Menggugat Janji Manis Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Kolom

Menggugat Janji Manis Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Minimnya akses JKP, berpotensi hanya jadi gula-gula yang tidak dapat menjawab kebutuhan buruh.

Bacaan 7 Menit
Jumisih. Foto:  Istimewa
Jumisih. Foto: Istimewa

Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Ida Fauziyah telah menandatangani Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Permenaker ini sontak mengundang reaksi penolakan dari kalangan buruh beberapa waktu lalu. Pasalnya ketentuan pengambilan JHT hanya bisa diambil saat usia mencapai 56 tahun. Hal ini berlaku bagi buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), mengalami disabilitas total tetap atau mengundurkan diri.

Ketentuan Permenaker ini mencabut ketentuan sebelumnya pada Permenaker 19/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua di mana pencairan JHT bisa diambil satu bulan setelah terjadinya PHK, pengunduran diri, atau mengalami disabilitas total tetap. Lahirnya Permenaker ini didasari kondisi maraknya PHK. Sementara Pemerintah belum punya kesanggupan memberikan jaminan sosial, sehingga ketentuan pengambilan JHT pasca satu bulan PHK, pengunduran diri atau disabilitas total tetap menjadi solusi pintas pada masa itu.

Praktik selama ini, pengambilan JHT dimaknai sebagai dana cadangan dan darurat saat buruh membutuhkan. Tidak jarang buruh yang ter-PHK dan kehilangan penghasilannya, memanfaatkan ini untuk bertahan hidup. Apalagi masa pandemi, arus fleksibiltas tenaga kerja terus memuncak dengan ketidakpastian kerja yang menyebabkan merosotnya kesejahteraan buruh. Ironisnya, ketidakpastian kerja justru dilegalkan oleh pemerintah melalui UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Pemerintah menyampaikan bahwa Permenaker 2/2022 hendak mengembalikan ketentuan sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), bahwa JHT diperuntukkan untuk buruh pada masa tua (masuk usia pensiun) dan dibayarkan sekaligus. Pemerintah juga menyampaikan bahwa Permenaker sebelumnya (Permenaker 19/2015) adalah keliru dan sebagai titik kompromi masa itu karena pemerintah belum mempunyai jawaban atas kebutuhan dana cepat cair bagi buruh yang terdampak PHK. Sementara sekarang, pemerintah sudah mempunyai jawaban dengan program baru, yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Baca juga:

Gula-Gula JKP

Tujuan program JKP adalah mempertahankan derajat hidup layak buruh, terpenuhinya kebutuhan dasar saat buruh kehilangan pekerjaan. Tujuan JKP inilah yang layak kita teliti lebih jauh.

JKP adalah program turunan dari PP 37/2021 yang ditetapkan Jokowi pada 2 Februari 2021. Sementara PP 37/2021 merupakan turunan dari UU Cipta Kerja yang mendapat penolakan massif dari kaum buruh dan masyarakat luas. UU Cipta Kerja sendiri telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No: 91/PUU-XVIII/2020 pada 25 November 2021. MK mengamanatkan bahwa selama UU Cipta kerja belum direvisi maka tidak boleh ada kebijakan strategis dan berdampak luas.

Permenaker 2/2022 dikeluarkan sebagai respon adanya program JKP. Menteri Tenaga Kerja percaya diri mengeluarkan Permenaker 2/2022 karena ada bantalan berupa JKP, sehingga terdapat keterhubungan antara JKP dengan Permenaker 2/2022. Meskipun Permenaker 2/2022 bukan turunan langsung dari UU Cipta Kerja, namun berkaitan dengan JKP dan berdampak luas kepada pekerja di Indonesia, sehingga Permenaker ini jelas bermasalah.

JKP diperuntukkan bagi buruh pada segmen penerima upah (PU) yang terdaftar BPJS dan membayar iuran. Sesuai dengan PP 37/2021, iuran JKP sebesar 0,46% dari upah perbulan yang dilaporkan perusahaan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Ketentuannya adalah 0,22% dari upah sebulan ditanggung pemerintah pusat; 0,14% dari upah sebulan ditanggung dari rekomposisi iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK); dan 0,10% dari upah sebulan bersumber dari iuran program Jaminan Kematian (JKM). Artinya, JKP dianggarkan dari iuran buruh sendiri.

JKP diharapkan memberi manfaat tunai dengan perhitungan 45% dari upah terakhir dibayarkan 3 bulan pertama, dan 25% pada 3 bulan berikutnya sehingga total manfaat 6 bulan. Jika setelah itu belum mendapatkan pekerjaan kembali maka kondisi buruh akan semakin terpuruk dalam bertahan hidup. Karena tidak ada jaminan dalam rentang waktu 6 bulan buruh mendapat pekerjaan kembali. Sementara untuk memulai usaha, jelas pilihan sulit karena nominal JKP kecil, hanya 45% atau 25% dari upah. Nominal ini bahkan sulit untuk pemenuhan kebutuhan dasar buruh seperti makanan, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya.

Masalah lain adalah, buruh kontrak (PKWT) yang selesai masa kontraknya, tidak termasuk dalam kategori yang dapat mengklaim JKP. Padahal mayoritas buruh menyandang status kontrak dan alih daya yang tidak mempunyai kepastian kerja. Habis kontrak bukanlah PHK menurut Pasal 154A UU 11/2020, pasal 36 PP 35/2021, dan Pasal 20 ayat 2 PP 37/2021.

