Mengurai 3 Cara Mengakhiri Kebrutalan Israel di Palestina
Mengadili Israel

Mengurai 3 Cara Mengakhiri Kebrutalan Israel di Palestina

Antara lain tekanan masyarakat internasional yang terus-menerus terhadap Israel, hingga inisiatif Amerika Serikat menghentikan perang.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Foto Ilustrasi:  The Wall Street Journal (fadel senna/Agence France-Presse/Getty Images)
Foto Ilustrasi: The Wall Street Journal (fadel senna/Agence France-Presse/Getty Images)

Derita warga Gaza di Palestina belum berakhir karena pemerintahan Israel di bawah pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu masih gencar melancarkan serangan militer. Dengan dalih membasmi pejuang Hamas, Israel melakukan serangan membabi buta menyasar masyarakat sipil, tenaga medis, RS, dokter bahkan jurnalis yang bertugas di lapangan.

Putusan sela International Court of Justice (ICJ) yang memerintahkan Israel mencegah tindakan genosida kepada warga Palestina dan memperbaiki situasi kemanusiaan di jalur Gaza tak digubris. Faktanya, sampai saat ini Israel masih melakukan serangan. Tekanan masyarakat internasional termasuk PBB seolah tak mampu menghentikan kekejaman militer Israel. Tindakan biadab Israel terhadap warga Palestina tak hanya terjadi kali ini, tapi sudah berulang kali.

Pakar Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) Hasbi Aswar mengatakan operasi militer Israel yang berlangsung di Gaza, Palestina sejak 7 Oktober 2023 tidak diketahui kapan akan berakhir. Otoritas Israel telah mendeklarasikan perang untuk menghabisi kelompok Hamas.

Bahkan yang mengarahkan moncong senjata kepada warga Palestina bukan hanya dari pihak militer, tapi juga warga sipil. Sebab, pemerintah Israel memang telah membekali warganya di wilayah Tepi Barat dengan senjata, sehingga terjadi tindakan pembunuhan terhadap warga Palestina. Kekejaman Israel itu telah menimbulkan sedikitnya 29 ribu korban tewas.

“Israel menyasar semua, mereka tidak mematuhi hukum humaniter yang membedakan mana kombatan dan non kombatan,” kata Hasbi dalam seminar Nasional  bertema "Palestina, Dua Perkara Mahkamah Internasional, dan Kontribusi Indonesia" yang diselenggarakan Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Jum'at (23/2/2024).

Baca Juga:

Hasbi menegaskan masalah yang terjadi di Israel bukan soal perang antara Yahudi dan Muslim. Jauh sebelum pendudukan Israel, etnis Yahudi merupakan bagian dari warga Palestina. Masalahnya ada titik temu antara kepentingan kelompok zionis dan pemerintah Inggris, sehingga sepakat mendirikan negara Israel. Setidaknya sejak deklarasi Israel tahun 1948 sampai sekarang konflik terus berkecamuk di wilayah yang berjuluk tanah kelahiran para Nabi itu.

Salah satu sebab Israel berani melawan tekanan komunitas internasional termasuk PBB karena mendapat dukungan tanpa syarat dari Amerika Serikat (AS). Hasbi mencatat sejak operasi militer berkecamuk awal Oktober 2023 sampai sekarang AS telah memberikan bantuan sebesar AS$14 miliar ke Israel.

Kepentingan AS terhadap Israel sangat besar karena wilayah itu sebagai penghubung berbagai benua, sehingga banyak jalur perdagangan penting. Bahkan untuk melindungi koleganya di Timur Tengah itu, AS juga memberikan bantuan ke negara tetangga seperti Mesir, Yordania, Irak, dan lainnya.

Hubungan erat AS-Israel juga bisa dilihat dari tindakan AS sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang melakukan veto terhadap resolusi PBB yang memerintahkan gencatan senjata di Gaza. Tak hanya itu, AS juga merayu negara-negara Arab agar menjalin hubungan baik dengan Israel dengan iming-iming paket ekonomi dan militer. Berbagai hal itu yang membuat negara-negara di Timur Tengah terkesan tidak melakukan langkah signifikan untuk menghentikan kebrutalan Israel terhadap warga Palestina.

Indonesia juga bersikap hati-hati merespons isu yang melibatkan Israel, sebab Indonesia punya hubungan yang penting dengan AS. Hasbi mencatat Israel melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan eksistensinya mulai dari memperkuat militer, membendung lawan politik, dan terus meminta dukungan negara-negara barat terutama AS. Kendati terlihat sulit membendung, tapi Hasbi melihat masih terbuka peluang untuk menghentikan agresi Israel di Palestina.

Setidaknya ada 3 hal yang membuka peluang itu. Pertama, tekanan yang terus-menerus dari masyarakat internasional. Kedua, ketika energi dari masing-masing pihak terkuras habis, sehingga tidak ada daya lagi untuk melakukan serangan. Ketiga, AS mengambil inisiatif untuk tegas menghentikan perang. Salah satu bentuk tekanan yang dilancarkan masyarakat internasional terhadap Israel yakni melalui proses hukum di ICJ.

Dua proses hukum di ICJ

Dosen Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum UGM Fajri Matahati Muhammadin menjelaskan ada 2 proses hukum yang bergulir di ICJ. Pertama, Afrika Selatan menggugat Israel terkait dugaan genosida yang dilakukan Israel di Gaza, Palestina. Dalam perkara ini Afrika Selatan dan Israel adalah negara yang telah meratifikasi konvensi Genosida, sehingga ketika ada sengketa terkait genosida proses penyelesaiannya melalui ICJ.

Proses yang berlangsung di ICJ tidak sebentar, tapi Afrika Selatan telah meminta majelis hakim untuk menerbitkan putusan sela yang disebut Provisional Measures. Putusan sela yang diucapkan pada 26 Januari 2024 lalu itu diperlukan untuk tindakan cepat terhadap situasi yang dinilai darurat. Amar putusan sela itu memuat 6 hal. Pertama, Israel wajib mencegah tindakan yang bisa jadi merupakan genosida. Kedua, Israel wajib memastikan militernya menghentikan tindakan-tindakan tersebut (genosida, red).

Ketiga, Israel wajib memproses dan mempidana orang-orang yang bertanggung jawab atas genosida. Keempat, Israel wajib memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan ke Palestina. Kelima, Israel wajib menjaga bukti-bukti yang dapat dipakai untuk investigasi genosida. Keenam, Israel wajib memberikan laporan terkait pelaksanaan putusan ini dalam waktu sebulan.

“Ini putusan darurat yang bisa diminta dengan syarat ada dugaan awal, sehingga beban pembuktiannya tidak tinggi,” ujarnya.

Proses hukum yang kedua yakni Majelis Umum PBB meminta pendapat hukum atau Advisory Opinion kepada ICJ. Kemudian ICJ mengundang negara-negara anggota PBB untuk menyampaikan pandangan hukumnya, termasuk Indonesia.

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Departemen Hukum Internasional FH UGM Prof Sigit Riyanto mengatakan 2 kasus ajudikasi yang ditangani ICJ itu bisa digunakan untuk ‘membantu’ Palestina. Indonesia telah menyampaikan pendapat tertulis kepada ICJ dan rencananya akan dibacakan dalam waktu dekat ini. 

Intinya, Majelis Umum PBB mengajukan 2 pertanyaan mendasar kepada ICJ. Pertama, konsekuensi hukum atas pelanggaran hak menentukan nasib sendiri warga Palestina dengan melakukan pendudukan, aneksasi, dan pemukiman ilegal, termasuk apartheid dan segregasi. Kedua, konsekuensi hukum atas kebijakan dan praktik yang telah dilakukan Israel tersebut.

Putusan final ICJ itu menurut Prof Sigit bakal menjadi rujukan kuat bagi ICJ dan masyarakat internasional untuk membantu perjuangan rakyat Palestina secara diplomatik dan ajudikasi karena punya landasan kuat. Tapi pendapat hukum yang dihasilkan ICJ tidak punya kekuatan untuk dieksekusi langsung.

“Dalam banyak peristiwa, pendapat hukum itu menjadi rujukan pembentukan norma hukum internasional,” katanya.

Tags:

Berita Terkait