Mengurai Kekeliruan Praktik Penanganan Praperadilan
Resensi

Mengurai Kekeliruan Praktik Penanganan Praperadilan

Upaya meluruskan kekeliruan praktik penanganan praperadilan melalui Revisi KUHAP dan/atau Peraturan MA terkait hukum acara praperadilan agar menjadi lebih baik.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Judul 

Hukum Acara Praperadilan Dalam Teori dan Praktik: Mengurai Konflik Norma dan Kekeliruan dalam Praktik Penanganan Perkara Praperadilan

Penulis

D.Y. Witanto

Penerbit   

Imaji Cipta Karya

Cetakan

I, Mei 2019

Ukuran 

14 X 21 CM

Halaman

vi + 318 hlm

 

Dalam buku ini dijelaskan pula Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP, salah satu tugas penuntut umum melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan pemanggilan sidang dalam perkara pidana termasuk perkara praperadilan dilakukan melalui penetapan hakim. Ke depan, melalui buku ini sang penulis mengusulkan pemanggilan perkara praperadilan dilakukan oleh penuntut umum.

 

Namun, bagaimana mungkin pemanggilan praperadilan dilakukan oleh penuntut umum, sementara perkara pokoknya belum dilimpahkan ke pengadilan? Meski perkara pokoknya masih dalam tahap penyidikan, tapi eksistensi penuntut umum sudah ada dalam proses penyidikan ini. Ini seperti diatur Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan “dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.”

 

Buku ini juga mengurai beban pembuktian dalam perkara praperadilan, apakah pemohon yang berstatus tersangka atau termohon (penyidik/penuntut umum)? Penulis berkesimpulan beban pembuktian diberikan kepada pemohon dan termohon atau disebut sistem pembuktian terbalik secara terbatas. Menurutnya, sangat tidak adil jika beban pembuktian hanya ditujukan bagi  tersangka. Mengingat bukan hal mudah mencari dan mengumpulkan bukti-bukti meskipun bisa saja dengan bantuan penasihat hukum, tetapi kondisi tersangka dibatasi haknya (ditahan).

 

Seiring diperluasnya objek pemeriksaan praperadilan sebagai amanat putusan MK, putusan-putusan praperadilan yang muncul belakangan sangat dinamis dalam mengisi celah-celah kosong sesuai kebutuhan rasa keadilan. Inilah yang menjadi salah satu alasan terbitnya buku ini karena ternyata ruang lingkup praperadilan tak sesempit yang digambarkan 7 pasal dalam KUHAP termasuk penerapannya tidak pernah searah dengan dasar filosofi pembentukannya.

 

Untuk itu, melalui buku yang “kaya” akan kajian normatif-empiris ini diharapkan dapat membuka cakrawala berpikir bagi insan-insan hukum termasuk pembentuk UU dalam upaya meluruskan kekeliruan praktik penanganan praperadilan di Indonesia. Selanjutnya, ada upaya perbaikan atau perubahan yang bisa dilakukan melalui Revisi KUHAP dan/atau Peraturan MA terkait hukum acara praperadilan agar menjadi lebih baik.

 

Selamat membaca…..!!!

Tags:

Berita Terkait