Menilik Peran Pengawas Ketenagakerjaan
Berita

Menilik Peran Pengawas Ketenagakerjaan

LBH Jakarta menilai pengawas ketenagakerjaan sering mengalihkan aduan pelanggaran menjadi perselisihan. Akibatnya, banyak aduan buruh yang menemui jalan buntu. Direktur Pengawasan Depnakertrans berdalih UU Ketenagakerjaan yang menggeser pola pengawasan kearah perdata.

Fat
Bacaan 2 Menit
Menilik Peran Pengawas Ketenagakerjaan
Hukumonline

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai kasus perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepanjang 2009 masih terbilang tinggi. Bahkan dibanding tahun 2008, jumlah aduan masyarakat ke LBH terkait kasus PHK ini makin meningkat. “Pada tahun 2009 ada 125 pengaduan dengan 7863 orang terbantu. Sementara tahun 2008 ada 70 pengaduan dengan 2064 orang terbantu,” kata Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat, akhir Desember 2009 lalu.

 

Bahkan, dari jumlah pengaduan tersebut, 50 kasus yang ditangani terkait dengan penerapan sistem kerja kontrak dan outsorcing. Dalam praktik, tak sedikit perusahaan yang menerapkan sistem kontrak dan outsourcing dengan melanggar ketentuan UU Ketenagakerjaan. Sebagai contoh, ada jenis pekerjaan yang sebenarnya bersifat tetap dan terus menerus, namun diberlakukan sistem kontrak. Atau jenis pekerjaan yang sebenarnya bagian dari core bussines, tapi malah di-outsourcing-kan. Alhasil, ketika masa kontrak berakhir, terjadilah perselisihan PHK.

 

Selain penerapan sistem kontrak dan outsourcing, PHK juga kerap timbul akibat adanya aktivitas serikat pekerja. Dalam beberapa kasus, para ‘pentolan’ serikat pekerja mendapat intimidasi, mutasi, skorsing sampai PHK. Sepanjang 2009, tindakan pemberangusan  serikat pekerja (union busting) ini terus bertambah dan bahkan melebar ke berbagai sektor industri termasuk BUMN.

 

Penyalahgunaan sistem kontrak dan outsourcing serta pemberangusan serikat pekerja ini sebenarnya bisa diantisipasi oleh petugas pengawas ketenagakerjaan di wilayah setempat. Baik di tingkat kabupaten/kota, propinsi maupun tingkat pusat. Ada maupun tanpa pengaduan dari buruh.

 

Namun faktanya, lanjut Nurkholis, pengawas ketenagakerjaan tidak pernah memproses pengaduan yang datang. “Seluruh pengaduan tidak pernah ada yang diproses.”

 

Dari seluruh pengaduan yang datang dari masyarakat hasil advokasi LBH, pengawas seringkali mengalihkan jenis pelanggaran hak. “Pengalihan pelanggaran hak menjadi perselisihan pasca berlakunya UU PPHI (UU NO. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, red) masih terjadi,” katanya.

 

Nurkholis menjelaskan, pola pengalihan pelanggaran hak dari pidana ke peselisihan terjadi, karena terdapatnya penolakan pengawasan dari para petugas. Jika pola pelanggaran tersebut menjadi perselisihan, akibatnya pelanggaran yang dilakukan perusahaan kepada buruh hanya bersifat perdata saja. Artinya, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang bisa menangani perkara tersebut.

 

Selain itu, pengalihan pola pelanggaran hak juga terjadi karena adanya penolakan pengawas ketenagakerjaan untuk menanganinya. Biasanya, dalih yang digunakan pengawas dalam menolak karena tempat buruh bekerja tidak sesuai dengan ‘yurisdiksi’ petugas pengawas. “Otonomi daerah sering dijadikan sebagai alasan dalam menolak aduan buruh,” ujarnya.

 

Tugas dan peran pengawas ketenagakerjaan sebenarnya sudah diatur dalam Bab XIV UU Ketenagakerjaan. Bahkan dalam Bab XV, pengawas ketenagakerjaan mempunyai kewenangan melakukan penyidikan atas pelanggaran ketenagakerjaan.  

 

Direktur Pengawasan dan Norma Kerja Depnakertrans A. Muji Handaya menampik seluruh hasil kajian LBH Jakarta. Menurut Muji, semua pengaduan yang ditujukan kepada pengawas tenaga kerja tidak begitu saja dialihkan. Melainkan selalu  dianalisa terlebih dahulu sebelum diambil keputusan. “Seperti kasus yang diadukan ke dinas-dinas itu mengenai pelanggaran berserikat, ternyata setelah dilakukan penelitian itu pokok persoalannya itu perselisihan,” katanya.

 

Lebih lanjut muji menganggap kekurangan paling fatal ada pada regulasi ketenagakerjaan. Berdasarkan UU No 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Kerja dan UU No 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, tugas pengawas ketenagakerjaan berada dalam rezim hukum publik. “Tapi di UU No 13 Tahun 2003, bergeser ke perdata,” tuturnya.

 

Selain persoalan regulasi yang menghimpit pengawas, Muji mengakui ada persoalan lainnya, yaitu kurangnya jumlah personil pengawas itu sendiri. Untuk itu, ia minta kepada masyarakat untuk tidak selalu menyalahkan pengawas dalam menjalankan tugas. “Kalau masalah personil, kita masih timpang dibanding jumlah perusahaan yang diawasi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait