Mengukur Besar Pengaruh Indeks EoDB Terhadap Reformasi Regulasi Indonesia
Terbaru

Mengukur Besar Pengaruh Indeks EoDB Terhadap Reformasi Regulasi Indonesia

Mencari pengaturan yang ideal bagi reformasi regulasi bagi hukum ekonomi Indonesia tidak akan cukup diperoleh hanya dari indikator-indikator dan parameter yang ada pada indeks EoDB, namun juga harus mampu mengakomodasi kondisi empiris yang ada di Indonesia.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 7 Menit
Aria Suyudi memaparkan hasil penelitian disertasinya dalam rangka memperoleh gelar Doktor Hukum pada Universitas Pelita Harapan (UPH) pada Selasa (22/2). Foto: MJR
Aria Suyudi memaparkan hasil penelitian disertasinya dalam rangka memperoleh gelar Doktor Hukum pada Universitas Pelita Harapan (UPH) pada Selasa (22/2). Foto: MJR

Kinerja Reformasi Regulasi RI dalam beberapa dekade terakhir dianggap buruk. Kondisi tersebut ditandai dengan fenomena obesitas regulasi atau hiper regulasi, ketidakpastian hukum, multitafsir, tidak taat asas, tidak efektif serta menciptakan beban tidak perlu dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi.

Berbagai persoalan tersebut berdampak terhadap daya saing Indonesia dilihat dari kemudahan berusaha atau ease of doing business. Fenomena ini menjadi penting karena pada sektor hukum, khususnya pada sektor hukum ekonomi justru terjadi stagnasi regulasi, yang ditandai dengan lambannya reformasi regulasi di sektor hukum untuk menyesuaikan dengan praktik terbaik dan mengantisipasi kebutuhan perkembangan pasar.

Sejak 2010 tercatat mulai terjadi perubahan, pemerintah mulai memandang serius agenda reformasi regulasi, yang berimbas juga kepada sektor hukum ekonomi. Salah satu kebijakan yang dilakukan yaitu menggunakan instrumen Global Performance Indicator (GPI) sebagai sarana untuk menentukan arah dan mempercepat proses reformasi. Salah satu indeks terpenting yang dijadikan rujukan pemerintah adalah Indeks Global Ease of Doing Business (EoDB).

Kondisi tersebut jadi latar belakang penelitian disertasi berjudul Reformasi Regulasi Bidang Hukum Ekonomi untuk Mencapai Perbaikan Peringkat Indeks Ease of Doing Business: Studi 2015-2020 oleh Aria Suyudi dalam rangka memperoleh gelar Doktor Hukum pada Universitas Pelita Harapan (UPH) pada Selasa (22/2).

Dalam sidang disertasi yang diketuai Rektor Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc. dan promotor Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S. serta Ko-Promotor Assoc. Prof. Dr. Henry Soelistyo Budi, S.H., LL.M, Aria mendapatkan gelar doktor dengan peringkat pujian tertinggi atau magna cum laude. (Baca: Cara Meraih Predikat Cum Laude, Magna Cum Laude dan Summa Cum Laude di Perguruan Tinggi)

Dalam penelitiannya, dia menyampaikan ingin melihat seberapa besar pengaruh Indeks EoDB terhadap perjalanan reformasi regulasi hukum ekonomi Indonesia pada indikator-indikator tertentu yang memuat aspek hukum meliputi Starting a Business, Protecting Minority Investors, Getting Credits, Enforcing Contract dan Resolving Insolvency.

Dari kajian tersebut, Aria menyampaikan secara kualitatif dapat disimpulkan bahwa sebagai Global Performance Indikator (GPI), Survei EoDB sangat signifikan pengaruhnya terhadap pola politik reformasi hukum ekonomi RI pada periode 2015-2020, bahkan seiring waktu indeks EoDB telah menjadi GPI yang paling penting dibanding GPI lainnya. Tidak hanya di Indonesia, namun setidaknya di 70 negara lain di dunia.

Kemudian, dia juga menyampaikan istilah kemudahan berusaha di Indonesia sudah bergeser dari definisi teknis menjadi suatu mantra politis yang sangat penting untuk menjustikasi dan mendorong reformasi peraturan pada sektor lain. Salah satu yang paling nyata adalah inisiatif legislasi Omnibus Law yang sejak awal digadang-gadang sebagai solusi meningkatkan kemudahan berusaha.

UU Cipta Kerja memang pada akhirnya memberikan kemudahan berusaha bagi pelaku usaha, namun kontribusinya terhadap peningkatan Indeks EoDB sebenarnya sangat minim.

Perlu diketahui, sebelumnya pemerintah telah menjadikan Survei EoDB sebagai Prioritas Nasional sejak setidaknya tahun 2012. Terdapat Perpres 29/2011 tentang Rencana Kerja Pemerintah tahun 2012 (RKP) mulai memasukkan target peningkatan peringkat survei EoDB di bawah agenda Pelayanan Publik.

Selanjutnya, agenda peningkatan peringkat kemudahan berusaha mulai mendapat momentum setelah memperoleh payung hukum pada Perpres Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 dan juga pada Perpres Nomor 43 Tahun 2015 tentang Rencana Kerja Pemerintah 2015. RPJMN 2015-2029.

Kedua perpres tersebut memang sudah mulai memasukkan pembentukan penyelesaian sengketa acara cepat (small claim court) sebagai salah satu agenda penting untuk melaksanakan Reformasi Sistem Hukum Perdata yang Mudah dan Cepat, agenda mana, merupakan turunan dari indikator Enforcement Contract (EC) pada Survei EoDB. Selanjutnya patut dicatat bahwa Perpres Nomor 43 Tahun 2015 tentang Rencana Kerja Pemerintah 2015 telah sangat preskriptif dalam memberikan instruksi tentang langkah peningkatan kemudahan berusaha.

Pada bagian Ekonomi RKP 2015 secara eksplisit memuat dua agenda, yaitu Perubahan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Penyusunan Peraturan Mahkamah Agung RI tentang Small Claim Court berupa pengurangan prosedur, biaya, dan waktu penegakan kontrak. Selanjutnya pada RPJMN 2020-2024 pemerintah kembali memberikan target spesifik bagi peningkatan indikator dengan parameter hukum ekonomi, dengan memberikan target spesifik untuk peningkatan peringkat EoDB pada indikator Getting Credits, Resolving Insolvency dan Enforcing Contract.

Dari hasil penelitiannya, Aria juga menemukan ada kecenderungan bahwa dalam agenda Reformasi Regulasi kemudahan berusaha 2015-2019 pemerintah telah menomorsatukan aspek kemanfaatan, disusul dengan nilai keadilan, dan terakhir adalah aspek kepastian. Hal ini terlihat pada bagaimana pemerintah mensiasati beberapa solusi yang terkendala aspek prosedural.

Misalnya kebijakan untuk membuat persyaratan modal dasar Perseroan Terbatas pada PP Nomor 29 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas, PP Nomor 24 Tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, Perma Nomor 2 Tahun 2015 jo. Perma Nomor 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, Perma Nomor 3 Tahun 2018 sebagaimana telah dicabut dan diubah oleh Perma Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Secara Elektronik di Pengadilan atau bahkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Dari perspektif kepastian hukum, semua peraturan penting bagi pembaruan hukum ekonomi di atas memiliki permasalahan dari perspektif teknik perancangan perundangan. Semua PP dan Perma yang disebut diatas bisa diklaim sebagai tidak sesuai dengan prinsip lex superior derogat legi inferiori yang diatur oleh UU Nomor 12 Tahun 2011. Khusus untuk PP Nomor 24 Tahun 2018 bahkan sudah pernah diajukan pengujian Hak Uji Materiil oleh masyarakat ke Mahkamah Agung, pengujian mana ditolak oleh Mahkamah Agung,” ungkap Aria.

Kemudian, proses pembaruan Kemudahan Berusaha pada periode 2015-2020 telah menunjukkan bahwa pendekatan a Whole government approach ternyata mampu memberikan hasil konkret dalam waktu relatif singkat dalam suatu proses reformasi regulasi. Dalam a whole government approach di Indonesia tidak hanya melibatkan eksekutif saja, tetapi juga melibatkan Legislatif dan Yudikatif sesuai dengan tugas dan fungsi yang telah diatur dalam Konstitusi.

Penyelesaian UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan metode omnibus law menunjukkan model whole government approach yang berhasil menghasilkan produk legislasi yang diinginkan, terlepas dari berbagai kendala teknis dan substansi. Mahkamah Agung sebagai kekuasaan Yudikatif juga mengambil posisi mendukung terhadap kemudahan berusaha sebagai prioritas nasional.

Mahkamah Agung berhasil menyediakan solusi sementara bagi macetnya agenda reformasi hukum acara perdata dengan memperkenalkan Gugatan Sederhana dan prosedur Persidangan secara elektronik sebagai kontribusi terhadap indikator Enforcing Contract. Selain itu juga Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016 yang mencoba mengatur transparansi dan akuntabilitas dan mengisi kekosongan kebutuhan pelaksanaan proses kepailitan di lapangan.

Satu lagi yang perlu diperhatikan, dukungan Mahkamah Agung kepada reformasi regulasi, melalui Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 69 P/HUM/2019 yang amarnya menolak permohonan Hak Uji Materiil (HUM) yang diajukan terhadap PP Nomor 24 Tahun 2018 Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, dan mengamankan implementasi sistem OSS yang pastinya akan berantakan, apabila Mahkamah Agung mengabulkan permohonan HUM tersebut.

