Menimbang Ulang Concurring Opinion dalam Peradilan Indonesia
Kolom

Menimbang Ulang Concurring Opinion dalam Peradilan Indonesia

Eksistensi concurring opinion perlu diatur secara baik dalam sistem hukum melalui hukum acara.

Bacaan 4 Menit
Reza Fikri Febriansyah
Reza Fikri Febriansyah

Suatu putusan pengadilan—khususnya Mahkamah Konstitusi—bisa saja berisi pertimbangan berbeda (concurring opinion) dan/atau pendapat berbeda (dissenting opinion). Dua hal ini biasa disampaikan oleh minoritas hakim dalam majelis pemutus perkara. Sifatnya terbuka untuk umum sekaligus menjadi bagian integral dari putusan pengadilan. Namun, praktik concurring opinion belum memiliki bentuk pengaturan yang eksplisit dalam undang-undang. Baik UU Mahkamah Konstitusi maupun UU Kekuasaan Kehakiman tidak memberi penjelasan sebagaimana soal dissenting opinion.

Landasan yuridis yang lazim dijadikan acuan bagi praktik concurring opinion di Indonesia adalah kewajiban bagi hakim untuk menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang diperiksa. Lihat misalnya Pasal 14 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 45 ayat (5) UU Mahkamah Konstitusi. Kesamaan dari concurring opinion dan dissenting opinion adalah keduanya merupakan wujud perpaduan prinsip demokrasi dengan akuntabilitas peradilan.

Baca juga:

Dalam koridor prinsip demokrasi dan akuntabilitas peradilan, deliberasi kekuasaan kehakiman dalam menghasilkan putusan pengadilan harus bersifat terukur (measureable). Selain itu, harus pula mudah dipahami secara wajar berdasarkan batas penalaran pubik (public common sense). Dua hal itu adalah pedoman penting untuk diperhatikan oleh cabang kekuasaan kehakiman. Putusan pengadilan memang tidak mungkin memuaskan seluruh elemen publik. Namun, konstruksi dan rute pemikiran tiap-tiap hakim dalam menghasilkan konklusi putusan pengadilan harus dipastikan memiliki keterhubungan yang presisi (connectedness).

Dalam dinamika kehidupan antarmanusia dikenal fenomena “sama dalam tujuan, tetapi beda dalam rute perjalanan”. Hal ini berlaku pula pada majelis hakim dalam menghasilkan putusan pengadilan. Oleh karena itu, eksistensi concurring opinion memiliki justifikasi aksiologis untuk diatur secara baik dalam sistem hukum melalui hukum acara. Selain itu, praktik concurring opinion juga harus dilakukan secara eksplisit dan penuh tanggung jawab.

Konklusi minoritas hakim harus jernih terhadap inti dan esensi perkara. Diferensiasi sekaligus keterhubungan yang presisi atas konstruksi dan rute pemikiran tiap-tiap hakim dalam membentuk amar putusan harus jelas. Ketiadaan aspek kejernihan (clarity) dalam diferensiasi concurring dan/atau dissenting akan sangat mungkin berakibat fatal. Akhirnya hanya akan menghasilkan konklusi yang distortif dalam suatu putusan pengadilan. Kemungkinan ini khususnya pada tipologi putusan yang berisi sikap akhir hakim terhadap inti dan esensi perkara (plurality decision).

Baik minoritas hakim yang menyampaikan concurring opinion maupun dissenting opinion lazim bermaksud agar posisi mereka dalam putusan pengadilan bisa dipahami secara wajar oleh publik. Namun, batas penalaran publik pun akan mudah mendeteksi ketidakwajaran apabila konstruksi pemikiran hakim disconnected dengan konklusi putusan pengadilan.

Tags:

Berita Terkait