Menimbang Urgensi Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi di UU Cipta Kerja
Berita

Menimbang Urgensi Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi di UU Cipta Kerja

Alih-alih menciptakan lembaga baru, pemerintah diminta untuk menyelesaikan persoalan return investasi yang masih rendah.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES

UU Omnibus Law Cipta Kerja sudah disahkan. Salah satu semangat dalam pembentukan UU Ciptaker ini adalah untuk memperbaiki sistem perizinan dan menarik investasi untuk masuk ke dalam negeri.

Terkait investasi, pemerintah merumuskan untuk membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Praktik semacam ini memang banyak digunakan di berbagai negara di dunia. Namun menurut Wakil Direktur Indef, Eko Listyanto, pemerintah harus berhati-hati dan mempertimbangkan banyak hal jika ingin mengadopsi sistem tersebut.

“Esensi atau bagian penting di UU Ciptaker terkait investasi adalah tentang ide baru membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Namun hal ini perlu dikritisi,” kata Eko dalam sebuah webinar, Senin (2/11). (Baca Juga: Menyoal Sanksi Pidana bagi Penyelenggara Haji dan Umrah dalam UU Cipta Kerja)

Pembentukan LPI diatur dalam Pasal 165 UU Ciptaker. Terdapat dua ayat yang pada intinya menyebut bahwa LPI bertujuan untuk mendukung pembangunan secara berkelanjutan.

Pasal 165:

  1. Dalam rangka pengelolaan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b, untuk pertama kali berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk Lembaga Pengelola Investasi.
  2. Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengoptimalisasi nilai aset secara jangka panjang dalam rangka mendukung pembangunan secara berkelanjutan.

Eko menjelaskan bahwa terdapat tujuan yang beragam pada beberapa negara yang mempunyai lembaga semacam LPI. Ada yang menggunakan LPI sebagai stabilisasi ekonomi atupun saving, dan ada pula negara yang mengkombinasikan keduanya.

Posisi Indonesia, lanjut Eko, biasanya berada pada posisi kombinasi antara stabilisasi ekonomi dan saving. Namun persoalannya apakah sistem LPI cocok digunakan di Indonesia. Apalagi jika tujuannya adalah untuk melindungi anggaran pemerintah, hal ini diyakini tidak efektif.

Hal tersebut didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Reserve Bank of Australia (RBA) yang menyebutkan bahwa efektivitas LPI dalam mengelola pendapatan komoditas beragam. Namun secara umum, dana dengan tujuan mengumpulkan kekayaan lebih berhasil daripada yang dirancang untuk melindungi anggaran pemerintah dan ekonomi domestik dari volatilitas pendapatan komoditas.

“Ada kata-kata development dan ini jadi kata kunci, ke mana arahnya profit atau semangat pembangunan. Sebagian negara ada yang tujuan stabilisasi, saving, ada yang juga kombinasi stabilisasi dan saving, biasanya Indonesia memilih kombinasi. Kesimpulannya jika tujuan dirancang LPI untuk melindungi anggaran pemerintah kurang berhasil.  Model LPI ini cocok untuk konteks Indonesia ke depan, belum cocok untuk saat ini,” imbuhnya.

Eko juga menyebutkan terdapat risiko yang cukup besar ketika pemerintah menjadikan investasi dan pembentukan LPI untuk mempercepat pembangunan. Risiko dimaksud adalah proyek-proyek yang didanai tidak produktif, sehingga tidak menghasilkan return. Maka pemerintah perlu berhitung dan mempertimbangkan secara matang dan hati-hati. Namun tak menutup kemungkinan juga praktik LPI di Indonesia berjalan dengan baik.

Selain itu, persoalan juga ada di Pasal 160 dan Pasal 166 UU Ciptaker. Dua pasal ini mengatur mengenai aset dan sumber aset dari LPI.

Pasal 160:

  1. Aset Lembaga dapat berasal dari:
  1. penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1);
  2. hasil pengembangan usaha dan pengembangan aset Lembaga;
  3. pemindahtanganan aset negara atau aset badan usaha milik negara;
  4. hibah; dan/atau
  5. sumber lain yang sah.
  1. Aset Lembaga dapat dijaminkan dalam rangka penarikan pinjaman.
  2. Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan aset Lembaga, kecuali atas aset yang telah dijaminkan dalam rangka pinjaman.
  3. Pengelolaan aset Lembaga sepenuhnya dilakukan oleh organ Lembaga berdasarkan prinsip tata kelola yang baik, akuntabel, dan transparan.

Pasal 161:

Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Lembaga dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar pada Badan Pemeriksa Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Eko menyebut saat ini aset yang dimiliki negara bernilai Rp10.000 triliun, yang mayoritas atau sebanyak Rp8000 triliun milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tetapi persoalanya jika ingin melakukan pemindahtanganan aset negara ke LPI, maka pemerintah harus melakukan pembenahan data aset agar clean and clear.

