Menggugat Pasal 29 UU Kepailitan
Oleh: Imam Nasima *)

Menggugat Pasal 29 UU Kepailitan

Perdebatan mengenai hak buruh dalam proses kepailitan yang bersumber dari permohonan uji konstitusionalitas yang diajukan serikat buruh Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI), barangkali masih lekat di telinga kita.

Bacaan 2 Menit

 

Kedua, secara praktis akan sulit menentukan dasar alasan dan nilai tagihan yang – karena tidak dapat dipastikan lewat proses gugatan yang gugur – diajukan kepada kurator. Tagihan tersebut belum tentu berdasar, karena masih mengandung sengketa. Apa yang membuat seorang kurator yakin bahwa tagihan tersebut benar adanya? Besar kecilnya jumlah tagihan barangkali masih bisa diperselisihkan dalam rapat pencocokan, tapi kalau menyangkut dasar tagihan itu sendiri? Selain masalah tersebut, ada masalah yurisdiksi yang akan mempersulit tugas Hakim Pengawas. Katakanlah sengketa tersebut menyangkut hak-hak pekerja. Apakah sengketa tersebut akan diputuskan sendiri oleh Hakim Pengawas atau Majelis Hakim melalui prosedur renvoi?

 

Dari pengalaman seorang hakim niaga senior pada PN Jakarta Pusat, penulis mendengar adanya pendapat untuk mengembalikan permasalahan tersebut kepada Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Alasannya, selain masalah yurisdiksi atau kewenangan, seperti sudah penulis kemukakan di atas, akan tidak adil bagi buruh (penggugat) jika hak mereka dikesampingkan begitu saja.

 

Mungkin timbul pertanyaan: kalau tidak diatur seperti itu, maka seperti apa pilihannya? Dalam hal ini, menurut hemat penulis, akan menarik untuk melihat ketentuan serupa di dalam UU Kepailitan 1998 dan Faillissementswet Belanda.

 

Sekilas Perbandingan     

Sebelum dilakukan perubahan pada tahun 2004, ketentuan di dalam UU Kepailitan 1998 sebenarnya memberi ruang yang lebih adil untuk sengketa gugatan terhadap debitor yang (bisa jadi) dilanjutkan oleh kurator (d/h Balai Harta Peninggalan).

 

Menurut pasal 27 UU Kepailitan 1998, pihak yang mengajukan tuntutan hukum terhadap debitor (yang kemudian) pailit, berhak untuk menarik Balai Harta Peninggalan (istilah yang dulu juga dapat berarti kurator) dalam sengketa perkara yang sedang berlangsung (ayat 1). Apabila Balai Harta Peninggalan (BHP) mengambil alih perkara tersebut, maka debitor pailit demi hukum dibebaskan dari perkara bersangkutan (ayat 2). Akibatnya, dalam proses selanjutnya, BHP-lah yang akan bertanggung jawab atas nama harta pailit.

 

Apabila BHP sewaktu menghadap hakim langsung mengakui gugatan tersebut, maka biaya perkara akan dianggap di luar tanggung jawab harta pailit (ayat 3). Tapi jika BHP membantah gugatan tersebut dan melanjutkan proses perkara, sementara pada akhirnya gugatan dikabulkan, maka gugatan yang dikabulkan tersebut akan dianggap sebagai utang harta pailit. Logikanya, setelah diambil alih oleh BHP, maka sengketa yang terjadi adalah sengketa antara penggugat dan BHP atas nama harta pailit. Apa yang akan terjadi apabila BHP tidak hadir di persidangan? Bukankah gugatan akan berlanjut terhadap debitor dan – apabila kemudian gugatan dikabulkan – penghukuman terhadap debitor tidak mengikat harta pailit (pasal 24 ayat 2 UU Kepailitan 1998)?

 

Untuk mengantisipasi adanya ketentuan di atas, maka pasal 27 UU Kepailitan 1998 mengatur adanya perkecualian atas ketentuan tersebut (ayat 4). Intinya, kalau memang gugatan atas debitor pailit akhirnya dikabulkan, BHP tidak bisa menghindari pertanggungjawaban harta pailit, dengan membiarkan gugatan tersebut terus diajukan terhadap debitor. Bukankah pihak penggugat telah memberi kesempatan pada kurator untuk mengambil alih?

Tags: