Menguji Konstitusionalitas Vonis Mati Saat Korupsi Bencana Nasional
Berita

Menguji Konstitusionalitas Vonis Mati Saat Korupsi Bencana Nasional

Pemohon meminta kata “nasional” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Majelis mempertanyakan kerugian konstitusional Pemohon.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Pasca peristiwa gempa bumi, tsunami di Palu dan Donggala yang berimplikasi dugaan korupsi dana bencana dan bisa dihukum mati, mendorong beberapa warga negara melayangkan uji materi Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi (Tipikor). Mereka, seorang dosen bernama Jupri (Pemohon I) dan dua mahasiswa yakni Ade Putri Lestari (Pemohon II) dan Oktav Dila Livia (Pemohon III).      

 

Mereka menganggap Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor terkait pidana mati dapat dijatuhkan bagi pelaku korupsi ketika keadaan bencana alam nasional tidak memenuhi rasa keadilan. Sebab, jika penjelasan pasal itu ditafsirkan secara a contrario, kalau bukan bencana alam nasional berarti hukuman mati tidak bisa dijatuhkan.

 

“Ketika korupsi dilakukan ketika bencana alam saja tanpa ada penetapan bencana nasional (oleh pemerintah) seharusnya tetap dapat dijatuhkan hukuman mati,” ujar salah satu kuasa hukum Pemohoh, Victor Santoso Tandiasa dalam sidang pendahuluan di ruang sidang MK, Selasa (22/1/2019). Baca Juga: MK Diminta Pertegas Korupsi dalam Bencana Alam Dijatuhi Hukuman Mati

 

Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.” Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan, “Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”

 

Victor menyoroti kata “nasional” dalam penjelasan norma tersebut. Sebab, pelaku tindak pidana korupsi dalam dana penanggulangan bencana alam seolah-olah dilindungi oleh norma tersebut sepanjang status bencana alam yang dananya dikorupsi tersebut tidak ditetapkan sebagai bencana alam nasional.

 

“Pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan pada saat bencana alam seharusnya sudah dapat dijatuhkan hukuman mati terlepas ditetapkan status bencana alam nasional atau tidak. Sebab, telah menginjak-injak nilai kemanusiaan dan keadilan,” tegasnya.

 

Dia menerangkan setelah bencana alam yang terjadi di Palu dan Donggala belum lama ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan pipa high density polyethylene (HDPE) di daerah tersebut. Selain itu, temuan lain, yaitu dugaan korupsi di beberapa proyek pembangungan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).

 

Menurutnya, dengan tidak ditetapkannya status bencana alam nasional di Palu dan Donggala, Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor menjadi tidak dapat diterapkan. Padahal, tindak pidana korupsi termasuk jenis kejahatan luar biasa, bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan. Apalagi jika hal tersebut dilakukan dalam upaya penanggulangan bencana alam.

 

Atas dasar itu, Pemohon meminta MK menyatakan kata “nasional” setelah frasa “bencana alam” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan begitu, pidana mati dapat dijatuhkan bagi pelaku korupsi yang dilakukan saat bencana alam.   

 

Kritik kerugian konstitusional

Menanggapi permohonan, Majelis Panel I Dewa Gede Palguna mempertanyakan kerugian konstitusional Pemohon. Palguna mengkritik kuasa hukum Pemohon, Victor dan rekan yang sudah sering beracara di MK, tetapi permohonan belum menguraikan kedudukan hukum Pemohon. Sebab, kalau tidak bisa menguraikan kedudukan Pemohon, hal ini akan menyulitkan Majelis MK. 

 

“Penjelasan soal kerugian konstitusional Pemohon dikaitkan dengan kualifikasi Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia harus jelas. Setelah itu barulah masuk ke alasan permohonan untuk membangun argumentasi mengapa pasal yang diuji bertentangan dengan Konstitusi,” saran Palguna.

 

Majelis Panel lain, Enny Nurbaningsih mengaku tidak menemukan uraian argumentasi yang cukup mengenai kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon. “Kecuali kalau Pemohon, salah satu korban bencana di Donggala misalnya, yang kemudian muncul kasus korupsi. Kasus korupsi itu bisa Anda jelaskan lebih detail. Penanganannya mungkin tidak menggunakan tindak pidana korupsi, tetapi menggunakan tindak pidana umum.”  

Tags:

Berita Terkait