Hal ini penting mengingat banyaknya aset negara yang hilang setelah proses pemindahtanganan. Apalagi mengingat jangka waktu yang relatif pendek yakni tiga tahun, aset berisiko lepas begitu saja. Jika tidak dilakukan pembenahan data (revaluasi aset), maka peluang LPI untuk gagal cukup besar.

“Dari revaluasi, banyak aset yang enggak jelas karena pindah sana-sini. Sebelum bikin LPI, kalau tidak dirapihkan dulu soal aset, jangan berharap LPI bisa juga bermanfaat seperti di negara lain yang mampu menampung dana besar dan mengenerate likuiditas untuk pembangunan dan return,” katanya.

Menurut Eko, harus ada upaya agar benar-benar rapih dalam mengelola aset LPI dan dalam identifikasi kerena ada aset yang akan pindah tangan. Bila dari awal sudah tidak tertata dan governance tidak baik, katanya, maka peluang untuk gagal sangat besar.

“Targetnya LPI adalah Rp225 triliun yang akan dikelola dan ini sangat besar dan tidak mudah untuk dimulai dalam target waktu sangat mepet. Saya khawatir aset yang dipindahtangan dan waktu yang pendek asetnya lepas begitu saja, ini risiko, ini bukan ruang hampa, negara tetangga juga begitu,” jelasnya.

Eko mengaku jika Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menarik investasi, namun ada risiko besar yang juga harus dipertimbangkan. Aspek tata kelola dan transparansi menjadi  kunci utama. Tapi sayangnya hanya sedikit bukti bahwa tata kelola Indonesia bisa lebih baik.

Apalagi, lanjutnya, audit aset negara pada LPI hanya dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai pasal 161. Artinya, BPK tak terlibat dalam audit LPI.

Eko menilai, pemerintah harus mempertimbangkan untuk membentuk lembaga baru seperti LPI. Pasalnya, persoalan kurang efektifnya investasi di Indonesia adalah return yang rendah. Hal ini disebabkan ICOR atau ongkos investasi yang terlalu banyak.

“Lebih baik pemerintah fokus untuk menyelesaikan problem ICOR yang tinggi. Kalaupun investasi naik kalau return rendah karena kebanyakan ongkos itu yang harus diperbaiki. Lebih baik fokus menurunkan ICOR daripada membuat lembaga baru. Negara lain yang rangking institusinya lebih baik saja gagal,” tambahnya.

Selain itu, Eko mengingatkan pentingnya aspek tata Kelola dan tansparansi yang tidak bisa ditawar. “Cuma sedikit bukti yang bisa menunjukkan tata kelola bisa lebih baik, terutama ada aset negara pindah ke situ bagaimana audit BPK, tidak ada audit, dan kedua daya saing relatif rendah, kalau tidak governance atau bermain-main dengan kehati-hatiaan dan tata kelola yang sembarangan yang rugi adalah masyarakat,” pungkasnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya, menilai RUU Cipta Kerja berpotensi tidak dapat dijalankan untuk meningkatkan perekonomian Indonesia, tapi malah menciptakan masalah baru. Satu contoh, terjadi karena tidak ada lahan baru yang tersedia bagi investasi yang akan masuk karena 75,6 persen atau 143 juta hektar daratan di Indonesia sudah dibebani oleh berbagai macam izin. Belum lagi, berbagai izin yang diterbitkan itu juga mengandung banyak masalah, salah satunya tumpang tindih perizinan.

Teguh memberi contoh perizinan di sektor perkebunan sawit di tahun 2020 tercatat luasnya sekitar 22,7 juta hektar. Dari jumlah itu, sebanyak 4,4 juta hektar berada di konsesi Migas (daratan); 1,12 juta hektar menempati wilayah masyarakat hukum adat; 1,1 juta hektar di area konsesi Minerba; 1,2 juta hektar di daerah Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) 2020; dan 579 ribu hektar berada di lahan perhutanan sosial (PIAPS Revisi 04).

Alih-alih mengundang investasi, Teguh menilai kasus tumpang tindih perizinan lahan ini malah memberi ketidakpastian bagi investor. Sebab, RUU Cipta Kerja juga tidak memuat ketentuan yang dinilai mampu menyelesaikan persoalan ini dengan baik dan berpotensi menimbulkan masalah baru.

“RUU ini dipaksakan lahir ‘prematur’ dan proses pembuatannya sesat pikir,” kata Teguh dalam diskusi secara daring bertema “Menguak Fakta Dibalik RUU Cipta Kerja; Tak Ada Lahan Lagi Untuk Investasi”, Minggu (4/10).

Ketimbang mengetok RUU Cipta Kerja, Teguh mengusulkan pemerintah dan DPR melakukan setidaknya dua hal. Pertama, mengutamakan pembenahan tata kelola lingkungan hidup dan sumber daya alam serta penguatan KPK untuk meningkatkan perekonomian nasional. Kedua, menindaklanjuti hasil kajian harmonisasi UU di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang telah disusun KPK tahun 2018.

Tags:

Berita Terkait