Menhub Tentukan Batas Bawah, Ojol Akali Pasang Promo Tak Wajar?
Utama

Menhub Tentukan Batas Bawah, Ojol Akali Pasang Promo Tak Wajar?

Ketentuan soal promo dan diskon ‘lolos’ dari aturan yang ditetapkan Menhub.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pengendara transportasi berbasis aplikasi. Foto: BAS
Ilustrasi pengendara transportasi berbasis aplikasi. Foto: BAS

Tergiur dengan promo tak wajar memang dalam jangka pendek tampak menguntungkan bagi konsumen, sehingga penyedia aplikasi bahkan tak segan melakukan perang tarif dengan menjatuhkan tarif sejatuh-jatuhnya.

 

Mengatasi timbulnya praktik predatory pricing dan jual rugi, pemerintah telah menetapkan tarif batas bawah (TBB) melalui Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor KP 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi. Sayangnya, perang tarif tetap saja dilanjutkan dengan ‘kedok’ diskon dan promo.

 

Bahayanya, bila ini dibiarkan bukan tak mungkin hanya akan tersisa satu pemain saja dari dua pemain di pasar bersangkutan ojek online (ojol). Efeknya, pemain dengan posisi monopolinya dapat mendikte harga di atas variabel harga wajar. Skenario lain, bisa saja kedua pemain bersepakat memainkan harga bila pemerintah tak juga sanggup mengatasi polemik perang tarif ini.

 

Mantan Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan ketentuan soal promo dan diskon itu yang ‘lolos’ dari aturan yang ditetapkan Menhub dalam Kepmen a quo. Metode promo yang biasa digunakan bisa berbentuk voucher diskon, potongan harga jika menggunakan alat pembayaran elektronik tertentu atau promo harga paket berlangganan. Rentang tarif promosi bahkan bisa mencapai diskon 100% atau cukup membayar satu rupiah.

 

“Itukan promo tak wajar. Perang tariff dengan modus promosi untuk merebut pangsa pasar pesaing ini, takutnya berujung pada eksploitasi pasar,” katanya, Senin (20/5), di Jakarta.

 

Baiknya, Ia mengusulkan agar Kemenhub merevisi Kepmenhub a quo dengan menambahkan aturan soal diskon dan promosi. Poin penting yang harus diatur, yakni mengenai besaran persentase promo yang boleh diberikan serta jangka waktu pemberian promo. Melihat masih adanya promo tarif Ojol yang mendekati gratis bahkan mencapai 100%, itu jelas menunjukkan bahwa batas bawah yang ditetapkan pemerintah tak ada gunanya.

 

“Meskipun batas bawah sudah ditentukan, tapi karena ketentuan promosi tidak diatur, maka batas bawahnya jadi useless, kurang bermanfaat,” ujarnya.

 

Selama ini, katanya, perusahaan mensubsidi konsumennya dengan jual rugi. Jadi ongkos yang seharusnya sepuluh, dijual lima. Artinya, lima sisanya mesti disubsidi oleh produsen atau operator. Pada saat produsen sudah menempati posisi monopoli, barulah perusahaan akan me-recovery kerugian dengan menaikkan harga di atas marginal cost.

 

“Kontruksi jual rugi itu akan memunculkan perusahaan yang memonopoli. Pada posisi itu, perusahaan bisa mengeksploitasi harga dengan sangat tinggi,” katanya.

 

Apalagi, untuk industri transportasi online yang berbasis inovasi (innovation based), maka tak bisa dipungkiri bahwa tak banyak pemain yang bisa masuk ke pasar. Dalam kondisi ini jelas sangat berbahaya bila satu perusahaan mempredatory perusahaan yang lain. Terlebih memang hanya ada dua pemain dalam industri ojek online di Indonesia. Kalau predatory ini terus berlangsung, kata Syarkawi, justru yang paling dirugikan adalah industri itu sendiri.

 

(Baca: KPPU Selidiki Dugaan Predatory Pricing Ojek Online)

 

Kendati Pasal 20 UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli juga telah melarang praktik jual rugi atau menetapkan tarif sangat rendah dengan maksud mematikan usaha pesaing, sayangnya proses pembuktian atas jual rugi dan predatory pricing itu sangat lama dan harus terbukti dahulu adanya pelaku usaha yang keluar dari pasar.

 

Prosesnya, Pertama, produsen jual rugi sehingga ada pesaing yang keluar dari pasar. Kedua, pemain baru juga tak bisa masuk ke dalam pasar, sehingga perusahaan tersebut menjadi satu-satunya perusahaan yang memonopoli pasar. Ketiga, karena Ia memonopoli pasar maka bisa mengeksploitasi pasar dengan harga jual yang tinggi.

 

Dalam proses itu, KPPU harus betul-betul bisa membuktikan, di antaranya apakah benar telah terjadi jual rugi? hal itu bisa dibuktikan dengan melihat struktur cost yang digunakan perusahaan. Dalam hal ini, bukti ekonomi yang dikantongi KPPU harus betul-betul kuat. Selanjutnya, KPPU harus jeli melihat apakah perusahaan benar-benar telah menjual dibawah harga wajar yang seharusnya ia tanggung dan lainnya.

 

“Karena itu, untuk mengantisipasi predatory pricing ini poin pentingnya ada di Menhub sebenarnya. Pak Menhub perlu didorong memasukkan ketentuan mengenai batasan waktu promosi dan berapa persen batasan diperbolehkan memberikan promosi,” jelasnya.

 

Ketua Tim Peneliti RISED dan Ekonom Universitas Airlangga, Rumayya Batubara, mengakui bahwa perang tarif awalnya akan dirasa sangat menguntungkan konsumen. Akan tetapi, ketika bisnis telah berhasil dimonopoli maka sekalipun diawal jual rugi telah dilakukan, namun produsen pada akhirnya akan memanen pangsa pasar itu dan membalikan kerugian yang telah ia jual.

 

Efek lainnya, bila monopoli terjadi maka penurunan kualitas pelayanan transportasi pun juga turun menurun. Ujungnya, perang tarif itu jelas akan merugikan masyarakat secara keseluruhan. Terlebih saat ini transportasi online sudah menjadi kebutuhan hidup masyarakat.

 

“Di mana-mana yang namanya perang tarif, ujung-ujungnya yang rugi konsumen. Apalagi kompetisi di aplikasi ini cuma dua pemain. Kalau satu keluar di bisnis ini kita bisa didikte. Atau bahkan mereka bisa bersepakat menentukan tarif,” katanya.

 

Sekadar mengingatkan, melalui Kepmen a quo Kemenhub memang telah menentukan batas bawah tariff ojek online dengan membagi dalam tiga zona. Tiga zona itu meliputi wilayah Sumatera, Jawa selain Jabodetabek, Bali (Zona 1), Jabodetabek (Zona 2) dan Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku dan Papua (Zona 3). Batasan tarif Zona 1 sebesar Rp 1.850- Rp 2.300 per kilometer, Zona 2 sebesar Rp 2.000-Rp 2.500 per km dan Zona 3 sebesar Rp 2.100-Rp 2.600 per km. Selain itu, batasan tarif jasa minimal juga diatur dengan masing-masing sebesar Zona 1 sebesar Rp 7.000-Rp 10.000, Zona 2 sebesar Rp 8.000-Rp 10.000 dan Zona 3 sebesar Rp 7.000- Rp 10.000.

 

Tags:

Berita Terkait