Menimbang Restorative Justice Tindak Pidana Korupsi
Terbaru

Menimbang Restorative Justice Tindak Pidana Korupsi

KPK menampung aspirasi tentang penerapan restorative justice dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron. Foto: RES
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron. Foto: RES

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menekankan, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang harus diselesaikan dengan pelbagai tindakan terukur. Hal ini ia sampaikan dalam acara webinar nasional bertajuk ‘Restorative Justice untuk Penyelesaian Kasus Korupsi’, Jumat (28/10). 

Melihat fakta tersebut, Ghufron menjelaskan KPK selalu terbuka terhadap aspirasi dari seluruh elemen masyarakat tentang cara-cara pemberantasan korupsi yang berlandaskan asas keadilan. Termasuk, KPK turut menampung aspirasi tentang penerapan restorative justice dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia. 

“Sampai saat ini kami masih melakukan kajian tentang penerapan restorative justice pada tindak pidana korupsi. Ini adalah proses pencarian bentuk bagaimana agar proses hukum itu benar-benar menyelesaikan masalah bangsa ini dari tindak pidana korupsi,” kata Ghufron.

Baca Juga:

Untuk diketahui, restorative justice adalah konsep penyelesaian tindak pidana secara damai, bertoleransi pada korban, mencari solusi bukan mencari benar atau salah, rekonsiliasi, restitusi, tidak ada pemidanaan, bersifat memperbaiki hubungan dan memotong dendam, melibatkan mediator profesional, dan mediasi penal. 

Menurut Ghufron, hingga saat ini dalam melakukan upaya penindakan, KPK masih mengikuti proses peradilan yang bersifat iniquisitoir atau pemeriksaan. Artinya kebenaran akan didapatkan melalui serangkaian proses mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga mencari kebenaran materiil di persidangan. 

“Melalui putusan pengadilan ini, diharapkan dapat menghasilkan kebenaran dan keadilan baik bagi pelaku tindak pidana korupsi, korban, dan kepentingan negara,” ujar Ghufron. 

Di sisi lain, melihat konsep Restorative Justice, Ghufron berujar tindak pidana korupsi memiliki perbedaan dengan pidana umum. Di mana pada satu kasus tindak pidana korupsi biasanya dilakukan lebih dari satu orang atau bisa disebut sebagai kejatan komunal.

Sehingga, melihat tindak pidana korupsi tidak hanya selalu menggunakan sudut pandang kerugian keuangan negara saja. Lebih dari itu, korupsi memberikan dampak kerugian besar bagi rakyat yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan menyalahgunakan wewenang atau jabatan yang dimiliki. 

“Pertanyaannya kalau kejahatannya bersifat mencederai kepentingan publik seperti tindak pidana korupsi misal suap, dimana seharusnya pemimpin bekerja untuk publik tapi tidak (dia lakukan, itu) bagaimana? Keadilan di hadapan publik itu bagaimana me-restorenya? Ini yang harus kita kaji bersama,” kata Ghufron.

Sementara itu, Kepala Biro Perencanaan pada Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan RI, Narendra Jatna menilai jika korupsi dipandang hanya dari sisi pengembalian jumlah nominal yang diambil maka penerapan restorative justice tidak tepat untuk digunakan. Alasannya, biasanya kasus korupsi besar akan berbarengan dengan tindak pidana lainnya seperti Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), pajak, dan tindak pidana umum lain. 

“Jadi tidak mudah kalau menggunakan (restorative justice) itu semata-mata dalam konteks kacamata tindak pidana korupsi. Dan tidak mungkin juga kalau alasannya (uangnya) dikembalikan selesai (kasusnya) karena sangat dimungkinkan tindak pidana korupsi itu ada pembarengan dengan tindak pidana lain,” kata Narendra. 

Akan tetapi menurut pandangan Narendra, konsep restorative justice bisa dipertimbangkan digunakan dalam kasus khusus. Misalnya untuk mengembalikan aset koruptor yang berada di luar negeri. Musababnya, sejauh ini banyak koruptor yang menyimpan asetnya di luar negeri dan sangat sulit dikembalikan. 

Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Umi Rozah menjelaskan proses pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi harus tetap ada. Hal itu sebagai pertanggung jawaban moral kepada masyarakat yang telah dirugikan dari tindakan yang dilakukan. 

Menurutnya, jika ada kasus tindak pidana korupsi yang diselesaikan dengan restorative justice maka yang memungkinkan mendapatkan manfaat adalah pelaku sementara masyarakat tidak. Dalam hal ini, Umi menilai kepentingan masyarakat adalah hal paling utama.

“Karena korbannya dari korupsi bukan individual tapi masyarakat. Kemudian dari sisi nilai keadilan apakah adil suatu kasus korupsi diterapkan restorative justice? Bagi pelaku iya, bagi masyarakat tidak,” kata Umi.  

Namun begitu, restorative justice bisa dipertimbangkan untuk sarana lain. Misalnya bisa digunakan sebagai plea bargainingdi tahap penuntutan untuk mengembalikan kerugian negara tetapi hanya dijadikan sebagai alasan untuk meringankan pidana pada kasus korupsi besar. Tapi bukan serta-merta menghapuskan hukuman pidananya.

Karena itu Umi mengidentifikasi korupsi yang bisa menggunakan konsep restorative justice dengan pelbagai pertimbangan. Yakni nilai kerugian negara ringan, kesalahan terdakwa tidak signifikan, kedudukan terdakwa dalam tipikor tidak utama, dampak tipikor tidak besar dalam pelayanan masyarakat dan perekonomian negara, dan tipikor yang tidak menarik perhatian publik.

Tags:

Berita Terkait