Mengulas Crime and Punishment di Indonesia
Kolom

Mengulas Crime and Punishment di Indonesia

Sebuah upaya melihat permasalahan besar yang terjadi dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana di Indonesia.

Bacaan 5 Menit
Arsil. Foto: HOL
Arsil. Foto: HOL

Crime and Punishment In Indonesia. Sebuah buku tentang situasi kontemporer penegakan hukum pidana di Indonesia dan permasalahannya. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari sejumlah skolar Australia serta para pegiat hukum di Indonesia yang umumnya merupakan kandidat doktor di Universitas Melbourne. Buku ini terbagi dalam 6 bagian yang terdiri dari The Criminal Code (Part I), Crime, Reform and the Courts (Part II), Penalties and Sentencing (Part III), Crime and Environment (Part IV), Crime and Religion (Part V), dan Criminal Law in Aceh (Part VI).

Banyak topik menarik yang dibahas dalam buku setebal 500an halaman ini. Buku ini sendiri, sebagaimana dinyatakan oleh Tim Lindsey dan Helen Pausacker sebagai editornya tidak bermaksud untuk menyajikan kajian komperhensif atas sistem peradilan pidana di Indonesia. Melainkan serangkaian kajian mendalam atas beberapa permasalahan besar yang terjadi dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana di Indonesia yang darinya diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang kompleksitas permasalahan yang ada.

Pada bagian pertama, buku ini membahas tentang gambaran umum sistem hukum pidana dan hukum acara pidana yang ada di Indonesia, yang tentu saja fokus pada 2 peraturan pokok yang ada, KUHP dan KUHAP serta rencana pembaruannya. Kedua isu ini ditulis oleh Tim Lindsey dan Simon Butt, dua skolar Australia yang sudah tidak asing lagi bagi pegiat pembaruan hukum di Indonesia.

Bagi para akademisi hukum khususnya pidana dan acara pidana di Indonesia tentu kedua topik ini bukan sesuatu yang asing atau bahkan penting karena sudah menjadi makanan sehari-hari. Namun mengingat buku ini memang tidak semata ditujukan bagi pembaca Indonesia namun internasional maka tentu sangat penting buku ini memuat kedua bahasan tersebut, agar pembaca asing dapat memahami gambaran umum sistem peradilan pidana di Indonesia sebelum membaca topik-topik lainnya.

Selain itu pada bagian pertama ini terdapat bahasan khusus tentang rencana dimasukkannya kejahatan Hak Asasi Manusia yang Berat ke dalam rancangan KUHP serta perdebatannya. Artikel yang ditulis oleh Ken MP Setiawan cukup menarik, karena tak hanya membahas perlu tidaknya kejahatan-kejahatan tersebut diinkorporasi dalam RKUHP namun juga mencoba melihat permasalahan penegakan hukum kejahatan HAM Berat ini secara lebih luas, yaitu permasalahan-permasalahan prosedural, kewenangan Komnas HAM dan Kejaksaan dan lain sebagainya.

Dalam artikel ini Ken memang menilai bahwa secara normatif ketentuan-ketentuan kejahatan HAM Berat dalam RKUHP ini sudah lebih baik dari UU 20/2000 dan sudah lebih sejalan dengan instrumen internasional, namun ia juga meragukan bahwa hal ini akan mengubah praktik penegakan hukumnya itu sendiri, karena tujuan dimasukkannya kejahatan ham berat ke dalam RKUHP lebih didorong pada upaya melakukan (re) kodifikasi hukum semata dibanding memperbaiki praktik penegakannya itu sendiri.

Analisis dan kesimpulan Ken sangat menarik, karena dapat membuka mata kita akan bagaimana sebenarnya keseriusan pemerintah selama ini dalam mereformasi sistem hukum dan peradilan pidana itu sendiri. Reformasi hukum pidana dan sistem peradilan pidana melalui RKUHP dan RKUHAP serta realitanya seakan berada dalam dua dunia yang berbeda dan tidak saling berhubungan.

Pemerintah sejak lama berupaya untuk menyusun RKUHP dan RKUHAP sebagai upaya untuk mereformasi sistem peradilan pidana, namun di saat yang bersamaan permasalahan-permasalahan aktual yang ada seakan dibiarkan dan tidak dibenahi. Sebagai contoh, di satu sisi pemerintah melalui RKUHP ini mencoba memasukan hampir semua ketentuan pidana yang ada di luar KUHP yang “berserakan” di lebih dari 100an undang-undang. Namun di sisi lain pemerintah juga tetap memasukan ketentuan pidana dalam berbagai undang-undangnya yang baru yang tentu tidak sejalan dengan rencana rekodifikasi itu sendiri.

Permasalahan serupa juga dapat dilihat dalam bagian ketiga, Penalties dan Sentencing. Pada bagian ini setidaknya terdapat 3 artikel yang juga dapat menunjukkan upaya reformasi melalui RKUHP dan RKUHAP seakan berada dalam dunia lain, semangat yang ada dalam penyusunan kedua undang-undang ini, yang sebenarnya cukup baik dan perlu diapresiasi, tidak terefleksikan juga dalam bagaimana pemerintah (dan DPR) menyikapi permasalahan-permasalahan aktual yang ada. Artikel tersebut yaitu yang ditulis oleh Leopold Sudaryono yang menganalisis faktor-faktor penyebab overcrowding di rutan dan lapas yang ada di seluruh Indonesia, serta dua artikel yang ditulis oleh Rifqi Assegaf tentang pelaksanaan Perma No. 2 Tahun 2012 dan tentang permasalahan seputar pidana minimum khusus.

Ketiga tulisan yang sangat saling terkait bagaimana praktik penegakan hukum pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, ketentuan-ketentuan pidana khususnya di luar KUHP seperti UU Narkotika, minimnya alternatif pemidanaan selain pidana penjara akibat tidak pernah disesuaikannya nilai mata uang dalam KUHP yang ada sangat berkontribusi besar terhadap munculnya fenomena overcrowding. Di sisi lain upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Agung untuk sedikit mengurangi masalah tersebut dengan menerbitkan Perma No. 2 Tahun 2012 yang mengkonversi seluruh nilai rupiah yang ada dalam KUHP yang dapat berdampak pada dapat dioptimalkannya penggunaan pidana denda sebagai alternatif dari pidana penjara tidak cukup mendapatkan respon yang serius dari pemerintah dan DPR dengan misalnya menjadikan materinya sebagai undang-undang. Perma tersebut dibiarkan tetap menjadi Perma yang karena sifatnya memang hanya berlaku internal di kalangan pengadilan, Perma ini pada akhirnya tidak terlalu efektif berjalan.

Isu lain yang diangkat oleh Mas Achmad Santosa dan Stephanie Juwana pada artikel seputar pertanggungjawaban pidana korporasi bagian berikutnya, yaitu bagian Crime and Environment juga dapat dilihat dalam kacamata yang sama. Pengaturan tentang pertanggungjawaban korporasi walaupun telah lama diintroduksi di Indonesia, yaitu sejak tahun 1951, namun pengaturan tersebut tersebar di berbagai undang-undang yang satu sama lain tidak seragam. Selain itu selama ini juga belum ada pengaturan tentang prosedur atau hukum acara untuk memeriksa dan mengadili korporasi itu sendiri. Hal ini berkontribusi pada tidak banyaknya pelaku korporasi yang dijerat pidana walaupun disinyalir praktiknya cukup banyak, terutama dalam isu lingkungan hidup. Selain itu juga masalah ini melahirkan banyak permasalahan inkonsistensi dalam praktik seperti yang diurai dalam contoh-contoh kasus yang ada dalam tulisan ini.

Permasalahan-permasalahan tersebut sebenarnya telah disadari oleh pemerintah, yang terlihat dari dimasukannya konsep pertanggungjawaban korporasi dalam RKUHP sejak lama. Namun, seperti halnya pada masalah-masalah lain yang disebut sebelumnya, ya hanya dimasukan ke dalam RKUHP (dan RKUHAP) semata yang entah kapan keduanya akan selesai dibahas dan diundangkan. Sementara itu permasalahan riil yang terjadi tidak diselesaikan. Seakan kita harus menunggu segala permasalahan ini baru akan diselesaikan jika kedua RUU tersebut selesai dibahas dan diundangkan. Yang pada akhirnya seperti mengunggu godot.

RKUHP dan RKUHAP tentu sangat penting, saya tidak menampik hal ini, bahkan mendukung sepenuhnya. Namun mengandalkan semata reformasi sistem peradilan pidana pada kedua UU tersebut dengan membiarkan permasalahan-permasalahan aktual yang ada tentu bermasalah.

Hukum dan sistem hukum seharusnya responsif atas permasalahan-permasalahan yang ada, yang menghambat tujuan dari penegakan hukum pidana itu sendiri. Pola pikir bahwa kita baru dapat membenahi permasalahan yang ada jika RKUHP dan RKUHAP selesai dibahas dan diundangkan harus segera ditinggalkan. Karena dampak dari masalah ini langsung mengena pada seluruh lapisan masyarakat, langsung mengena pada terlanggarnya hak asasi manusia.

Tak ada salahnya reformasi sistem peradilan pidana dilakukan secara incremental, bahkan dengan merevisi KUHP dan KUHAP yang berlaku saat ini sembari tetap membahas dan menyelesaikan RKUHP dan RKUHAP. Kedua pendekatan ini tidaklah saling bertentangan bahkan sebenarnya sejalan mengingat kedua pendekatan ini sama-sama dapat bertujuan untuk mereformasi sistem peradilan pidana.

Penutup

Masih banyak hal menarik yang ada dalam buku Crime and Punishment in Indonesia ini. Tulisan ringkas ini memang tidak bermaksud mengulas seluruhnya, agak berat juga untuk mengulas seluruhnya karena ya 500an halaman, berbahasa Inggris pula. Namun, buku ini penting karena dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang beberapa permasalahan dalam sistem peradilan pidana yang terjadi saat ini.  

Kekurangan dari buku ini sepertinya hanya satu, harganya. Buku yang diterbitkan oleh Routledge ini dibandrol dengan harga 170 poundsterling untuk edisi cetaknya, sementara untuk edisi ebook dibandrol dengan harga 33 poundsterling. Harga yang tentunya cukup tinggi di Indonesia.

*)Arsil, Peneliti Senior LeIP.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait