Mengusung Peradilan Agama Sebagai Warisan Budaya Bangsa
Berita

Mengusung Peradilan Agama Sebagai Warisan Budaya Bangsa

Diusulkan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah perlu diupayakan menjadi warisan budaya benda dan warisan budaya tak benda yang ditetapkan sesuai peraturan. Bahkan, tidak hanya sebagai warisan budaya nusantara saja, namun juga warisan budaya dunia.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ketua MA M. Hatta Ali (tengah) saat meresmikan peluncuran beberapa aplikasi di pengadilan agama, Rabu (18/9). Foto: AID
Ketua MA M. Hatta Ali (tengah) saat meresmikan peluncuran beberapa aplikasi di pengadilan agama, Rabu (18/9). Foto: AID

Cagar budaya artinya kebudayaan yang perlu dijaga dipelihara, dilindungi, dan dilestarikan. Pengadilan agama sebagai cagar budaya menunjukkan sesuatu yang perlu dilindungi, dipelihara dan dilestarikan. Peradilan agama sebagai salah satu cagar budaya bangsa Indonesia, bukan semata-mata sebagai pengakuan terhadap kenyataan Islam yang dianut mayoritas bangsa Indonesia.

 

Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof Bagir Manan mengatakan, kehadiran peradilan agama merupakan sarana hubungan hukum lintas suku, lintas golongan penduduk yang pernah berlaku pada masa kolonial Belanda yang memperkaya budaya bangsa untuk memperkokoh persatuan.  

 

“Pengadilan agama sebagai cagar budaya karena kehadiran peradilan agama (Islam) di Indonesia telah menjadi salah satu ciri budaya Indonesia yang bertalian dengan hubungan atau tatanan sosial di Indonesia,” ujar Bagir Manan dalam sebuah Seminar Nasional bertajuk “Peradilan Agama Sebagai Cagar Budaya Menuju Peradilan Modern Berbasis Teknologi Informasi untuk Melayani” di Hotel Grand Mercure Jakarta, Rabu (18/9/2019).

 

Menurut dia, peradilan sebagai lembaga adalah produk budaya yang diciptakan untuk menegakkan hukum substantif. Dalam lingkungan kekuasaan Islam, peradilan juga merupakan bagian dari penyelenggaraan tugas negara. “Peradilan dalam makna menegakkan hukum materil atau hukum substantif, ada yang menerapkan hukum agama, ada yang menerapkan produk budaya,” kata Bagir Manan melanjutkan.

 

Hal ini dapat terlihat dalam semua ketentuan yang diatur dalam al-Qur’an dan Hadits merupakan ketentuan agama bukan produk budaya. Tetapi, hukum-hukum yang berkembang melalui ijma, qiyas atau ajaran para ulama seperti fiqih adalah produk budaya. Namun, tidak boleh betentangan dengan kaidah-kaidah yang diatur dalam al-Qur’an dan Hadits.

 

Menurutnya, peradilan agama sebagai salah satu cagar budaya bangsa Indonesia bukan semata-mata sebagai pengakuan terhadap kenyataan Islam sebagai mayoritas yang dianut bangsa Indonesia. Sebab, Islam seperti halnya agama lain masuk dan berkembang secara pasif sebagai akulturasi antara ajaran Islam dengan berbagai unsur adat-istiadat.

 

Salah satu ciri khas sebagai cagar budaya, lanjutnya, peradilan agama semestinya berjalan dinamis, berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, perkembangan sistem peradilan modern, dan tatanan berbangsa dan bernegara. Saat ini kehadiran peradilan agama telah dikokohkan secara konstitusional dalam UUD 1945.

 

“Peradilan agama adalah subsistem organisasi negara dalam penyelenggaraan negara (MA). Sesuai tatanan konstitusi dan kenegaraan yang senantiasa tumbuh dan berkembang sejalan dengan perikehidupan berbangsa dan bernegara. Peradian agama adalah cagar budaya yang dinamis bukan cagar budaya statis,” tegasnya.

 

Warisan budaya

Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Nina Herlina mengatakan warisan budaya benda/fisik yang ditinggalkan lembaga peradilan agama sejak masa Kerajaan Islam pertama dari abad ke-13 hingga 50 tahun terakhir (tahun 1960-an) dapat diajukan sebagai cagar budaya apabila memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.   

 

Ia menilai peradilan agama dapat diajukan untuk ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia setelah ditetapkan terlebih dahulu sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nusantara dengan menempuh prosedur yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam perspektif historis, pengadilan agama sudah dikenal di Nusantara sejak lahirnya kerajaan yang bercorak Islam (kesultanan) pada abad ke-13 masehi. Pengadilan agama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pertumbuhan kerajaan bercorak Islam yang ada di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, ataupun Maluku.

 

Dia menerangkan pertumbuhan pengadilan agama pernah mengalami pasang surut seiring situasi politik. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, misalnya, pernah ada upaya menghapus pengadilan agama dari sistem hukum kolonial. Tetapi, dalam perkembangannya, eksistensi peradilan agama justru diakui Pemerintah Hindia Belanda sejak Juni 1882 (Jawa dan Madura) dan sejak 1937 (Karesidenan Kalimantan Selatan dan Timur).

 

Kemudian, keberadaan pengadilan agama mengalami perkembangan pesat terutama setelah Indonesia merdeka. Hal itu terlihat dari pengaturan terkait pengadilan agama dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. “Cukup banyak ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur keberadaan pengadilan agama baik secara tegas maupun implisit. Pengaturan tersebut mulai dari UUD, Ketetapan MPR, dan UU,” terangnya.

 

Menurutnya, peradilan agama harus terus berjalan dinamis dan berkembang menuju peradilan agama yang modern di bawah sistem satu atap MA. “Pengadilan agama atau Mahkamah Syariah perlu diupayakan menjadi warisan budaya benda dan warisan budaya tak benda yang ditetapkan sesuai peraturan. Bahkan, tidak hanya sebagai warisan budaya nusantara saja, namun juga warisan budaya dunia,” harapnya.

 

Ia pun mengusulkan adanya tokoh yang berperan dalam eksistensi dan pengembangan peradilan agama untuk dijadikan sebagai pahlawan nasional. Misalnya, Syaikh Arsyad Al-Banjari dari Kalimantan Selatan.

 

Dalam kesempatan yang sama, peradilan agama sebagai cagar budaya juga terus berkembang dengan perkembangan teknologi. Hal ini dibuktikan dengan peradilan agama di bawah MA meluncurkan beberapa aplikasi yaitu Aplikasi Notifikasi Perkara; Aplikasi Informasi Perkara dan Informasi Produk Manfaat; Aplikasi Antrian Sidang; Aplikasi Verifikasi Data Kemiskinan; Aplikasi Command Center Badilag; Aplikasi e-Eksaminasi; Aplikasi PNBP; e- Register Perkara; dan e-Keuangan Perkara.

 

Ketua MA M. Hatta Ali menyampaikan apresiasinya kepada peradilan agama yang meluncurkan sembilan aplikasi guna mendukung kebijakan MA berbasis teknologi yakni dengan diluncurkannya e-court dan e-litigation. Hatta mengatakan sejak diterbitkan regulasi mengenai e-court, seluruh peradilan dari empat lingkungan termasuk peradilan agama telah mengimplementasikan e-court.

 

Ia mencatat hingga September 2019 ini, perkara yang didaftarkan melalui e-court di pengadilan agama tercatat ada 11.214 perkara atau 73 persen dari total perkara e-court yang diterima secara keseluruhan yaitu 15.424 perkara. Peradilan agama memiliki berkontribusi besar dalam penerimaan pendaftaran perkara secara elektronik ini.

 

Berbagai aplikasi yang telah diluncurkan tersebut, merupakan akselerator untuk mendukung implementasi e-litigasi sesuai amanat Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, dan mendukung kebijakan MA yang mengarah pada modernisasi peradilan berbasis teknologi informasi untuk melayani,” kata Hatta.

Tags:

Berita Terkait