Menimbang Ulang Non Advokat di Sidang MK?
Kolom

Menimbang Ulang Non Advokat di Sidang MK?

Apakah seseorang yang bukan advokat boleh beracara di Mahkamah Konstitusi? Tulisan ini akan mencoba mengurai dengan merujuk pada kasus yang terjadi.

Bacaan 2 Menit
Menimbang Ulang Non Advokat di Sidang MK?
Hukumonline

Jopinus Ramli Saragih (Bupati Simalungun, Sumatera Utara) resmi melaporkan Ketua  Tim Investigasi Mafia Perkara Mahkamah Konstitusi (MK), Refly Harun, atas dugaan pencemaran nama baik ke Bareskrim Mabes Polri (14/12). Sebagaimana yang kita ikuti, perkara ini bermula dari tuduhan Refly yang yang menyatakan telah terjadi suap di MK. Salah satunya adalah dugaan suap yang dilakukan oleh JR Saragih kepada salah seorang hakim MK. Namun tim investigasi tidak berhasil membuktikan sangkaannya. Walaupun demikian, kasus ini terus bergulir, dan beberapa nama hakim MK mendapat sorotan.

 

JR. Saragih merupakan ‘mantan klien’ Refly dalam sengketa Pemilihan Kepala  Daerah Kabupaten Simalungun. Kala itu, kemenangan JR Saragih yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Simalungun digugat oleh tiga pasangan calon yang kalah ke MK. MK menguatkan penetapan KPUD tersebut.

 

Menarik melihat sisi relasi Refly-JR Saragih dalam peristiwa ini, selain isu ‘judicial corruption’ yang terus menghangat. Seorang advokat senior sempat melemparkan pandangannya kepada penulis, dengan mengaitkannya pada prinsip ‘attorney-client privilege’. Beliau berpendapat, jikalau mantan klien melaporkan Advokatnya, maka sang Advokat tersebut akan lebih mudah ‘dijerat’, karena Klien memiliki informasi rahasia, hasil komunikasi dengan Advokatnya. Kondisi ini membuat Advokat dalam posisi rentan sebab klien tidak terikat oleh kode etik atau peraturan manapun untuk tak menyebarkan informasi tersebut, sementara Advokat dilarang oleh Kode Etik dan Undang-Undang Advokat untuk membocorkan rahasia klien. Pendapat tersebut ada benarnya, walaupun tak sepenuhnya karena memang kodrat Advokat bukan melindungi kejahatan.

 

Sebagaimana kita ketahui, dalam persidangan di MK, untuk mewakili pihak  berperkara, seseorang tak harus berstatus sebagai Advokat. Dalam Peraturan MK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, dinyatakan bahwa orang yang mendampingi pemohon prinsipal tidak harus Advokat. Undang-Undang MK No. 24 Tahun 2003 serta sejumlah peraturan MK menggunakan frasa yang berbeda terkait siapa saja pihak yang diperkenankan berperkara di MK. UU MK dan Peraturan MK No. 06/PMK/2005 menggunakan frasa “pemohon atau kuasanya”. Berbeda dengan Peraturan MK No. 15/PMK/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilukada, yang menggunakan frasa “pemohon, termohon, dan pihak terkait dapat diwakili atau didampingi oleh kuasa hukumnya setelah mendapatkan surat kuasa khusus atau surat keterangan untuk itu (Hukumonline, 19/12). Perbedaan antara Advokat dan Non Advokat dalam proses

beracara hanya pada pakaian yang dikenakan: Yang berstatus Advokat menggunakan  toga, dan yang bukan Advokat cukup dengan pakaian biasa.

 

Dengan melihat pengaturan tersebut, Penulis meragukan bahwa Refly berstatus  sebagai Advokat. Dalam tulisan Taufik Wijaya (Detik.Com, 14/12), kita ketahui bahwa memang setamat kuliah dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Refly sempat magang atau belajar dengan pengacara Adnan Buyung Nasution. Tak lama kemudian dia memutuskan menjadi wartawan di Media Indonesia. Selanjutnya dia pernah menjadi staf ahli MK. Terakhir, setelah peneliti di Centre for Electoral Reform (Cetro) dia beberapa kali tampil sebagai pengamat hukum. Dalam daftar anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pun tak pernah terekam bahwa Refly pernah diangkat sebagai Advokat oleh Organisasi Advokat.

