Mengoreksi RUU Polri Soal Status Teritorial KBRI di Luar Negeri
Kolom

Mengoreksi RUU Polri Soal Status Teritorial KBRI di Luar Negeri

Proses penguatan institusi kepolisian perlu terus didorong dengan juga mempertimbangkan hukum internasional dan peraturan perundang-undangan nasional lainnya.

Bacaan 7 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Status teritorial gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Luar Negeri (LN) kini menjadi perhatian seiring kontroversi dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Pasal 6 Ayat 1 huruf c RUU Polri menetapkan bahwa fungsi dan peran Polri meliputi “wilayah Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang memiliki kekebalan diplomatik”.

RUU Polri ini akan memberi kewenangan kepada Polri untuk melaksanakan semua fungsinya yang diatur dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri saat ini—yaitu fungsi penegakan hukum, perlindungan dan pemeliharaan keamanan—di lingkungan perwakilan RI di LN. 

Dari perspektif hukum internasional, ketentuan semacam itu jelas problematik. Persoalan yang paling mendasar adalah asumsi seolah-olah gedung perwakilan RI di LN adalah bagian dari kedaulatan teritorial Indonesia. Asumsi ini menganggap kewenangan Polri dapat diperluas dan menjangkau semua perwakilan RI yang terletak di wilayah negara lain. Dengan kata lain, RUU tersebut akan memperluas “daerah hukum” Polri.

Status Teritorial Perwakilan Indonesia

Penetapan kedaulatan teritorial suatu negara tidak dapat dilakukan secara sepihak, tetapi juga harus dilakukan sesuai ketentuan hukum internasional. Jadi, Indonesia sepatutnya tidak menetapkan lingkungan perwakilan RI di LN sebagai bagian dari wilayahnya tanpa dasar ketentuan hukum internasional.

Sejauh ini, tidak ada ketentuan hukum internasional kontemporer—termasuk Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Diplomatik—yang menyatakan bahwa gedung kedutaan besar (premis diplomatik) merupakan bagian dari kedaulatan teritorial negara tersebut. Bahkan apabila kita mengkaji lebih dalam, doktrin, pandangan para ahli hukum internasional, dan praktek negara-negara dunia justru menunjukkan sebaliknya. Semuanya menegaskan bahwa status teritorial premis diplomatik tetap menjadi bagian dari wilayah Negara Penerima.

Memang pada era sebelum abad ke-18, premis diplomatik pernah dianggap sebagai wilayah Negara Pengirim. Hugo Grotius dalam bukunya yang berjudul De Iure Belli ac Pacis (1625) menegaskan bahwa seorang Duta Besar dianggap berada diluar wilayah Negara Penerima. Perspektif ini dengan dasar logika pengandaian hukum (legal fiction) bahwa premis  diplomatik milik suatu negara dianggap sebagai extension wilayah negara tersebut.

Namun dalam perkembangannya, pandangan Hugo Grotius tersebut mulai ditinggalkan sejak awal abad ke-19. Perubahan ini terjadi karena keprihatinan banyak negara atas maraknya penyalahgunaan perlindungan diplomatik oleh para kriminal pada zaman itu.

Dinamika ini mendorong masyarakat internasional untuk menerapkan prinsip tidak dapat diganggu-gugat (inviolability). Berdasarkan prinsip ini, status teritorial premis diplomatik tetap menjadi bagian integral wilayah Negara Penerima. Semua peristiwa hukum yang terjadi di dalam premis diplomatik tidak dapat dianggap terjadi di dalam wilayah Negara Pengirim. Oleh karena itu, kedaulatan Negara Penerima tetap berlaku. Tidak hanya itu, status, peruntukan, pengelolaan, pemeliharaan premis diplomatik tersebut juga sepenuhnya tunduk pada kedaulatan dan aturan hukum nasional Negara Penerima. 

Meski demikian, prinsip inviolability sangat membatasi kewenangan aparat hukum Negara Penerima. Mereka dilarang memasuki atau melakukan intervensi dalam bentuk apa pun kecuali dengan persetujuan Duta Besar. Premis diplomatik juga tidak boleh digeledah, disita, apalagi dikenakan tindakan eksekusi. Menurut prinsip ini, Negara Penerima memiliki kewajiban hukum untuk memelihara keamanan premis diplomatik dari segala bentuk gangguan keamanan atau ketertiban.

Prinsip inviolability tersebut tidak hanya berlaku terhadap gedung/kantor kedutaan saja. Wisma Duta Besar/Konsul Jenderal beserta semua rumah tinggal staf diplomatik juga dapat menikmati keistimewaan dan perlindungan yang sama.

Status dan kedudukan prinsip inviolability sebagai norma hukum kebiasaan internasional semakin kuat setelah International Court of Justice (ICJ) mengeluarkan keputusan tentang pemberian suaka diplomatik (Columbia v. Peru) pada tahun 1950. ICJ berpandangan bahwa pemberian suaka diplomatik oleh sebuah kedutaan dapat mengurangi kedaulatan Negara Penerima. Tindakan tersebut dianggap telah menghalangi penerapan yurisdiksi Negara Penerima. Keputusan ICJ tersebut pada pokoknya menegaskan kembali bahwa premis diplomatik tetap menjadi bagian dari wilayah dan tunduk pada yurisdiksi Negara Penerima. 

Prinsip inviolability selanjutnya mendapat perhatian khusus oleh International Law Commission ketika mempersiapkan rancangan konvensi internasional tentang hubungan diplomatik.  Pada tahun 1963, masyarakat internasional akhirnya menerima keberlakuan prinsip tersebut dengan disepakatinya Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Ketentuan ini kemudian dipertegas kembali dalam Konvensi Wina tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler. Indonesia telah mengesahkan dan menjadikan kedua Konvensi Wina tersebut menjadi bagian dari hukum nasional dengan UU No.1 Tahun 1982.

Pasal 22 Konvensi tersebut secara khusus menekankan keberlakuan prinsip inviolability. Pasal ini sama sekali tidak menyebutkan prinsip ekstrateritorial atau ketentuan lain yang dapat memperluas kedaulatan suatu negara bisa meliputi perwakilan diplomatiknya di LN.

Keberlakuan prinsip inviolability juga ditopang oleh praktik yang konsisten baik di berbagai negara—misalnya Amerika Serikat, Inggris, Jerman, RRT—maupun organisasi internasional. Bahkan, European Court of Human Rights dalam kasus M v. Denmark tahun 1990 juga berpandangan bahwa premis diplomatik tetap menjadi bagian wilayah Negara Penerima, meskipun kewenangannya sangat dibatasi oleh prinsip inviolability.

Indonesia juga menerapkan praktik yang serupa. Kedutaan Besar negara asing di Jakarta tetap tunduk dan harus mematuhi peraturan perundang-undangan nasional di Indonesia. Selama ini, Polri juga tetap melaksanakan fungsi penegakan hukum dalam berbagai tindak pidana yang terjadi di lingkungan kedutaan besar negara asing di Jakarta. 

Salah satu contoh konkret adalah penanganan kasus terorisme di Kedubes Australia di Jakarta. Proses hukum terkait kejahatan terorisme tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa premis Kedubes Australia di Jakarta masih merupakan bagian dari wilayah dan termasuk dalam yurisdiksi Indonesia. 

Sebaiknya RUU Polri tidak memuat ketentuan yang berimplikasi seolah-olah KBRI adalah bagian dari wilayah Indonesia. Selain tidak sejalan dengan hukum internasional, perluasan fungsi dan wewenang Polri dimaksud  juga akan menimbulkan berbagai persoalan praktis.

Fungsi Penegakan Hukum

Persoalan utama yang perlu diperhatikan adalah pelaksanaan fungsi dan kewenangan Polri di bidang penegakan hukum yaitu penyelidikan, penangkapan, dan penyidikan. Kewenangan tersebut pada pokoknya merupakan jurisdiction to enforce yang dimiliki oleh Indonesia sebagai negara berdaulat. Namun, jangkauan penerapannya terbatas dan hanya dapat dilakukan di wilayah Indonesia.

Permanent Court of International Justice  dalam Kasus Lotus (1927) memutuskan bahwa  jurisdiction to enforce hanya dapat diterapkan oleh suatu negara di dalam wilayahnya sendiri. Pembatasan ini kemudian dipertegas kembali oleh Piagam PBB dengan prinsip penghormatan kedaulatan negara lain dan prinsip nonintervensi.

Atas dasar itu, aparat hukum negara lain dilarang melakukan tindakan penegakan hukum di wilayah Indonesia, begitu juga sebaliknya. Polri juga tidak dapat menerapkan kewenangannya pada perwakilan Indonesia di LN. Misalnya aparat penegak hukum Indonesia tidak boleh membawa senjata dan atau melakukan penangkapan terhadap siapapun di dalam KBRI/KJRI. Jadi, jurisdiction to enforce berbeda dengan kewenangan negara untuk membuat suatu aturan pidana (jurisdiction to prescribe).

Indonesia memang memiliki jurisdiction to prescribe yang relatif luas, misalnya membuat peraturan pidana yang dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang terjadi di luar wilayahnya (Pasal 5, 6, 7 dan 8 KUHP Baru yang menerapkan prinsip ekstrateritorial). Namun, kewenangan penegakan hukum pasal-pasal KUHP itu dibatasi oleh wilayah kedaulatan Indonesia. Polri tidak dapat melaksanakannya di kedaulatan teritorial negara lain. Keberadaan pasal-pasal KUHP itu tidak dapat digunakan sebagai dalih untuk memperluas daerah hukum Polri sehingga menjangkau KBRI/KJRI di LN.

Pengaturan mengenai jurisdiction to enforce seyogianya dipisahkan dengan pengaturan jurisdiction to prescribe. Mencampuradukkan kedua jurisdiction seperti tercermin dalam rumusan Pasal 6 Ayat 1 huruf c RUU Polri akan menimbulkan berbagai persoalan hukum dan politik di tingkat internasional.

Fungsi Perlindungan

Pelaksanaan kewenangan Polri di bidang perlindungan terhadap WNI di LN juga berpotensi menimbulkan kerancuan hukum. Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler secara tegas memberikan kewenangan untuk melakukan fungsi perlindungan terhadap warga negara  dan badan hukum Indonesia di seluruh wilayah Negara Penerima. Kewenangan ini kemudian dipertegas kembali oleh Pasal 19 UU No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri(UU Hubungan Luar Negeri).

Pengaturan Pasal 6 Ayat 1 huruf c  RUU Polri bertentangan dengan ketentuan-ketentuan tersebut di atas. Konvensi Wina 1961 dan 1963 serta UU Hubungan Luar Negeri secara jelas memberikan kewenangan di bidang perlindungan WNI kepada misi diplomatik (KBRI/KJRI). Sebaliknya, RUU Polri menyerahkan pelaksanaan kewenangan ini kepada Polri dalam kapasitasnya sebagai aparat penegak hukum. Situasi seperti ini tidak hanya akan menimbulkan simpang siur kewenangan, tetapi juga persoalan politik dengan Negara Penerima.

Ruang lingkup kewenangan untuk melakukan perlindungan dalam RUU Polri juga menjadi terbatas dan semakin sempit, yaitu hanya meliputi lingkungan KBRI/KJRI saja. Hal ini sangat berbeda dengan kewenangan perlindungan menurut Konvensi Wina 1961 dan Konvensi Wina 1963 kepada KBRI/KJRI yang meliputi seluruh wilayah Negara Penerima.

Fungsi Pemeliharaan Keamanan

Persoalan serupa juga muncul dalam pelaksanaan fungsi Polri di bidang pemeliharaan keamanan perwakilan Indonesia di LN. Pengaturan mengenai kewenangan tersebut juga tidak sejalan dengan Pasal 22 Ayat 2 Konvensi Wina 1961. Fungsi pemeliharaan keamanan premis diplomatik sesungguhnya merupakan tanggung jawab sepenuhnya Negara Penerima. Konvensi Wina 1961 secara gamblang menegaskan kewajiban Negara Penerima untuk menjamin dan memelihara keamanan premis diplomatik dari segala bentuk gangguan keamanan dan ketertiban.

Kewajiban pengamanan internal gedung perwakilan Indonesia dalam praktiknya juga menjadi tanggung jawab setiap Duta Besar/Konsul Jenderal di LN. Namun, hal ini lebih merupakan persoalan teknis manajemen internal perwakilan Indonesia yang tidak perlu diatur dalam suatu peraturan setingkat undang-undang.

Akhirnya, kehidupan berbangsa dan bernegara modern telah memberikan nuansa baru dalam memahami Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Ketentuan tersebut tidak semata berdimensi internal, melainkan juga eksternal. Sebagai negara hukum, Indonesia juga memperhatikan rule of law yang mengatur hubungan internasionalnya.

Proses penguatan institusi kepolisian perlu terus didorong dengan juga mempertimbangkan hukum internasional dan peraturan perundang-undangan nasional lainnya. Jadi, Pasal 6 Ayat 1 huruf c  RUU Polri perlu dikaji kembali.

Perlu untuk memberi perhatian khusus pada keserasian/konsistensi RUU Polri dengan Konvensi Wina 1961 dan Konvensi Wina 1963 yang telah Indonesia ratifikasi dan UU Hubungan Luar Negeri. RUU Polri perlu mempertimbangkan fakta hukum bahwa gedung KBRI/KJRI di LN tidak termasuk dalam kedaulatan teritorial Indonesia.

Gedung-gedung itu tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah dan kedaulatan Negara Penerima. Hanya saja, penerapan kedaulatan Negara Penerima tetap dibatasi oleh prinsip inviolability. Negara Penerima juga berkewajiban untuk menjaga keamanan dan ketertiban KBRI/KJRI dari segala bentuk gangguan.

*)Abdul Kadir Jailani adalah Praktisi dan Pemerhati Hukum Internasional.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait