Menguji Kesaksian Secara Virtual
Fokus

Menguji Kesaksian Secara Virtual

Kesaksian secara virtual belum diatur dalam KUHAP. Jika tidak segera diatur dalam revisi KUHAP, masalah keabsahan teleconference akan terus menjadi perdebatan.

MYs
Bacaan 2 Menit
Menguji Kesaksian Secara Virtual
Hukumonline

Advokat senior Adnan Buyung Nasution kini terbaring di rumah sakit MMC Kuningan, Jakarta. Ia harus menjalani fisoterapi dua kali seminggu akibat sakit pada bagian tulang punggungnya. Sejak 16 Juni lalu, Bang Buyung --begitu ia disapa --harus istirahat total.

 

Akibatnya, pria berambut perak itu tidak tampak di kursi penasehat hukum dalam persidangan Abu Bakar Ba'asyir (26/06). Padahal selaku koordinator Tim Pembela Abu Bakar Ba'asyir (TPABB), kehadiran Buyung sangat penting. Hari itu, agenda sidang adalah mendengarkan keterangan dari saksi-saksi yang ada di negara jiran Singapura dan Malaysia.

 

Toh, akhirnya bukan hanya Buyung yang tidak ikut mendampingi Ba'asyir. Anggota tim pengacara lain pun memilih keluar dari ruang sidang alias walk out (WO). Aksi WO merupakan tanda protes TPABB atas sikap majelis hakim PN Jakarta Pusat yang tetap memeriksa saksi-saksi melalui layar kaca. "Kami menolak pemeriksaan saksi melalui teleconference karena itu tidak diatur di dalam KUHAP," ujar Mohamad Assegaf, seorang anggota TPABB, sesaat sebelum meninggalkan ruang sidang.

 

Protes senada sebenarnya sudah dilayangkan TPABB seminggu sebelum sidang tersebut dimulai. Mereka mendatangi gedung Mahkamah Agung (MA) di Jalan Medan Merdeka Utara dan meminta lembaga tertinggi yudikatif itu mengambil sikap tegas soal teleconference. Kalau perlu, mengeluarkan semacam fatwa.  

 

Sayang, harapan TPABB tak kesampaian. Ketua MA Bagir Manan menolak mencampuri urusan persidangan Ba'asyir. Ia menyerahkan sepenuhnya kewenangan teleconference kepada majelis hakim yang dipimpin Muhamad Saleh. "MA menyerahkan sepenuhnya kepada majelis hakim," kata Bagir.

 

Majelis hakim tampaknya dihadapkan pada pilihan sulit. Menghadirkan saksi-saksi dari negeri jiran -- semisal Faiz Bafana dan Ja'afar bin Mistooki -- bukan pekerjaan gampang. Apalagi, mereka berada salam status tahanan polisi di sana. Adanya lampu hijau dari Medan Merdeka Utara -- kantor MA -- membuat majelis hakim mantap memutuskan untuk melanjutkan pemeriksaan saksi-saksi dari jarak jauh.

 

Lebih dari itu, membatalkan teleconference juga bakal merugikan. Bayangkan, untuk keperluan sidang virtual itu PT Telkom sudah menandatangani kerjasama degan mitra bisnisnya di negara jiran. PN Jakarta Pusat pun telah mengirimkan hakim Andriani Nurdin ke Singapura. Demikian pula Kejari Jakarta Pusat, Salman Maryadi, yang bertugas mengawasi sidang dari Malaysia. Bila dibatalkan, berapa biaya yang sudah dikeluarkan untuk semua itu?

 

TPABB sangat khawatir para saksi itu akan memberatkan posisi klien mereka. Maklum, para saksi memberi keterangan dari negeri orang dan mereka masih berada dalam tahanan aparat. Bisa jadi, para saksi berada dalam keadaan tekanan saat memberikan keterangan. Tentu saja, kekhawatiran itu tidak bisa diuji dan dilihat kasat mata jika kesaksian mereka dilakukan dari balik kaca.

 

Kekhawatiran itu memang terbukti. Saksi bersaksi dari bekas gedung Kementerian Dalam Negeri Singapura, Faiz Bafana mengungkapkan keterangan yang memberatkan Ba'asyir. Kata Bafana, gagasan pembunuhan Megawati, yang saat itu menjabat Wakil Presiden, datang dari Ba'asyir sendiri. Masih kata Bafana, pengeboman sejumlah gereja sepanjang tahun 2000 pun atas persetujuan sang ustadz.

 

Teleconference dan KUHAP

 

Toh, menurut Assegaf, bagi TPABB bukan hanya sebatas untung rugi, memberatkan Ba'asyir atau tidak. Yang jauh lebih penting adalah keabsahan teleconference itu sendiri. Tegas, TPABB menyatakan bahwa teleconference tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

Memang, berdasarkan pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Lalu, mengapa keterangan Bafana selaku saksi dianggap TPABB tidak sah?

 

Tengoklah bunyi pasal 185 ayat (1) KUHAP: 'keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan'. Dalam penjelasan ayat ini dinyatakan bahwa dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain, lazim disebut testimonium de auditu.

 

Atas dasar itulah, TPABB bersikukuh bahwa kesaksian Faiz Bafana, Hashim bin Abbas dan Ja'afar Mistooki yang memberatkan Ba'asyir tidak bisa dijadikan alat bukti.  "Kesaksian mereka tidak bisa dijadikan alat bukti karena para saksi tersebut tidak tunduk kepada hukum yang berlaku di Indonesia," tegas  Mahendradatta, salah seorang anggota TPABB.

 

Dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, mantan hakim agung M. Yahya Harahap menegaskan bahwa keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Merujuk pada penjelasan pasal 185 ayat (a) KUHAP, kata Yahya, keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside of court) bukan alat bukti. Dengan kata lain, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

 

Pendapat senada datang dari guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Achmad Ali. Oleh karena para saksi adalah warga negara asing, mereka tidak tunduk kepada hukum Indonesia. Meskipun para saksi dari negeri jiran disumpah, anggota Komnas HAM itu berpendapat, mereka akan sulit dituntut misalkan jika memberikan keterangan palsu.  Hukum Indonesia akan sulit diterapkan kepada warga negara asing yang ada di luar negeri.

 

Preseden kasus Habibie

 

Prokontra teleconference muncul seiring kesaksian mantan Presiden Habibie dari balik layar kaca dalam kasus penyimpangan dana non-budgeter Bulog atas nama terdakwa Akbar Tandjung. Saat itu, Habibie memberikan kesaksian dari kantor Konsul Jenderal Indonesia di Hamburg, Jerman.

 

Kesaksian Habibie dari Jerman bisa dikatakan juga 'memberatkan' posisi Akbar Tandjung yang sedang duduk di kursi terdakwa di PN Jakarta Selatan. Tetapi pelaksanaan teleconference berlangsung tanpa penolakan berarti, beda halnya dengan yang terjadi pada kasus Ba'asyir.

 

Setelah kesaksian Habibie di PN Jakarta Selatan, giliran PN Jakarta Pusat meminta keterangan dari saksi-saksi kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur Timtim). Demi alasan keamanan dan efisiensi, sebagian saksi terpaksa memberi keterangan lewat layar kaca. Mereka bersaksi dari Dili, sementara terdakwa duduk di kursi pesakitan PN Jakarta Pusat.

 

Menanggapi teleconference saksi-saksi kasus Timtim, ahli hukum pidana Prof. Muladi menilainya kurang sah. Sebab, keterangan para saksi tidak diberikan di ruang sidang. Kalaupun tidak bisa dengan alasan yang logis, para saksi itu mestinya memberikan keterangan di wilayah hukum Indonesia. Dalam hal ini, kantor perwakilan Indonesia di Dili. Hal itulah yang dilakukan pada saat Habibie memberikan kesaksian, yaitu dari kantor perwakilan Indonesia di Hamburg. Menurut Muladi, kalau tidak demikian, keterangan saksi itu tidak sah alias tak dapat dijadikan alat bukti.

 

Keharusan teleconference dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia juga pernah diungkapkan Ketua Tim Revisi KUHAP, Prof. Andi Hamzah. Menurut dia, teleconference yang tidak dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia mengakibatkan tidak sahnya proses hukum tersebut. Kesaksian para saksi lewat teleconference harus dinyatakan batal.

 

Teleconference bisa saja dan sah dilaksanakan jika berada dalam satu kota. Orang tidak bisa hadir di pengadilan karena sakit, misalnya. Atau lantaran kasus pemerkosaan. Demi alasan perlindungan, saksi korban boleh tidak datang. Lebih baik lewat teleconference saja. Bagaimana jika kesaksian itu melintasi batas-batas negara? Menurut Andi, preseden pengaturan hal itu belum ada.

 

Terobosan hukum

 

Majelis hakim yang menyidangkan perkara Ba'asyir bukan tidak menyadari perdebatan itu. Seorang hakim yang minta anonim menyebutkan bahwa majelis menyadari betul keterangan Bafana lewat media virtual tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti. "Tetapi itu bisa dijadikan untuk menambah pengetahuan dan keyakinan hakim mengenai perkara ini," ujarnya.

 

Sang hakim berdalil bahwa seorang hakim wajib menggali kenyataan hukum yang hidup dalam masyarakat. "Hakim wajib menemukan hukum," ujarnya sambil menyitir tugas hakim yang diajarkan di bangku pertama kuliah, yaitu tugas penemuan hukum (rechtsvinding).

 

Masih menurut sang pengadil tadi, hakim harus membuat terobosan hukum jika belum ada undang-undang yang mengatur. Apalagi, kalau dikaitkan dengan perkembangan teknologi yang makin mutakhir. Terobosan lewat teleconference sudah dibuat dalam persidangan Habibie dan kasus pelanggaran HAM berat Timtim. "Saat menggunakan teleconference, kami tidak ditegur oleh Mahkamah Agung," ujar seorang hakim ad hoc HAM.

 

Praktisi hukum Luhut MP Pangaribuan juga sependapat. Kata dia, teleconference bisa dijadikan alat bukti untuk mencari kebenaran materiil. Menurutnya, tempat kesaksian Luhut tidaklah terlalu penting dalam mencari kebenaran materiil itu. Hukum acara, seperti juga pasal 184 KUHAP, pada hakekatnya juga merupakan arahan untuk mencari bukti kebenaran materiil.

 

Lalu, apakah perdebatan itu berakhir pasca kasus Ba'asyir atau setelah sosialisasi KUHAP baru selesai? Tunggu dulu.  Ketua tim Revisi KUHAP, Prof. Andi Hamzah, pernah mengatakan bahwa pasal 184 tidak akan banyak mengalami perubahan. Teleconference tidak akan dimasukkan sebagai alat bukti. Sebab, di negara lain --termasuk di Belanda yang menjadi acuan hukum Indonesia -- pun demikian. "Belum dimasukkan. Belum ada negara yang begitu," katanya kepada hukumonline.

 

Memang, ada pemikiran agar masalah teleconference dimasukkan ke dalam RUU Revisi KUHAP yang kini sudah diagendakan oleh DPR untuk dibahas. Tetapi menurut Andi, belum ada pembicaraan secara resmi dalam tim revisi KUHAP yang dia pimpin.

 

Jadi? Walhasil, masalah teleconference ini akan terus menjadi perdebatan. Mumpung sekarang Departemen Kehakiman sedang mensosialisasi Revisi KUHAP, perdebatan ini mungkin penting untuk disikapi.

Tags: