Mengkhawatirkan, Jika Anggota TNI/Polri Tak Harus Mundur
Revisi UU Pilkada:

Mengkhawatirkan, Jika Anggota TNI/Polri Tak Harus Mundur

Pemerintah dan DPR seharusnya mematuhi putusan MK.

ADY
Bacaan 2 Menit
Mengkhawatirkan, Jika Anggota TNI/Polri Tak Harus Mundur
Hukumonline
Proses pembahasan revisi UU No. 8 Tahun 2015  tentang Pemilihan Kepala Daerah masih berlangsung. Mencermati proses pembahasan, ada beberapa poin yang akan berubah. Ada juga yang memantik polemik, salah satunya keterlibatan anggota TNI/Polri dalam pemilihan kepala daerah. Perdebatannya, apakah anggota TNI/Polri harus mundur atau tidak.

Peneliti Perludem, Heroik Pratama, telah membaca pandangan mini fraksi-fraksi. Dari pandangan mini itu tampaknya ada upaya menyamakan syarat untuk ikut pilkada bagi anggota parlemen, aparatur sipil negara, dan anggota TNI/Polri.

Heroik khawatir arah kebijakannya semua pejabat publik dan politik tidak perlu mundur saat mencalonkan diri. Padahal putusan MK terhadap uji materi UU No. 8 Tahun 2015 di antaranya menyebut PNS harus mengundurkan diri secara tertulis sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah. MK juga mewajibkan anggota legislatif baik di DPR, DPD dan DPRD mundur dari jabatannya setelah ditetapkan sebagai calon kepala daerah.

“Pandangan Fraksi menyebut para calon tidak perlu mundur dari jabatannya ketika ditetapkan jadi calon kepala daerah tapi cukup mengajukan cuti. Ini artinya DPR tidak mau menjalankan putusan MK padahal putusan MK itu final dan mengikat,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (21/4).

Heroik khawatir menyeret-nyeret TNI/Polri untuk ikut pilkada berpotensi mengganggu institusi TNI dan Polri yang saat ini menata diri agar profesional. Jika anggota TNI/Polri tak harus mundur, klausula ini mengkawatirkan. TNI-Polri punya garis komando, sehingga ketika ada dari mereka yang mencalonkan diri dalam Pilkada maka bisa menggunakan kewenangan itu untuk pemenangan. “Petahana saja bisa menggunakan aparaturnya untuk pemenangan, apalagi TNI-Polri,” ujarnya.

Menurut Heroik putusan MK yang mewajibkan semua calon yang mengemban jabatan politik dan publik untuk mundur ditujukan untuk membuktikan komitmen dan keseriusan penuh calon yang bersangkutan. Sebab, jabatan Kepala Daerah bukan sembarangan karena itu representasi demokrasi tingkat lokal. “Salah satu bentuk keseriusan dan komitmen calon dibuktikan dengan cara mundur dari jabatan publik atau politik,” urainya.

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, mengatakan pandangan fraksi itu jika dimasukan dalam revisi UU Pilkada maka mengembalikan TNI-Polri dalam politik praktis. Padahal secara hukum sudah jelas anggota TNI-Polri tidak boleh berpolitik praktis. Sekalipun pandangan fraksi mengusulkan syarat bagi anggota TNI-Polri yang maju dalam Pilkada harus cuti, tapi posisi calon yang bersangkutan masih anggota aktif TNI-Polri.

Al mencatat sedikitnya ada dua UU yang dilanggar jika pandangan fraksi Komisi II itu disahkan dalam revisi UU Pilkada. Pertama, bertentangan dengan Pasal 39 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004  tentang TNI yang menyebut prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis. Kemudian, Pasal 47 ayat (1) UU TNI menegaskan prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

Kedua, tidak sejalan dengan pasal 28 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002  tentang Polri yang menyebut kepolisian negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Lalu pasal 28 ayat (3) UU Polri menegaskan anggota kepolisian negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

“DPR harus membaca ketentuan itu agar revisi UU Pilkada tidak bertentangan dengan UU yang lain. Jika itu tidak dilakukan dan pandangan fraksi itu tetap dimasukan maka revisi UU Pilkada dapat mengembalikan TNI/Polri dalam politik praktis seperti masa Orde Baru,” tegas Al.

Al mengingatkan, TNI/Polri punya prinsip jiwa korsa, oleh karenanya selama mereka masih berstatus TNI/Polri ketika mencalonkan diri dalam Pilkada maka besar kemungkinan ada pengerahan kekuatan TNI/Polri untuk kemenangan calon mereka. Lebih jauh, TNI/Polri punya kewenangan koersif menggunakan senjata yang rawan disalahgunakan ketika terlibat kontestasi Pilkada.

Direktur Advokasi YLBHI, Bahrain, menilai DPR tidak punya moralitas hukum yang baik jika ingin memasukan kembali sebuah ketentuan yang sudah dibatalkan MK. Putusan MK sifatnya final dan mengikat oleh karenanya harus dipatuhi seluruh lembaga pemerintahan. “Ada banyak hal yang dilanggar jika DPR mengembalikan TNI/Polri dalam politik praktis selain melanggar UU TNI dan UU Polri juga melanggar putusan MK yang final and binding,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait