Mengusung Peradilan Agama Sebagai Warisan Budaya Bangsa
Berita

Mengusung Peradilan Agama Sebagai Warisan Budaya Bangsa

Diusulkan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah perlu diupayakan menjadi warisan budaya benda dan warisan budaya tak benda yang ditetapkan sesuai peraturan. Bahkan, tidak hanya sebagai warisan budaya nusantara saja, namun juga warisan budaya dunia.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

“Peradilan agama adalah subsistem organisasi negara dalam penyelenggaraan negara (MA). Sesuai tatanan konstitusi dan kenegaraan yang senantiasa tumbuh dan berkembang sejalan dengan perikehidupan berbangsa dan bernegara. Peradian agama adalah cagar budaya yang dinamis bukan cagar budaya statis,” tegasnya.

 

Warisan budaya

Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Nina Herlina mengatakan warisan budaya benda/fisik yang ditinggalkan lembaga peradilan agama sejak masa Kerajaan Islam pertama dari abad ke-13 hingga 50 tahun terakhir (tahun 1960-an) dapat diajukan sebagai cagar budaya apabila memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.   

 

Ia menilai peradilan agama dapat diajukan untuk ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia setelah ditetapkan terlebih dahulu sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nusantara dengan menempuh prosedur yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam perspektif historis, pengadilan agama sudah dikenal di Nusantara sejak lahirnya kerajaan yang bercorak Islam (kesultanan) pada abad ke-13 masehi. Pengadilan agama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pertumbuhan kerajaan bercorak Islam yang ada di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, ataupun Maluku.

 

Dia menerangkan pertumbuhan pengadilan agama pernah mengalami pasang surut seiring situasi politik. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, misalnya, pernah ada upaya menghapus pengadilan agama dari sistem hukum kolonial. Tetapi, dalam perkembangannya, eksistensi peradilan agama justru diakui Pemerintah Hindia Belanda sejak Juni 1882 (Jawa dan Madura) dan sejak 1937 (Karesidenan Kalimantan Selatan dan Timur).

 

Kemudian, keberadaan pengadilan agama mengalami perkembangan pesat terutama setelah Indonesia merdeka. Hal itu terlihat dari pengaturan terkait pengadilan agama dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. “Cukup banyak ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur keberadaan pengadilan agama baik secara tegas maupun implisit. Pengaturan tersebut mulai dari UUD, Ketetapan MPR, dan UU,” terangnya.

 

Menurutnya, peradilan agama harus terus berjalan dinamis dan berkembang menuju peradilan agama yang modern di bawah sistem satu atap MA. “Pengadilan agama atau Mahkamah Syariah perlu diupayakan menjadi warisan budaya benda dan warisan budaya tak benda yang ditetapkan sesuai peraturan. Bahkan, tidak hanya sebagai warisan budaya nusantara saja, namun juga warisan budaya dunia,” harapnya.

 

Ia pun mengusulkan adanya tokoh yang berperan dalam eksistensi dan pengembangan peradilan agama untuk dijadikan sebagai pahlawan nasional. Misalnya, Syaikh Arsyad Al-Banjari dari Kalimantan Selatan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait