Mengintip Memori Kasasi Terdakwa BLBI yang Diputus Lepas
Berita

Mengintip Memori Kasasi Terdakwa BLBI yang Diputus Lepas

Dalam memori kasasinya, Syafruddin melalui para kuasa hukumnya menyebut kasus ini ranah perdata atau administrasi.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Menyusun nota keberatan (eksepsi), nota pembelaan (pledoi), hingga memori banding ataupun kasasi hal lumrah bagi para advokat untuk membela kliennya. Walaupun memang harus diakui eksepsi, pledoi, ataupun memori banding, hingga kasasi yang disusun para penasehat hukum terdakwa suatu perkara pidana kurang menarik perhatian masyarakat. 

 

Tapi, apa jadinya jika salah satu hal tersebut justru berujung lepasnya seorang terdakwa dan menjadi pemberitaan di sejumlah media massa? Apalagi terdakwa itu terjerat kasus mega korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti putusan kasasi yang melepaskan Syafruddin Arsyad Temenggung dari segala tuntutan hukum. Ini pertama kali seorang terdakwa korupsi yang ditangani KPK lolos dari jerat hukum. 

 

Di pengadilan tingkat pertama, dalam hal ini Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, eksepsi dan pledoi dari tim kuasa hukum Syafruddin, terdakwa kasus pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SK BLBI) ini mentah di hadapan majelis hakim.   

 

Majelis menganggap Syafruddin terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti serta Sjamsul dan Itjih Nursalim dan melanggar Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ia divonis selama 13 tahun dan denda Rp700 juta subsider 3 bulan kurungan. 

 

Syafruddin melalui penasehat hukumnya mengajukan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Memori banding diajukan, namun tidak membuahkan hasil. Bahkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional ini dihukum lebih berat yakni dengan pidana selama 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan.    

 

Tak puas, ia bersama penasihat hukumnya yang menamakan diri Tim Penasihat Hukum (TPH) Syafruddin Arsyad Tumenggung, para advokat yang memilih domisili hukum kantor di Menara Sudirman, lantai 9, Jakarta ini mengajukan dan melayangkan memori kasasi ke Mahkamah Agung (MA).  

 

Di luar dugaan, memori kasasi ini ternyata diadopsi majelis hakim agung yang mengadili dan memutus perkara kasasi ini. Putusan kasasi MA memang belum membeberkan secara rinci dan detail apa pertimbangan yang membuat Syafruddin dianggap tidak melakukan perbuatan pidana korupsi, sehingga harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Baca Juga: Empat Fakta Lepasnya Terdakwa BLBI di MA

 

Namun, secara umum ada tiga pendapat berbeda dari masing-masing hakim agung yang dua diantaranya yaitu hakim agung ad hoc Syamsul Rakan Chaniago menganggap perbuatan Syafruddin merupakan ranah perdata dan Mohamad Askin berpendapat hal itu merupakan perbuatan administrasi. Hanya Salman Luthan selaku ketua majelis yang setuju dengan hakim tinggi dan hakim tipikor jika Syafruddin melakukan korupsi.  

 

Perbuatan perdata

Dua pendapat hakim agung soal perbuatan Syafruddin masuk lingkup hukum perdata dan administrasi ternyata memang tertera dalam memori kasasi. Dalam dokumen yang diterima Hukumonline, TPH memang memasukkan alasan tersebut. TPH Syafruddin menganggap Pengadilan Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak mempertimbangkan sejumlah aspek bahwa perkara ini merupakan perkara perdata, bukan pidana termasuk korupsi. 

 

"Bahwa judex factie, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak berwenang atau melampaui batas wewenang karena semua alasan-alasan yang dikemukakan Pemohon Kasasi/Terdakwa merupakan fakta hukum yang sama sekali tidak pernah dipertimbangkan, tidak cukup dipertimbangkan, serta salah dipertimbangkan oleh judex factie Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan adanya fakta hukum sejatinya perkara a quo termasuk ranah hukum perdata," kata TPH Syafruddin dalam memori kasasinya. 

 

Menurutnya, Perjanjian MSAA-BDNI (Master Settlement Acquisition Agreement-Bank Dagang Nasional Indonesia) adalah Perjanjian Perdata yang dibuat negara dalam hal ini diwakili oleh BPPN dengan Pemegang Saham Pengendali PT BDNI. Yaitu Sjamsul Nursalim untuk menyelesaikan masalah BLBI BDNI secara perdata berdasarkan prinsip dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

 

Menurut TPH, Sjamsul Nursalim telah sepakat dan mengikatkan diri untuk membayar kewajiban Bank Rp28,408 triliun akan diselesaikan sebagai JKPS serta telah mengakui dan sepakat cara penyelesaian atau pembayaran atas Kewajiban PT BDNI yang dibebankan kepadanya.

 

Dokumen hukum MSAA sebagai perjanjian perdata merupakan tindak lanjut atau realisasi dari kesepakatan yang dibuat Pemerintah dan Pemegang Saham Pengendali dalam rnembuat membuat perjanjian Out Of Court Settlement berupa MSAA yang diterjemahkan menjadi Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Baca Juga: Syafruddin Divonis Lepas, Ketua Majelis Kasasi Dissenting

 

Dalam perkara a quo untuk BDNI, dibuat perjanjian MSAA tanggal 21 September 1998 yang isinya perjanjian Sjamsul Nursalim diminta membayar sisa kewajiban BLBI sebesar Rp 28,4 triliun. Untuk itu, ia berjanji akan menyerahkan uang setara tunai Rp1 triliun ditambah saham 12 perusahaan yang dinilai sebesar Rp27,4 triliun, termasuk saham Perusahaan Inti Dipasena sebesar Rp 19,9 triliun.

 

Selanjutnya, pada 25 Mei 1999, BPPN dan Menteri Keuangan yang mewakili Pemerintah menyatakan bahwa Sjamsul Nursalim telah menyelesaikan seluruh kewajiban MSAA-BDNI. Karena  itu, diberikan dua surat yaitu Shareholders Loan Release dan Liquidity Support Release yang intinya kewajibannya  sudah selesai dan diberikan pelepasan (release) dan pernbebasan (discharge). Hal ini telah dikuatkan dengan akta Letter of Statement berupa Akta Notaris No. 48 di hadapan Notaris Merryana Suryana, SH pada tanggal 25 Mei 1999.

 

"Judex factie tidak mempertimbangkan keterangan ahli yang disampaikan dalam persidangan di PN Jakarta Pusat yaitu Prof Nindyo Pramono, Guru Besar Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sebagaimana telah diuraikan Ahli dalam persidangan yang terekam dalam Berita Acara Persidangan," terang TKH dalam memori kasasi. 

 

Penjelasan Prof Nindyo saat itu pada pokoknya menerangkan dalam Perjanjian Perdata seperti MSAA-BDNI, harus merujuk pada Hukum Perdata yaitu Pasal 1338 KUHPerdata. Artinya, perjanjian tidak boleh dibatalkan atau diubah sepihak, harus dengan persetujuan para pihak. Apabila ada klaim kurang bayar, pemerintah/Menteri Keuangan kembali menagih kepada Sjamsul. Apabila Sjamsul tidak mau membayar, maka Pemerintah dapat mengajukan gugatan perdata perbuatan melawan hukum ke pengadilan negeri.

 

Dua ahli lain yaitu ahli pidana Prof Andi Hamzah dan Eva Ahyani Zulfa. Pada pokoknya Andi berpendapat pemerintah dan aparat penegak hukum (Penuntut Umum KPK) seharusnya mendahulukan upaya hukum perdata, dengan menagih terlebih dahulu kepada Sjamsul. Kalau tidak mau membayar, baru bisa digugat ke pengadilan perdata. Setelah semua  dilakukan dan tidak berhasil sebagai upaya terakhir baru dilakukan tuntutan pidana.  

 

Sementara Eva Ahyani Zulfa menilai mekanisme penyelesaian perdata didahulukan, mekanisme penyelesaian administrasi dilakukan untuk menentukan apakah unsur melawan hukum  bisa terpenuhi  atau  tidak. Karena dalam hukum pidana, satu unsur saja tidak terpenuhi sesungguhnya tidak bisa kemudian mengatakan ada peristiwa tindak pidana. 

 

"Jadi bukan semata-mata argumentasi ultimum remedium sebagai senjata (upaya) terakhir, tetapi kepentingan pembuktian mengharuskan mekanisme itu (perdata dan administrasi) dijalankan lebih dahulu," terang Eva yang sebagaimana tertuang dalam memori kasasi. 

 

Administrasi

TPH Syafruddin juga beranggapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak berwenang atau melampaui batas wewenang mengadili karena perkara ini. Sebab, perbuatan hukum Syafruddin dalam proses pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) merupakan tindakan administrasi negara dan apabila terjadi kesalahan harus diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

 

Syafruddin diangkat sebagai Ketua BPPN oleh Presiden RI berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 73/M tahun 2002 tanggal 22 April 2002 (Keppres No. 73/22 April 2002) yang pelaksanaan tugas dan tanggung jawab BPPN didasarkan pada Pasal 37A UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) jo Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1999 tentang BPPN sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2001.

 

Bagi TPH, majelis tingkat pertama dan banding tidak mempertimbangkan dalam pemberian Sura PKPS yang dilakukan Syafruddin pada saat menjadi Ketua BPPN didasarkan atas kewenangannya yang diatur Pasal 37A UU Perbankan. Oleh karena itu, Ketua BPPN menjalankan peraturan perundang-undangan sebagai badan pejabat tata usaha negara. 

 

Tindakan itu merupakan kewenangan delegasi atas perintah Presiden RI sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

 

Hal ini ada pada diktum kedua yang berbunyi, "Pemberian bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA angka 1, dilakukan oleh Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional setelah mendapat persetujuan dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara."

 

Mengutip keterangan ahli Prof I Gede Pantja Astawa telah dijelaskan yang pada pokoknya menjelaskan sebagaimana diuraikan Ahli yang terekam dalam Berita Acara Persidangan. “Apabila Ketua BPPN dalam konteks melakukan perjanjian perdata, ketika menerbitkan SKL terdapat kesalahan, tanggung jawabnya itu tanggung jawab administrasi negara dan  tanggung jawab perdata. Suatu tindakan administrasi negara dalam bentuk apapun, surat, keputusan, atau tindakan harus dianggap benar menurut hukum dan menjamin satu kepastian. Jadi, setiap tindakan atau keputusan yang diambil oleh Pejabat Publik, tidak untuk diubah.

 

“Untuk menjamin adanya kepastian hukum, manakala di kemudian hari ternyata ada kekeliruan, kesalahan dan sebagainya, disitulah muncul asas dia yang menerbitkan, dia yang membatalkan. Dia yang mencabut, dia yang menyempurnakan. Atau kalau dipersoalkan secara administratif, pengadilan yang membatalkan. Dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara."

 

TPH juga mengutip keterangan ahli hukum administrasi negara dan keuangan negara, Dian Puji Simatupang yang mengatakan dalam hal pimpinan BPPN, mengambil tindakan hukum administrasi yang dimilikinya, itu sesuai kewenangannya, tapi kemudian dianggap tindakan itu mengandung kesalahan atau diduga menanggung kesalahan.

 

Persoalan ini perlu diidentifikasi, seperti disampaikan Van der Pot yang dikutip dari Ultrecht untuk membedakan irisan antara pidana dan administrasi dalam hal kemungkinan adanya penyalahgunaan wewenang. Karena itu, hukum administrasi harus didefinisikan terlebih dahulu, maka oleh Ultrecht dinyatakan, dalam hal kemungkinan, apabila penyalahgunaan wewenang itu digunakan dengan salah kira.

 

Karena itu apabila dipersoalkan soal salah prosedur kewenangan kemudian juga peraturan administrasi dan juga soal hak orang lain yang keliru, maka kepadanya harus diberikan dulu penyelesaian administrasi melalui PTUN. Irisan itu sudah diputuskan dalam putusan MK No. 25 Tahun 2016 dan juga diterapkanh dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UU  No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

 

Ahli lain yang keterangannya dikutip TKH yaitu Guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Prof. An An Chandrawulan, dalam tulisannya tentang eksaminasi Putusan PN TIPIKOR No. 39/PID.SUS/TPK/2018/PN.JKT.PST.

 

"Pemberian SKL tersebut tidak dapat dilihat dalam konteks tindakan atau perbuatan Pejabat/Badan Tata Usaha Negara secara bersama-sama. Akan tetapi, harus dilihat sebagai satu kesatuan perbuatan atau tindakan untuk pelayanan publik dalam hal ini penyehatan perbankan guna mengatasi krisis ekonomi secara nasional. Menurut Hukum Administrasi Negara apabila SKL ditentukan sebagai perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum harus ditetapkan bentuk pelanggarannya melalui keputusan Peradilan Tata Usaha Negara," ujar Chandrawulan yang dikutip dalam memori kasasi TPH.

Tags:

Berita Terkait