 

Pasal 1 (satu) Undang-Undang Advokat (UU 18/2003), menegaskan bahwa Advokat  adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang- Undang ini. Selanjutnya dijelaskan bahwa jasa hukum merupakan jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

 

Lalu, bagaimana kita menilai relasi Refly atau pihak lainnya (sarjana hukum)  yang bukan Advokat mewakili ‘kliennya’ di sidang MK?

 

Penulis tak tahu persis dasar argumentasi MK yang mengijinkan pihak yang bukan Advokat boleh mewakili seseorang dalam Persidangan di MK. Namun sebelum tergesa-gesa meminta MK untuk merevisi aturan dan tata tertib beracaranya, ada baiknya kita mengajukan beberapa pertanyaan mendasar. Walaupun UU Advokat mengatur hal demikian, tetapi benarkah masyarakat memang memerlukan Advokat? Apakah kita memang selalu perlu penasihat hukum dalam perkara hukum yang tengah dihadapi? Apakah kita perlu seseorang untuk membela perkara kita di pengadilan? Atau apakah UU Advokat tersebut memberikan ‘hak monopoli’ kepada Advokat untuk ‘mewakili suatu perkara?”

 

Dalam sejarah peradilan di Republik Indonesia, pada dasarnya memang tidak ada  kewajiban bagi seseorang untuk minta bantuan dari seorang Advokat. Kewajiban itu  mungkin ada dalam masa Hindia Belanda, untuk perkara yang diajukan di muka Raad  Van Justitie, di mana dikenal asas “verplichte vertegenwoordiging” atau kewajiban menguasakan dirinya pada seorang Advokat (Reksodiputro, 2009).

 

Ketiadaan kewajiban tersebut sangat logis karena memang minimnya tenaga Advokat  pada saat itu. Apabila kita melihat keberadaan pendidikan hukum zaman Hindia Belanda. Tahun 1909, saat Rechtsschool di Batavia dibuka, lulusannya tidak dapat menjadi Advokat, hanya boleh menjadi panitera, jaksa, hakim. Baru pada tahun 1924, kesempatan lulusan fakultas hukum tersebut menjadi Advokat terbuka (Frans Winarta, 2009).

 

Sampai saat ini, ‘sejarah’ tersebut masih terbawa dalam praktik peradilan  Perdata. Dalam hukum acara perdata yang kerap dipakai (HIR, Rbg, Rv), seorang yang berperkara, selain dapat mewakili dirinya sendiri (the right of self-representation) dalam berperkara, juga dapat meminta bantuan dari pihak lain yang bukan Advokat. Namun dalam praktik di Pengadilan, ketika menghadapi perkara hukum, seseorang hanya dimungkinkan membela dirinya sendiri dan apabila meminta bantuan dari pihak lain, haruslah seorang Advokat. Hal ini ditegaskan setidaknya dalam beberapa perkara yang menyangkut bidang pidana, kepailitan, pasar modal dan lain sebagainya, yang bahkan meminta sertifikasi khusus dari  seorang Advokat. Seseorang yang bukan Advokat tak berhak mewakili pihak yang  berperkara. Hal ini wajar, dikarenakan hukum modern memang mengandung  kekompleksitasannya sendiri. Dugaan penulis, karena Undang-Undang MK tidak  mewajibkan hal tersebut, MK menafsirkan bahwa pihak yang bukan Advokat  diperkenankan untuk mewakili seseorang. Apalagi pasal 31 UU Advokat, yang mengancam pidana seseorang yang memberikan jasa hukum yang bertindak seolah-olah sebagai Advokat, juga telah dianulir MK.

 

Argumentasi kedua yang dapat kita duga, mungkin berangkat dari fakta sosiologis: rendahnya akses pencari keadilan terhadap Advokat. Saat ini, meskipun Fakultas  Hukum bertebaran di sana-sini, perbandingan antara jumlah Advokat dengan pencari keadilan cukup jomplang. Selain itu keberadaan Advokat juga tidak merata. Umumnya Advokat berada di kota-kota besar sehingga akses masyarakat di daerah menjadi terbatas. Kondisi ini diperparah oleh fakta keras bahwa saat ini Advokat masih ‘malas’ untuk menjalankan kewajiban pro bono alias gratisan. Banyak pula yang berpendapat bahwa menggunakan jasa Advokat cukup mahal. Alasan sosiologis demikian jugalah yang kemudian mendorong berbagai pihak civil society memaksa parlemen untuk membuat UU Bantuan Hukum.

 

Cukupkah dua argumen sebagai dasar untuk membenarkan ‘kebijakan’ MK? Paska dianulirnya Pasal 31 UU Advokat, konsep ‘monopoli’ untuk mewakili suatu perkara, memang runtuh. Siapapun boleh untuk memberikan jasa hukum sepanjang para pihak menyepakatinya. Apalagi ditambah dengan konsep lain semacam ‘Lex Specialis Derogat Legi Generali’: apabila sebuah UU tidak mengatur hanya Advokat yang boleh memberikan jasa hukum, maka ketentuan dalam pasal 1 UU Advokat, dikesampingkan.

 

Sah-sah saja memang untuk berpendapat seperti ini. Namun sebenarnya, hal demikian di masa yang akan datang Penulis duga akan sangat merugikan masyarakat. Mengapa demikian? Sebab mereka yang bukan Advokat, namun berikan jasa hukum (dan  mendapatkan pembayaran dari jasa yang diberikan), akan berada dalam kondisi minim pengawasan terhadap tindak tanduknya dalam memberikan jasa kepada masyarakat. Mereka tak terikat ‘code of conduct’ (Kode Etik Profesi) karena dirinya hanyalah seorang ‘praktisi freelancer’, bukan Advokat. Mereka tak tunduk dengan konsep ‘fiduciary’ dalam relasi Advokat-Klien.

 

Advokat merupakan jenis profesi yang unik. Di satu sisi, dirinya merupakan  seorang penegak hukum, namun di sisi lainnya juga merupakan penyedia jasa yang sifatnya komersial. Sebagai penegak hukum dirinya dituntut untuk bertindak sesuai dengan norma-norma hukum, moralitas, dan etika dengan derajat yang tinggi dalam menjalankan pekerjaan. Sedangkan sebagai pebisnis dirinya juga dituntut untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan kliennya. Hubungan ini sama seperti hubungan yang timbul antara seorang direktur dan perseroan terbatas atau bank dengan nasabahnya. (Munir Fuady, 2003).

 

Dalam hal ini ada suatu kepercayaan yang penuh (trust and confidence) yang diberikan oleh klien kepada advokat tersebut. seorang advokat memunyai tanggung jawab moral dan hukum yang sangat tinggi terhadap kliennya, kemampuan, iktikad baik (good faith), loyalitas, dan kejujuran terhadap kliennya, dengan derajat yang tinggi (high degree) dan tidak terbagi. Konsekuensi dari hubungan fiduciary melahirkan beban berat yang harus disandang dalam setiap perilakunya sebagaimana yang tertuang dalam kode etik. Advokat sebagai profesi luhur, selalu menggunakan model perikatan yang mengupayakan, sama seperti dokter. Advokat akan melakukan seluruh perintah kliennya dengan cara sebaik-baiknya namun dengan batasan etik dan norma. Karena sifatnya mengupayakan, Advokat kemudian tidaklah boleh menjanjikan sesuatu kepastian mengenai hasil, kecuali berupaya semaksimal mungkin.

 

Selain kode etik, Undang-Undang Advokat juga sudah memberikan penegasan yang  terang, di mana dalam Pasal 5 ayat 1 dari UU disebukan Advokat merupakan bagian  dari penegak hukum atau officer of the court. Sebagai penegak hukum, dirinya dituntut juga untuk menghormati seluruh praktek peradilan yang benar. Meskipun belum jelasnya pengaturan contempt of court di Indonesia, tetap saja tidak menghilangkan kewajiban Advokat untuk tidak menghormati seluruh prosedur yang berlaku. Dirinya tidak boleh berperilaku menyimpang dan tercela, konkritnya seluruh perbuatan terkait penanganan perkara tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang tidak sesuai etika (dan juga hukum positif). Misalnya, melakukan negosiasi dengan hakim, meminta bantuan panitera untuk mendekati hakim, beriklan, menelantarkan Klien, bersikap kasar dengan rekan Advokat dan penegak hukum lainnya di persidangan, dan mengumbar rahasia klien kepada orang lain.

 

 

Di sinilah titik penting dalam mempertanyakan kebijakan MK membolehkan mereka  yang bukan Advokat memberikan jasa hukum. Mereka, para ‘praktisi freelancer’ selain tak terikat kode etik, juga tak pernah memiliki kewajiban bergabung dengan Organisasi Avokat yang memiliki lembaga penegak kode etik (Dewan Kehormatan Profesi) dan enaknya tak perlu bersusah-susah seperti ribuan calon Advokat yang harus melalui seleksi dan persyaratan administrasi lainnya menjadi Advokat untuk kemudian baru berhak berikan jasa hukum. Terjadilah diskiriminasi: Seorang Advokat yang memberikan jasa hukum ‘dibebani’ banyak aturan bahkan diancam sanksi dari pemberhentian sementara hingga pemberhentian tetap apabila dalam berpraktik tak sesuai etik. Sedangkan seorang ‘freelancer’ bertindak  sesuka-sukanya tanpa pengawasan, untuk pemberian jasa yang sama.

 

Penulis tak mengatakan bahwa praktisi seperti Refly dan sarjana hukum lainnya yang bukan Advokat tak punya kemampuan seperti Advokat dalam berikan jasa atau memberikan jasa secara serampangan (bahkan lebih baik dari seorang Advokat mungkin), atau mereka yang berstatus Advokat ‘lebih berintigritas’ daripada yang tidak, sebab bukan di situ letak persoalannya. Hal yang ingin disampaikan adalah ada baiknya agar siapapun yang memberikan jasa hukum adalah mereka yang berstatus Advokat sesuai dengan pengaturan yang ada dalam UU Advokat. Hal ini akan memudahkan masyarakat pengguna jasa untuk meminta pertanggungjawaban ketika mereka berpraktek menyimpang. Pengawasan secara serentak juga akan memudahkan dalam mengidentifisir siapa-siapa yang berperan sebagai makelar kasus yang sepertinya cuma ramai di telinga tapi tak tampak di mata, ibarat kentut.

 

Sangat sulit juga untuk memahami tindakan mewakili ‘klien’ di sidang MK dalam  perkara Pemilukada, apabila dikemukakan pendampingan tersebut berada dalam ruang lingkup memberikan ‘bantuan hukum’ sebagaimana spirit dalam RUU Bantuan Hukum namun membebani ‘klien’ dengan biaya ‘honorarium’ puluhan bahkan ratusan juta. Kalau alasannya mereka yang bukan Advokat diperkenankan mewakili para pihak berperkara demi memudahkan masyarakat mengakses proses hukum di MK (karena kita kekurangan jumlah Advokat), sebenarnya tak sepenuhnya benar. Sepengetahuan Penulis memang belum ada penelitian empirisnya, namun sepertinya jikalau diperhatikan dalam perkara-perkara di MK, para pihak (pemohon) umumnya didampingi kuasa hukum yang berstatus sebagai Advokat. Oleh karena itu sebaiknya memang ke depannya hanya Advokatlah yang diperkenankan mewakili seseorang di sidang MK.

 

Atau jangan-jangan kita menganggap bahwa pengawasan dan kode etik profesi bagi  Advokat tak ada gunanya demi semata-mata alasan “kemanfaatan” (karena akses  masyarakat ke Advokat rendah)? Kalau argumentasinya cuma begitu, ada baiknya  saja kita membubarkan Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Ombudsman Nasional dan badan pengawasan etik lainnya. Selain boros anggaran, juga tak perlu. Eh, tapi kenapa MK juga  repot-repot dirikan ‘Majelis Kehormatan Hakim’ sesuai permohonan seorang hakimnya, padahal pernah mengklaim dirinya bersih 100%?

 

--------

*) Penulis adalah seorang advokat. Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di facebook penulis dan blog politikana.

Tags: