketua DPR Bambang Soesatyo pun mewacanakan hal tersebut. Sebab, dampak yang ditimbulkan melalui mekanisme Pilkada langsung cukup merusak terutama soal moral masyarakat di daerah. Bahkan, terdapat ancaman perpecahan akibat kubu masing-masing calon yang memanas. “Kemudian ini (pilkada langsung) mendorong perilaku koruptif dari calon kepala daerah,” ujarnya di Komplek Gedung DPR, Selasa (10/4/2018).

 

Pria biasa disapa Bamsoet itu mengaku sempat berdikusi dengan pimpinan KPK. Dalam pertemuan tersebut, Bamsoet menyampaikan wacana mengembalikan Pilkada melalui sistem perwakilan di DPRD. Rupanya, bagian pencegahan KPK pun sudah melakukan kajian. Hasilnya, indek persepsi korupsi yang dilakukan kepala daerah tak dapat menurun sepanjang sistem Pilkada langsung.

 

“Melalui sistem perwakilan dalam Pilkada, KPK pun dapat dengan mudah mengontrol kemungkinan adanya transaksi (di antara anggota DPRD) ketimbang pemilihan  langsung,” usul Bamsoet. Baca Juga: Empat Titik Rawan dalam Penyelenggaraan Pilkada Serentak

 

Meski begitu, DPR prinsipnya mengembalikan ke masyarakat terkait mekanisme pemilihan kepala daerah yang tepat. “Bila rakyat menilai Pilkada langsung terlampau besar daya rusaknya dan tidak memiliki banyak manfaat, maka sistem Pilkada langsung bakal dievaluasi. Tapi kalau masyarakat menilai Pilkada langsung adalah pilar demokrasi yang harus dipertahankan, tidak ada dampak negatif, tentu akan kita teruskan,” kata dia.

 

Karena itu, apabila wacana pemilihan kepala daerah dilaksanakan DPRD, cara pertama yang harus ditempuh dengan melakukan revisi UU No.10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU (UU Pilkada). Khususnya, yang perlu direvisi adalah Pasal 1 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016.

 

Pasal 1 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan, Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis.”

 

Pernah di zaman SBY

Anggota Komisi II DPR, Almuzzamil Yusuf mengatakan, sistem pemilihan calon kepala daerah melalui sistem perwakilan di DPRD sudah pernah diterbitkan di penghujung era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, karena sebagian masyarakat menolak, pemerintah menerbitkan Perppu No.1 Tahun 2014 yang akhirnya disahkan menjadi UU No.1 Tahun 2015.

 

Menurut Muzzamil, momentum banyaknya kasus korupsi yang diduga dilakukan kepala daerah, ataupun saat Pilkada secara langsung menjadi tepat untuk dilakukan evaluasi. Sebab, dari sisi anggaran negara, pelaksanaan Pilkada langsung membutuhkan dana besar. Apalagi dengan menggunakan sistem Pilkada serentak.

 

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menilai merujuk Pasal 18 UUD 1945 hanya menyebutkan pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Pasal 18 UUD 1945  ayat (4) menyebutkan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.”

 

Karena itu, sistem Pilkada melalui perwakilan di DPRD bukanlah sebuah kemunduran. Berbeda dengan pemilihan anggota DPR, pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat. Menurutnya, frasa “secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) dapat ditafsirkan oleh UU yakni dipilih langsung oleh rakyat atau oleh wakil rakyat (di DPRD).

 

“Jadi keduanya dianut dan di berbagai negara sudah biasa begitu, bisa dipilih langsung rakyat atau wakil rakyat,” katanya.

 

Muzzamil berpendapat membandingkan kedua sistem pemilihan itu terdapat kelebihan dan kekurangan. Mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat misalnya, memang membuka peluang suap menyuap atau politik uang. Meskipun sistem pemilihan melalui perwakilan  pun politik uang pun bisa saja terjadi. Namun, pengawasan jauh lebih mudah ketimbang pemilihan kepala daerah secara langsung.

 

“Jadi kita memilih di antara mana yang lebih kecil mudharat-nya (keburukannya) dalam konteks saat ini di tengah kelemahan (minimnya) anggaran pemerintah. Belum lagi anggaran calon,” ujarnya.

 

Dia melanjutkan bila UU No. 10 Tahun 2016 direvisi dengan memperbaiki beberapa hal justru membuat semua partai politik tidak akan hitung-hitungan jumlah kursi di DPRD. Sebab, UU Pilkada hasil revisi misalnya, diberlakukan pada 2020 atau Pilkada selanjutnya. Sebab, pada 2020, belum dapat diketahui berapa kursi masing-masing partai yang diperoleh dengan berbasis hasil Pemilu 2019.

 

Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat Didik Mukrianto menambahkan gagasan kembali mengembalikan Pilkada pada DPRD butuh kajian mendalam. Baginya, revisi UU Pilkada terkait pemilihan kepala daerah ini bisa saja dilakukan dengan catatan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Terpenting, ada alasan rasional untuk merevisi UU Pilkada menjadi hal utama.

 

“Termasuk, alasan bahwa Pilkada secara langsung memang dipandang banyak mudharat-nya. Misalnya, masyarakat sudah banyak mengetahui kondisi kepala daerah yang banyak tersandung kasus korupsi. Apakah sistem pemilihan kepala daerah saat ini cukup efektif untuk mencegah praktik korupsi? Ini variabel panjang dalam membuat kebijakan.”

Tags:

Berita Terkait