Mengulas Crime and Punishment di Indonesia
Kolom

Mengulas Crime and Punishment di Indonesia

Sebuah upaya melihat permasalahan besar yang terjadi dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana di Indonesia.

Bacaan 5 Menit

Pemerintah sejak lama berupaya untuk menyusun RKUHP dan RKUHAP sebagai upaya untuk mereformasi sistem peradilan pidana, namun di saat yang bersamaan permasalahan-permasalahan aktual yang ada seakan dibiarkan dan tidak dibenahi. Sebagai contoh, di satu sisi pemerintah melalui RKUHP ini mencoba memasukan hampir semua ketentuan pidana yang ada di luar KUHP yang “berserakan” di lebih dari 100an undang-undang. Namun di sisi lain pemerintah juga tetap memasukan ketentuan pidana dalam berbagai undang-undangnya yang baru yang tentu tidak sejalan dengan rencana rekodifikasi itu sendiri.

Permasalahan serupa juga dapat dilihat dalam bagian ketiga, Penalties dan Sentencing. Pada bagian ini setidaknya terdapat 3 artikel yang juga dapat menunjukkan upaya reformasi melalui RKUHP dan RKUHAP seakan berada dalam dunia lain, semangat yang ada dalam penyusunan kedua undang-undang ini, yang sebenarnya cukup baik dan perlu diapresiasi, tidak terefleksikan juga dalam bagaimana pemerintah (dan DPR) menyikapi permasalahan-permasalahan aktual yang ada. Artikel tersebut yaitu yang ditulis oleh Leopold Sudaryono yang menganalisis faktor-faktor penyebab overcrowding di rutan dan lapas yang ada di seluruh Indonesia, serta dua artikel yang ditulis oleh Rifqi Assegaf tentang pelaksanaan Perma No. 2 Tahun 2012 dan tentang permasalahan seputar pidana minimum khusus.

Ketiga tulisan yang sangat saling terkait bagaimana praktik penegakan hukum pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, ketentuan-ketentuan pidana khususnya di luar KUHP seperti UU Narkotika, minimnya alternatif pemidanaan selain pidana penjara akibat tidak pernah disesuaikannya nilai mata uang dalam KUHP yang ada sangat berkontribusi besar terhadap munculnya fenomena overcrowding. Di sisi lain upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Agung untuk sedikit mengurangi masalah tersebut dengan menerbitkan Perma No. 2 Tahun 2012 yang mengkonversi seluruh nilai rupiah yang ada dalam KUHP yang dapat berdampak pada dapat dioptimalkannya penggunaan pidana denda sebagai alternatif dari pidana penjara tidak cukup mendapatkan respon yang serius dari pemerintah dan DPR dengan misalnya menjadikan materinya sebagai undang-undang. Perma tersebut dibiarkan tetap menjadi Perma yang karena sifatnya memang hanya berlaku internal di kalangan pengadilan, Perma ini pada akhirnya tidak terlalu efektif berjalan.

Isu lain yang diangkat oleh Mas Achmad Santosa dan Stephanie Juwana pada artikel seputar pertanggungjawaban pidana korporasi bagian berikutnya, yaitu bagian Crime and Environment juga dapat dilihat dalam kacamata yang sama. Pengaturan tentang pertanggungjawaban korporasi walaupun telah lama diintroduksi di Indonesia, yaitu sejak tahun 1951, namun pengaturan tersebut tersebar di berbagai undang-undang yang satu sama lain tidak seragam. Selain itu selama ini juga belum ada pengaturan tentang prosedur atau hukum acara untuk memeriksa dan mengadili korporasi itu sendiri. Hal ini berkontribusi pada tidak banyaknya pelaku korporasi yang dijerat pidana walaupun disinyalir praktiknya cukup banyak, terutama dalam isu lingkungan hidup. Selain itu juga masalah ini melahirkan banyak permasalahan inkonsistensi dalam praktik seperti yang diurai dalam contoh-contoh kasus yang ada dalam tulisan ini.

Permasalahan-permasalahan tersebut sebenarnya telah disadari oleh pemerintah, yang terlihat dari dimasukannya konsep pertanggungjawaban korporasi dalam RKUHP sejak lama. Namun, seperti halnya pada masalah-masalah lain yang disebut sebelumnya, ya hanya dimasukan ke dalam RKUHP (dan RKUHAP) semata yang entah kapan keduanya akan selesai dibahas dan diundangkan. Sementara itu permasalahan riil yang terjadi tidak diselesaikan. Seakan kita harus menunggu segala permasalahan ini baru akan diselesaikan jika kedua RUU tersebut selesai dibahas dan diundangkan. Yang pada akhirnya seperti mengunggu godot.

RKUHP dan RKUHAP tentu sangat penting, saya tidak menampik hal ini, bahkan mendukung sepenuhnya. Namun mengandalkan semata reformasi sistem peradilan pidana pada kedua UU tersebut dengan membiarkan permasalahan-permasalahan aktual yang ada tentu bermasalah.

Hukum dan sistem hukum seharusnya responsif atas permasalahan-permasalahan yang ada, yang menghambat tujuan dari penegakan hukum pidana itu sendiri. Pola pikir bahwa kita baru dapat membenahi permasalahan yang ada jika RKUHP dan RKUHAP selesai dibahas dan diundangkan harus segera ditinggalkan. Karena dampak dari masalah ini langsung mengena pada seluruh lapisan masyarakat, langsung mengena pada terlanggarnya hak asasi manusia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait