Mengintip Isi Klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja
Berita

Mengintip Isi Klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja

Ada 4 UU yang terdampak dalam klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja yakni UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN); UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS; dan UU No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES

Di tengah penolakan kelompok masyarakat sipil, dijawab Presiden Joko Widodo dengan menandatangani Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada 2 November 2020. Salah satu klaster yang disorot masyarakat yakni Ketenagakerjaan. Pasal 80 UU Cipta Kerja menyebut dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran dan kesejahteraan buruh dalam mendukung ekosistem investasi, UU ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam 4 UU yakni UU Ketenagakerjaan, UU SJSN, UU BPJS, dan UU PPMI.

UU Cipta Kerja mengubah 31 pasal, menghapus 29 pasal, dan menyisipkan 13 pasal baru dalam UU Ketenagakerjaan. 31 pasal yang diubah itu meliputi Pasal 13, 14, 37, 42, 45, 47, 49, 56, 57, 58, 59, 61, 66, 77, 78, 79, 88, 92, 94, 95, 98, 151, 153, 156, 157, 160, 185, 186, 187, 188, dan 190 UU Ketenagakerjaan. Misalnya, perubahan Pasal 56 UU Ketenagakerjaan yang mengatur antara lain soal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang menyebut jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan PKWT ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. Pasal 59 UU Ketenagakerjaan diubah dan tidak lagi memuat ketentuan sebelumnya yang mengatur jangka waktu PKWT paling lama 2 tahun dan boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun.

UU Cipta Kerja menambah panjang jam kerja lembur yang awalnya paling lama 3 jam sehari dan 14 jam seminggu menjadi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu. Hal ini diatur perubahan Pasal 78 UU Ketenagakerjaan. Soal cuti diatur dalam perubahan Pasal 79 UU Ketenagakerjaan, cuti atau istirahat panjang sifatnya tidak wajib dan tidak diatur berapa lama istirahat panjang itu diberikan. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya dimana istirahat panjang sifatnya wajib, sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing satu bulan bagi buruh yang telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama.

Perubahan Pasal 88 UU Ketenagakerjaan berdampak pada arah pengaturan mengenai pengupahan. UU Cipta Kerja mengubah Pasal 88 UU Ketenagakerjaan, sehingga kebijakan pengupahan hanya ditujukan untuk mewujudkan hak buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ketentuan sebelumnya lebih tegas mengamanatkan pemerintah untuk menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi buruh. (Baca Juga: Akademisi Ini Sebut UU Cipta Kerja Tak Boleh Direvisi Setelah Ditandatangani Presiden)  

Bentuk kebijakan pengupahan sebagaimana diatur dalam Pasal 88 itu juga dipangkas dari 11 menjadi 7. Tak hanya itu, UU Cipta Kerja mengubah Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang intinya penetapan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. “Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dalam Peraturan Pemerintah,” begitu bunyi Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang telah diubah melalui UU Cipta Kerja.

Hukumonline.com

Perubahan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan melalui UU Cipta Kerja juga berdampak terhadap kompensasi pesangon yang diterima buruh. Misalnya, mengenai uang penggantian hak, Pasal 156 UU Ketenagakerjaan hanya mengatur 3 komponen uang penggantian hak yang diberikan kepada buruh. Ketentuan sebelumnya mengatur ada 4 komponen dalam uang penggantian hak yang diberikan kepada buruh.

Hukumonline.com

Selain itu, UU Cipta Kerja menghapus sebanyak 29 pasal UU Ketenagakerjaan meliputi Pasal 43, 44, 46, 48, 64, 65, 89, 90, 91, 96, 97, 152, 154, 155, 158, 159, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, dan 184. Misalnya, UU Cipta Kerja menghapus norma tentang penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana diatur Pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan. Soal pengupahan, UU Cipta Kerja menghapus upah minimum sektoral, dan mekanisme penangguhan upah minimum sebagaimana sebelumnya diatur Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.

UU Cipta Kerja pun menghapus Pasal 158 UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya mengatur tentang kesalahan berat yang dapat dijadikan alasan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). UU Cipta Kerja juga menghapus sejumlah ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang alasan PHK dan besaran kompensasinya. Misalnya, menghapus Pasal 162 UU Ketenagakerjaan yang mengatur buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri memperoleh uang penggantian hak dan uang pisah.

Begitu pula alasan PHK karena perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan sebagaimana diatur dalam Pasal 163 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan. UU Cipta Kerja menghapus ketentuan ini berikut besaran kompensasi pesangon yang dapat diterima buruh baik jumlahnya satu atau dua kali ketentuan. Hal serupa juga menghapus ketentuan PHK lain, seperti Pasal 166 yang sebelumnya mengatur PHK karena buruh meninggal dunia, ahli warisnya mendapatkan kompensasi pesangon sebesar 2 kali ketentuan.

UU Cipta Kerja menyisipkan 13 pasal dalam UU Ketenagakerjaan meliputi Pasal 61A, 88A, 88B, 88C, 88D, 88E, 90A, 90B, 92A, 151A, 154A, 157A, dan 191A. Misalnya, Pasal 61A mengatur ada kompensasi bagi buruh PKWT yang berakhir kontraknya. Pasal 88B mengatur upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil. Pasal 90B, menegaskan upah minimum tidak berlaku untuk usaha mikro dan kecil yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Tak hanya itu, UU Cipta Kerja mengubah 1 pasal dan menyisipkan 5 pasal dalam UU SJSN. Dengan mengubah Pasal 18 UU SJSN, UU Cipta Kerja menambahkan satu program jaminan sosial yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Kemudian 5 pasal yang disisipkan dalam UU SJSN yakni Pasal 46A, 46B, 46C, 46D, 46E, intinya mengatur tentang penyelenggaraan program JKP. “Pekerja/buruh yang mengalami PHK berhak mendapatkan JKP,” begitu bunyi Pasal 46A ayat (1) UU Cipta Kerja ini.

Masih terkait program JKP, UU Cipta Kerja mengubah 3 pasal UU BPJS yakni Pasal 6, 9, dan 42. Perubahan Pasal 6 ayat (2) UU BPJS mengamanatkan BPJS Ketenagakerjaan sebagai penyelenggara JKP. Pasal 42 menyebutkan modal awal program JKP sebesar Rp2 triliun berasal dari APBN.

Masih terkait klaster ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja mengubah Pasal 1, 51, 53, dan 57 serta menyisipkan Pasal 89A dalam UU PPMI. UU Cipta Kerja mengubah Pasal 1 angka 9 dan Pasal 16 UU PPMI dengan mengganti kata “Menteri” menjadi “Pemerintah Pusat”. UU Cipta Kerja mengubah Pasal 57 UU PPMI yang sebelumnya mengatur berbagai persyaratan untuk Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Misalnya, menghapus Pasal 57 ayat (1) UU PPMI yang mengatur jangka waktu Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI).

 

Dapatkan artikel bernas yang disajikan secara mendalam dan komprehensif mengenai putusan pengadilan penting, problematika isu dan tren hukum ekslusif yang berdampak pada perkembangan hukum dan bisnis, tanpa gangguan iklan hanya di Premium Stories. Klik di sini.

Tags:

Berita Terkait