Mengurai Pemikiran Prof Tatiek Sri Djatmiati Menyangkut Perizinan
Perempuan dan Pendidikan Hukum

Mengurai Pemikiran Prof Tatiek Sri Djatmiati Menyangkut Perizinan

Tujuan perizinan saat ini terjadi pergeseran, dari mengatur tingkah laku masyarakat menjadi instrumen pendapatan pemerintah.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Prof Tatiek Sri Djatmiati, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Foto: forlap.ristekdikti.go.id
Prof Tatiek Sri Djatmiati, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Foto: forlap.ristekdikti.go.id

Produktif, begitulah gambaran sosok Prof Tatiek Sri Djatmiati, seorang Guru Besar dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Di tengah kesibukannya saat ini, dia masih berusaha membagi ilmu pengetahuannya melalui buku kepada masyarakat.

 

Menulis buku bukan hal baru bagi Prof Tatiek, sebelumnya sudah ada buku yang disusun bersama rekannya berjudul Argumentasi Hukum. Melalui buku ini, Prof Tatiek menjelaskan seluk-beluk argumentasi hukum yang merupakan nama lain penalaran hukum (legal reasoning). Penjelasan dimulai dan keberadaan ilmu hukum sebagai ilmu jenis sendiri, pembahasan tentang logika hukum, uraian tentang dasar argumentasi hukum, diskusi tentang langkah pemecahan masalah hukum dan diakhiri oleh contoh-contoh legal opinion.

 

Dengan penjelasan ini memaklumi setiap individu perlu mengenal argumentasi hukum. Sebab, berkat argumentasi hukum itulah seorang individu yang merasa dirugikan bisa menuntut ganti rugi pihak yang merugikannya secara rasional. Berkat argumentasi hukum itu pula seorang individu bisa paham kedudukan hukum dalam menjalani kehidupannya. Tidak terlalu berlebihan bila buku itu pantas dibaca oleh setiap individu dewasa.

 

Di dunia kampus, Prof Tatiek akrab dengan hukum administrasi negara. Bidang ilmu tersebut yang juga membawanya menjadi guru besar pada 24 November 2017. Dalam pidato pengukuhannya berjudul Perizinan Sebagai Instrumen Yuridis Dalam Pelayanan Publik, dia menyayangkan masih banyak kasus-kasus perizinan usaha di tingkat pusat dan daerah bermasalah.

 

Persoalan tersebut menyebabkan maraknya penebangan hutan, penangkapan ikan dan pertambangan ilegal di tingkat pusat. Sementara daerah, terjadi persoalan-persoalan berupa pemasangan reklame dan IMB ilegal. Kondisi ini dianggap Prof Tatiek menunjukan tujuan, karakter dan fungsi perizinan disalahgunakan atau diabaikan.

 

Menurut Prof Tatiek dalam pidato pengukuhannya saat itu, izin merupakan norma pengatur atau norma pengendali agar masyarakat dalam melakukan kegiatan tertentu seperti bisnis maupun kegiatan lainnya harus sesuai ketentuan hukum berlaku. Izin merupakan preventive instrument atau bentuk pencegahan perilaku menyimpang dari masyarakat agar memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan bukan sekadar sumber pendapatan semata.

 

(Baca: Mengenal Konsep Penyelesaian Konflik Tanah Ulayat Gagasan Prof Yulia Mirwati)

 

“Keluhan masyarakat saat ini adalah di samping izin sebagai biang berbagai macam perusakan dan pencemaran, maka perizinan di Indonesia juga menghambat investasi. Alternatif dan solusi saat ini antara lain dengan pola pelayanan satu atau (one stop service) dan pola pelayanan satu pintu,” jelasnya.

 

Prof Tatiek menjelaskan perkembangan perizinan Indonesia telah terjadi pergeseran tujuan. Sejatinya perizinan merupakan instrumen yuridis untuk mengendalikan kehidupan masyarakat, namun beralih menjadi instrumen pendapatan tidak hanya tingkat pusat tetapi daerah. Bahkan dalam sudut pandang Hukum Administrasi, perizinan harus diberikan secara gratis, namun kondisi ini berbeda di Indonesia.

 

Pidato pengukuhannya tersebut juga mengungkap tindakan maladministrasi dalam perizinan Indonesia. Dia merujuk laporan Ombudsman RI yang menyatakan berbagai tindakan maladministrasi dalam perizinan seperti penundaan berlarut, tidak menangani, persengkongkolan, pemalsuan, di luar kompetensi, tidak cakap, penyalahgunaan wewenang, permintaan imbalan (KKN), penyimpangan prosedur, melalaikan kewajiban, bertindak tidak layak, penggelapan barang bukti, tidak adil, penguasaan tanpa hak, nyata-nyata berpihak, intervensi, pelanggaran Undang-Undang hingga perbuatan melawan hukum.

 

(Baca: Saat Ide Pembaharuan Hukum Acara Perdata Diangkat dalam Orasi Prof Efa Laela Fakhriah)

 

Prof Tatiek berpendapat buruknya perizinan akan berdampak negatif bagi negara. Salah satu dampaknya adalah kerusakan lingkungan. “Indonesia sungguh demikian kaya, dengan hamparan gunung, hutan, lautan dan kekayaaan lama yang terkandung di dalamnya. Tidak berlebihan kiranya kalau Presiden RI Pertama, Soekarno mengatakan bahwa kekayaan bumi pertiwi ini laksana untaian ratna mutu manikam bak zamrud khatulistiwa. Namun, sungguh patut disayangkan, bahwa di negara kita yang indah dan kekayaan alam berlimpah telah terjadi berbagai macam pencemaran dan pengrusakan kekayaan alam Indonesia,” kata Prof Tatiek.

 

Bila merujuk pidato tersebut, masalah perizinan masih terjadi hingga saat ini. Meski pemerintah telah berupaya mengeluarkan layanan perizinan secara online berupa One Single Submission (OSS). Namun, berbagai persoalan masih banyak terdapat dalam layanan tersebut. Komitmen perbaikan harus dilakukan pemerintah daerah dan pusat agar tujuan utama perizinan sebagai pelayanan publik dapat optimal.

 

Tidak hanya itu, Prof Tatiek juga menyoroti kebijakan pemerintah saat untuk ketiga kalinya dalam sejarah Indonesia setelah 1964 dan 1984, pemerintah kembali mencanangkan program tax amnesty (pengampunan pajak) bagi masyarakat Indonesia.

 

Dalam acara Gelar Inovasi Guru Besar Seri II bertajuk “Tax amnesty : Antara Harapan dan Kenyataan”, Prof Tatiek membahas program tax amnesty dari segi keahlian dibidangnya yakni Hukum Administrasi. Menurutnya banyak masyarakat yang menyatakan kontra akan program tersebut dan dengan dilandasi kecemburuan.

 

“Banyak sekali orang yang cemburu. Mereka beranggapan, kita sudah taat membayar pajak, nah ini yang tidak bayar pajak malah dapat pengampunan,” jelas Prof Tatiek saat itu seperti dikutip dari situs resmi Unair.

 

Prof Tatiek mengungkapkan, selayaknya program tax amnesty ini tidak menimbulkan diskriminasi atau ketidakadilan, sehingga dapat meminimalisir pro dan kontra. “Tax amnesty seharusnya gak terus-terusan dilakukan. Masa  iya, orang gak bayar pajak diampuni terus,” serunya.

 

Kendati demikian, mengutip dari pasal 2 UU No 11 tahun 2016, Prof Tatiek membeberkan beberapa tujuan dari dilaksanakannya program tax amnesty. “Selain mempercepat pertumbuhan restrukturisasi ekonomi, TA (tax amnesty, –red) juga mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan,” jelasnya.

 

Sayangnya, sebagaimana yang dijelaskan Prof Tatiek, masih ada problem yuridis dalam pelaksanaan pengampunan pajak, yaitu adanya pro kontra yang berkaitan dengan pemahaman asas keadilan. Menurut Prof Tatiek, hal tersebut terjadi karena adanya pemahaman yang belum sesuai antara internal Dirjen Pajak dengan pemahaman tax amnesty yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya.

 

“Dalam Pasal 2 UU No.11 Tahun 2016 disebutkan tentang asas dan tujuan TA, yaitu pengampunan pajak dilaksanakan atas asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional,” ungkapnya.

 

Terkait penegakan hukum dalam konteks hukum administrasi, Prof Tatiek menyebut ada dua unsur  yang melandasi, yaitu pengawasan dan pemberian sanksi. “Pejabat yang memiliki wewenang harus melakukan pengawasan dalam pelaksanaan pengampunan pajak, oleh karena dari instrument pengawasan ini, sanksi berupa administrasi baru dapat diterapkan apabila terdapat pelanggaran,” jelasnya.

 

Prof Tatiek mengimbau agar pemerintah selaku pengelola pajak dan masyarakat Indonesia harus saling percaya agar reformasi sistem perpajakan tersebut dapat berjalan untuk Indonesia yang lebih baik.

 

Tags:

Berita Terkait