Sayangnya, Aria menyampaikan hingga 2020 agenda reformasi hukum ekonomi belum berhasil menjangkau agenda legislasi formal. Belum satupun Undang-undang yang perlu dirubah dalam agenda reformasi kemudahan berusaha berhasil masuk ke Program Legislasi Nasional. Reformasi hukum yang sifatnya mendasar seperti Hukum Acara Perdata, sistem eksekusi yang memang menjadi biang keladi rendahnya peringkat Survei EoDB nya pada indikator Enforcing Contract sama sekali belum tersentuh.

Memang pada awal 2022 DPR telah memulai pembahasan awal RUU Hukum Acara Perdata, namun Aria menyampaikan hingga studi tersebut dirampungkan materi muatan yang diajukan masih banyak perlu penyesuaian dengan perkembangan yang terjadi di lapangan untuk menyesuaikan dengan berbagai inisiatif Mahkamah Agung dalam mendorong Mediasi dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Peradilan Sederhana, dan Pengadilan Elektronik.

Sementara itu amandemen UU Kepailitan dan UU Jaminan Fidusia, meskipun sudah mulai digulirkan penulisan naskah akademiknya, namun belum ada kejelasan kapan akan diajukan ke DPR, terakhir promovendus menghadiri rapat Panitia Antar Kementerian RUU Kepailitan Jumat lalu yang masih membahas tentang apakah PKPU masih boleh dibuka bagi Kreditor.

Kesimpulan Disertasi

Dalam kesimpulan penelitiannya, Aria menyampaikan hambatan dalam peningkatan peringkat Kemudahan Berusaha tahun 2020 terjadi karena beberapa hal dari sisi pengaturan Indonesia terkait EoDB, pelaksanaan reformasi regulasi atas peraturan terkait Indeks EoDB hingga pengaturan ideal atas reformasi regulasi terhadap kerangka hukum ekonomi Indonesia.

“Berdasarkan penelitian ini, mencari pengaturan yang ideal bagi reformasi regulasi bagi hukum ekonomi Indonesia, tidak akan cukup diperoleh hanya dari indikator-indikator dan parameter yang ada pada indeks EoDB, namun juga harus mampu mengakomodasi kondisi empiris yang ada di Indonesia. Hal ini penting mengingat sebaik-baiknya suatu Global Performance Indicator, maka ia tetap hanya suatu metodologi yang dibuat untuk keperluan one size fits all. Indikator-indikator indeks EoDB secara individu sangat penting untuk memberikan arah, dan menginspirasi prioritas, namun sampai titik tertentu ketika semua telah dilakukan, maka suatu negara harus terus mencari arah reformasi melebihi apa yang menjadi indikator EoDB,” ungkapnya.

Dari hasil penelitiannya, Aria menyarankan beberapa hal seperti perlu melanjutkan agenda pembaruan hukum ekonomi untuk mendorong Kemudahan Berusaha. Pemerintah Selama 2015-2020 telah berhasil menggulirkan agenda reformasi regulasi komprehensif untuk mendorong kemudahan berusaha. sebagian besar agenda reformasi regulasi telah terlaksana, namun masih menyisakan cukup banyak pekerjaan rumah terkait dengan pembaruan undang-undang pada hukum ekonomi. Amandemen UU Kepailitan, UU Jaminan Fidusia, Hukum Acara Perdata perlu dilanjutkan.

Kemudian, dia menyampaikan Indonesia perlu untuk segera memiliki apa yang dalam Grand Design Reformasi Regulasi disebut sebagai lembaga-lembaga pelaksana reformasi regulasi, yang meliputi Regulatory Oversight Body, Regulatory Advisory Body dan Regulatory Promotional Body.

“Karena reformasi regulasi tidak bicara hanya reformasinya, tapi juga pelaksanaan (delivery) dan pengawasannya (inspection). Untuk itu perlu mempertimbangkan melaksanakan mandat UU Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk segera membentuk Lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam urusan peraturan perundang-undangan, dengan menempatkannya pada posisi terdekat dengan pimpinan pemerintahan untuk mengendalikan penuh arah reformasi regulasi, termasuk reformasi regulasi bidang hukum ekonomi,” jelas Aria.

Saran ketiga, dia menyampaikan perlunya mencari pengaturan yang ideal bagi reformasi regulasi hukum ekonomi Indonesia. Kemudian, pemerintah juga perlu menyikapi dihentikannya publikasi Indeks EoDB Pengumuman World Bank Group yang menghentikan penerbitan Indeks EoDB pada September 2021 karena yang menimbulkan kekosongan besar dalam arah Reformasi Regulasi Hukum Ekonomi Indonesia.

Tags:

Berita Terkait