Mengukur Kesiapan Industri Jasa Keuangan Indonesia Hadapi MEA
Berita

Mengukur Kesiapan Industri Jasa Keuangan Indonesia Hadapi MEA

Unggul di bidang ekonomi dan geografis, Indonesia masih perlu waspada terhadap beberapa hal seperti tingkat inflasi yang tinggi, nilai tukar rupiah, serta pendapatan perkapita yang masih rendah.

CR19
Bacaan 2 Menit
Anggota Dewan Komisioner OJK bidang Edukasi Perlindungan Konsumen Kusumaningtuti S Setiono (tengah) saat MoU dengan Perbanas Institute di Jakarta, Kamis (3/9). Foto: CR19
Anggota Dewan Komisioner OJK bidang Edukasi Perlindungan Konsumen Kusumaningtuti S Setiono (tengah) saat MoU dengan Perbanas Institute di Jakarta, Kamis (3/9). Foto: CR19

[Versi Bahasa Inggris]

Menjelang berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015, banyak keuntungan dan tantangan yang dimiliki Indonesia. Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Kusumaningtuti S Soetiono mengatakan, Indonesia punya sejumlah kekuatan yang dimiliki untuk menghadapi pasar bebas ASEAN nanti.   

“Mari kita lihat apa saja yang akan terjadi mulai di penghujung tahun 2015 ini, ada lima hal yang terjadi free flow, yaitu barang, jasa, investment, tenaga kerja terampil, dan modal. Saya hanya menyoroti yang jasa, karena salah satunya adalah jasa keuangan,” katanya saat memberikan kuliah umum di Perbanas Institute dengan tema “Kesiapan Industri Jasa Keuangan Indonesia Hadapi MEA”, Kamis (1/9).

Paling tidak, dikatakan Tituk terdapat tiga hal yang menjadi sumber kekuatan Indonesia yang mestinya bisa lebih fokus untuk dicermati. Kekuatan itu, antara lain terkait dengan bidang ekonomi, bidang geografis, serta bidang investasi. “Kekuatan kita paling tidak ada tiga yang bisa dicermati,” katanya.

Di bidang ekonomi misalnya, Indonesia saat ini menjadi negara paling besar dalam perolehan produk domestik bruto atau Gross Domestic Product (GDP/PDB). Dari sepuluh negara anggota ASEAN, tahun 2014 PDB Indonesia mencapai AS$888 miliar. Selain itu, lanjut Tituk, dari sisi pertumbuhannya terbilang masih cukup besar, yakni mencapai angka 6,5 persen.

“GDP Indonesia terbesar dari sepuluh negara ASEAN. Tahun 2014 misalnya menunjukan angka AS$888 miliar. Selama ini pertumbuhannya juga cukup tinggi mulai dari 6,5 persen (tahun 2011) meskipun Kuartal ke II tahun 2015 masih 4,67 persen,” paparnya.

Kekuatan kedua di bidang geografis. Di bidang ini, Indonesia juga menempati urutan pertama soal jumlah penduduk. Kata Tituk, total populasi atau jumlah penduduk saat ini mencapai angka 251 juta jiwa. Selain terkait dengan jumlah penduduk, dari segi luas wilayah, dikatakan Tituk bahwa luas Indonesia juga menempati urutan pertama dari negara-negara ASEAN.

“Kemudian soal populasi bahwa jumlah pendudukan 251 juta dan nomor satu di ASEAN. Luas Indonesia adalah yang terluas di ASEAN. Jadi ada tiga keunggulan dari Indonesia,” katanya.

Selain itu, dari segi perekonomian, lanjut Tituk, Indonesia juga menjadi salah satu negara kunjungan yang paling tertinggi untuk aspek ekonomi di ASEAN. Mengutip dari World Invesment Report tahun 2014, Indonesia menempati posisi nomor tiga setelah China dan Amerika Serikat. Selain itu, dari segi investor, Indonesia juga menjadi nomor pertama sebagai negara tujuan untuk berinvestasi. “Jadi, prospek ini juga patut kita cermati,” imbuhnya.

Meski ada tiga keunggulan, Indonesia juga perlu mencermati tiga hal yang menjadi tantangan dalam menghadapi MEA. Pertama, meski GDP Indonesia paling tinggi di antara negara ASEAN lain, namun jika dilihat dariGDP per kapita Indonesia menempati urutan buncit dari negara-negara ASEAN tersebut.

Dengan jumlah penduduk mencapai 251 juta jiwa, GDP per kapita Indonesia baru mencapai angka AS$3.600, jauh di bawah Malaysia yang hampir AS$11.000 dengan jumlah penduduk hanya 29 juta. “GDP Indonesia di G-20, Indonesia nomor 16, nomor satu di ASEAN tapi begitu per kapita dengan jumlah penduduk 251 juta, kita baru mencapai AS$3.600. Di Singapura AS$60.000 atau Brunei Darussalam AS$36.000 per kapita. Malaysia saja hampir AS$11.000 dengan penduduk 29 juta,” jelasnya.

Tantangan yang lain, lanjut Tituk terkait Current Account Deficit. Di antara sepuluh negara ASEAN, hanya Indonesia yang masih minus dan negatif angka defisitnya, yakni –2,95 persen. Meski begitu, ia optimis hal ini akan cepat membaik lantaran dalam beberapa tahun terkahir Indonesia mengalami peningkatan sedikit demi sedikit sehingga mengecilkan jarak defisit dari nilai minus atau di bawah titik nol.

Current Account Defisit, negara-negara di ASEAN semunnya positif. Kita sudah negative-minus, meskipun semakin mengecil beberapa tahun terakhir ini walaupun defisit tapi makin menyempit yaitu -2,95 persen,” jelasnya.

Hal lain yang menjadi tantangan adalah tingginya tingkat inflasi Indonesia di antara negara-negara di ASEAN. Menurut Tituk, salah satu hal penyebabnya karena daya beli masyarakat di Indonesia yang sangat tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Tak hanya itu, maslh ada sejumlah tantangan lain yang perlu dihadapi semisal suku bunga, nilai tukar rupiah, bunga pinjaman (lending), dan tingkat keuangan. “Artinya daya beli masyarakat kita paling berat dibandingkan negara lain di ASEAN. Competitive kita di-challenge di sini, pertama suku bunga, nilai tukar rupiah,” ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Centre of Reform on Economics (CORE) Hendri Saparini mengatakan bahwa saat ini Indonesia belum memiliki strategi yang jelas terkait pelaksanaan MEA. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia jauh tertinggal. Misalnya saja, Malaysia yang fokus pada sektor jasa kesehatan dan pariwisata, Filipina yang akan mengambil posisi pada sektor jasa pendidikan dan pariwisata, serta Thailand yang akan mengambil jasa keuangan, logistik, konsultan, dan pariwisata sebagai sektor unggulan.

Tags:

Berita Terkait