Menilik Praktik Plea Bargain di Amerika Serikat
Terbaru

Menilik Praktik Plea Bargain di Amerika Serikat

Pada prinsipnya, konsep plea bargain bukan hanya ditujukan proses peradilan cepat, sederhana, biaya murah, tapi juga memberi insentif atas pengakuan dan agar ada keseragaman putusan.

CR-28
Bacaan 4 Menit
Dosen Hukum Pidana STHI Jentera, Ichsan Zikry (kiri) dalam webinar bertajuk 'Peluang Penerapan Prinsip-Prinsip Plea Bargain dalam Rancangan KUHAP', Senin (20/12/2021) lalu. Foto: CR-28
Dosen Hukum Pidana STHI Jentera, Ichsan Zikry (kiri) dalam webinar bertajuk 'Peluang Penerapan Prinsip-Prinsip Plea Bargain dalam Rancangan KUHAP', Senin (20/12/2021) lalu. Foto: CR-28

Plea bargain tengah menjadi isu hangat di kalangan pemerhati hukum pidana Indonesia. Hal ini seiring diadopsinya konsep plea bargain sebagai jalur khusus dalam Pasal 199 RKUHAP yang menurut Naskah Akademik diserapdari sistem hukum di negara-negara anglo saxon. Salah satu negara yang menerapkan penyelesaian perkara pidana dengan metode plea bargain adalah Negara Paman Sam, Amerika Serikat (AS).

"Di AS dibatasi bukan open plea dalam artian seorang mengaku bersalah tanpa bargaining, itu (open plea, red) yang kurang lebih tercantum di Pasal 199 RKUHAP. Di AS, dibatasi plea bargaining-nya, mengaku dan ada tawar-menawar antara keduanya. Ada perbedaan antara seorang yang mengaku bersalah dan berharap ada insentif pengurangan hukuman dengan seorang yang mengaku bersalah dan berharap ada negosiasi di dalamnya,” kata Dosen Hukum Pidana STHI Jentera, Ichsan Zikry dalam Webinar ICJR-STH Indonesia Jentera bertajuk "Peluang Penerapan Prinsip-Prinsip Plea Bargain dalam Rancangan KUHAP", Senin (20/12/2021) lalu.

Dia menerangkan dalam pelaksanaannya terdapat batasan-batasan tertentu bagi plea bargain. Antara lain dibatasi oleh legislative limit atau peraturan perundang-undangan baik yang sifatnya di level negara bagian (state) yang biasanya berbeda-beda pengaturannya satu sama lain dan juga di level federal. Secara singkat, terdapat faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam plea bargaining, seperti masalah pembuktian, kesediaan terdakwa untuk bekerja sama, dan penemuan fakta yang mengurangi keseriusan perilaku.

Sebagai contoh di negara bagian California, terdapat 41 bentuk kejahatan yang dikecualikan untuk dapat diterapkan plea bargain, seperti kekerasan seksual, DUI (Driving Under the Influence), senjata api, pembunuhan, pemerkosaan, sodomi, pembakaran, dan lain-lain. "Di luar itu semua, pada dasarnya terbuka untuk plea bargain dan open plea.” (Baca Juga: Berharap Plea Bargain dalam RKUHAP Diterapkan Terhadap Semua Kasus)

Pada prinsipnya di AS, kehadiran plea bargain diharapkan dapat mewujudkan proses peradilan cepat, sederhana, biaya murah. Selain itu, ada prinsip yang diperhatikan bahwa plea bargaining ditujukan memberi insentif dari suatu pengakuan dan uniformity sentencing (keseragaman putusan). Hal itu untuk mencegah terjadinya disparitas pemidanaan.

Bagi open plea, dimana tidak ada tawar-menawar di dalamnya, maka insentif yang diberikan hanya sebatas pengurangan hukuman saja. Akan tetapi, untuk plea bargaining insentifnya bisa beragam. Seperti menegosiasikan tempat pemenjaraannya, pengurangan hukuman, penanganan khusus tertentu, dan lain sebagainya.

Baik di tingkat federal ataupun negara bagian, AS memiliki US Sentencing Guidelines yang secara rigid menjabarkan tindak kejahatan dan segala faktor yang memberatkan atau meringankan hukuman. Seorang terdakwa dapat menghitung probabilitas hukuman yang akan dijatuhkan terhadap dirinya. Meski hanya bersifat advisory yang tidak mengikat hakim, tetapi naik atau turunnya hukuman harus berdasar.

“Pada akhirnya, bisa dibilang hampir semua ancaman pidana yang dijatuhkan sesuai dengan sentencing guidelines.”

Disamping itu, pelaksanaannya di AS terdapat faktor dimana hakim kebanyakan akan menerima plea bargain atas rekomendasi penuntut umum. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kesediaan terdakwa yang sudah berhasil dibujuk oleh penuntut umum agar bersikap kooperatif. Untuk menjaga itu, hakim akan mengabulkan plea bargain tersebut. Agar ke depannya terdakwa di pengadilan tetap mau bersikap kooperatif mengakui kejahatannya.

Tapi yang paling krusial, kata dia, kewajiban hakim memberitahukan hak yang dilepaskan; lamanya pidana yang mungkin dikenakan; menanyakan apakah diberikan secara sukarela; dan kewenangan untuk menolak pengakuan apabila ada keraguan terhadap kebenaran pengakuan terdakwa. “Tiga poin ini esensi paling dasar dalam praktik plea bargain,” lanjutnya.

Ichsan menjelaskan setidaknya terdapat tiga faktor yang harus diperhatikan hakim. Pertama, knowingly atau terdakwa harus mengetahui secara sadar konsekuensi langsung (direct consequence) terhadap dirinya, hak-hak yang dia lepaskan seperti pengajuan banding, dan lain-lain. Kedua, kesukarelaan terdakwa, tidak ada pemaksaan sama sekali dalam memberikan pengakuannya. Ketiga, kebenaran dari pengakuan bersalah yang terdakwa sampaikan.

"Pada kasus Missouri v. Frye, secara eksplisit bilang bahwa sistem mereka sudah bukan lagi sistem peradilan, tapi sistem plea bargaining, kenapa? Karena 95% perkara lewat situ (plea bargain, red).

Kalau misalnya tidak ada plea bargaining dan dia tidak mengatur dengan serius, sistemnya pasti collapse. Pasalnya, pengadilan tidak akan bisa menampung jumlah perkara jika melalui mekanisme sidang biasa dengan mengundang jury dan lain sebagainya. Hal tersebut hanya akan membengkakan biaya yang sangat besar dan peradilan pasti tidak akan mampu dengan pelimpahan beban perkara yang menumpuk.

Untuk itu, AS membuat mekanisme dan system plea bargain yang sangat rigid, hingga sampai sekarang terus berkembang dan menuai kritik di berbagai pihak. “Poin yang bisa diambil dan harus diperhatikan Indonesia dari perbandingan ini adalah dalam mendesain jalur khusus harus ada safeguards yang memadai. Seperti dalam hal, hak atas bantuan hukum, insentif, prosedur, dan standar yang jelas untuk menilai aspek-aspek dalam plea bargaining,” tutupnya.

Untuk diketahui, dalam naskah akademik RKUHAP disebutkan ada mekanisme plea bargaining yang diberi judul jalur khusus dalam penyelesaian perkara pidana. Dalam Pasal 199 RKUHAP disebutkan konsep mekanisme plea bargaining ini ketika Penuntut Umum membacakan surat dakwaan dimana ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7 tahun penjara dan terdakwa mengakui segala kesalahannya, maka Penuntut Umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat.

Pengakuan terdakwa dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh terdakwa dan penuntut umum. Lalu, Hakim wajib memberitahukan kepada terdakwa mengenai hak-haknya dan memberitahukan kepada terdakwa mengenai lamanya pidana yang kemungkinan dikenakan serta menanyakan apakah pengakuannya diberikan secara sukarela. Hakim juga dapat menolak pengakuan terdakwa jika Hakim ragu terhadap kebenaran pengakuannya. 

Tags:

Berita Terkait