Sejak sistem kerja kontrak dan alih daya dilegalkan, mayoritas buruh Indonesia tidak selamat dari sistem yang melonggarkan kepastian kerja ini. Buruh bisa bekerja hanya 3 bulan, 6 bulan atau bahkan 1 minggu. Dengan pola sedemikian fleksibel, jelas sulit memastikan buruh terdaftar sebagai peserta BPJS apalagi peserta JKP. Padahal, klaim JKP harus memenuhi masa kepesertaan 12 bulan mengiur dalam jangka 24 bulan terakhir, dimana 6 bulan dari 12 bulan masa iur dibayar berturut-turut.

Iming-iming soal akses informasi pasar kerja dan bimbingan pelatihan dalam JKP seolah jadi bumbu sedap untuk memperoleh pekerjaan. Dalam praktiknya buruh yang mengakses Kartu Prakerja saja, tidak punya jaminan mendapatkan pekerjaan kembali atau memulai usaha baru. Lapangan kerja tidak disediakan dengan baik oleh pemerintah. Bahkan, sebagian pelatihan dalam akses Kartu Prakerja menuai kritik karena tak berbeda dengan yang didapat gratis di berbagai kanal informasi daring.

JKP terkesan hanya janji manis karena jumlah buruh kontrak lebih banyak dibanding pekerja tetap, di mana buruh kontrak punya keterbatasan akses JKP. JKP hanya menyasar pekerja terdaftar BPJS Ketenagakerjaan yang didominasi oleh pekerja formal. Bagaimana dengan pekerja informal yang jumlahnya jauh lebih besar dibanding pekerja formal?

Bagi perempuan yang terdampak fleksibilitas tenaga kerja, tak luput dari cengkeraman informalisasi tenaga kerja. Perempuan pekerja rumah tangga (PRT), pekerja konveksi, pekerja rumahan, pekerja start-up, pekerja penjual produk secara daring, pekerja ibu rumah tangga, tidak akan dapat akses JKP karena sulitnya terdaftar sebagai peserta BPJS.

Dalam ketentuannya JKP tidak meliputi: 1) Pekerja yang mengundurkan diri, 2) Pekerja tidak terdaftar peserta BPJS Ketenagakerjaan (padahal banyak pekerja tidak didaftarkan oleh pengusaha sebagai peserta), 3) Pekerja yang dirumahkan karena alasan apapun (baik karena pandemi, sepi order atau sedang jeda masa kerja), 4) Pekerja yang ter-PHK dan tidak/belum ada penetapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Partisipasi Basa Basi?

Setelah protes dari kalangan buruh di Jakarta dan berbagai daerah, Presiden Jokowi memanggil Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Perindustrian. Dari berita yang beredar, Presiden memberikan arahan supaya Permenaker 2/2022 direvisi. Menyambut arahan Presiden, Menaker bermaksud menyerap aspirasi dari kalangan buruh dan beberapa pihak. Maka dibuatlah undangan resmi untuk Webinar dengan agenda ‘Serap Aspirasi Revisi Permenaker 2/2022” pada 25 Februari 2022.

Pertemuan daring tersebut diikuti 467 peserta, dipimpin Dirjen PHI dan BP Jamsostek. Dalam sambutannya Dirjen PHI menyampaikan bahwa Permenaker 2/2022 akan direvisi dalam penyederhaan klaim dengan memperhatikan harmonisasi antar jaminan sosial lain. Ini untuk menciptakan iklim kondusif dan daya saing nasional agar tercipta harmonisasi antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Harapannya, Permenaker baru bisa memenuhi aspek yuridis, filosofis, sosiologis dan ekonomi.

Selain itu Dirjen PHI juga menyampaikan batas waktu merevisi maksimal selama 3 minggu, dengan berkoordinasi kepada pakar-pakar universitas, Tripartite Nasional, dan Komisi IX DPR. Posisi Tipartite Nasional meskipun diakui tidak dapat mewakili semua elemen serikat, namun tetap digunakan merumuskan substansi karena serapan massal sudah dilakukan pada Webinar.

Semua peserta dalam Webinar berposisi agar Permeneker 2/2022 dicabut dan kembali ke peraturan lama. Peserta juga merekomendasikan JKP diganti dengan Jaminan Pengangguran (atau apapun namanya) yang memberikan jaminan sosial komprehensif kepada seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan. Tidak terbatas pada pekerja formal, tetapi juga pekerja informal (pengangguran dan angkatan kerja) yang selama ini jauh dari jangkauan akses jaminan sosial termasuk pekerja disabilitas. Jaminan sosial adalah kebutuhan seluruh rakyat, termasuk jaminan di masa tua. Karenanya, pemerintah perlu mendesain konsep jaminan sosial inklusif tanpa perlu iuran. Negara bertanggung jawab atas kehidupan layak bagi rakyatnya sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Minimnya akses JKP, berpotensi hanya jadi gula-gula yang tidak dapat menjawab kebutuhan buruh. JKP tidak bisa jadi bantalan bagi Permenaker 2/2022. Selama pemerintah belum sanggup mendesain jaminan sosial komprehensif, Permenaker 2/2022 layak dicabut.

Mendesain jaminan sosial dalam 3 minggu hampir dipastikan sebagai upaya mustahil. Jika pemerintah betul-betul hendak menyerap aspirasi publik, maka pembentukan kebijakan harus mendapat ruang dan waktu memadai untuk pembahasan mendalam melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Karena masyarakat adalah subjek dari negara, bukan objek yang jadi sasaran tembak atas kebijakan yang menambah penderitaan. 

Belakangan beredar kabar, Menaker membatalkan Permenaker 2/2022 dan mengembalikan ke peraturan lama yaitu Permenaker 19/2015 dengan menambah kemudahan syarat administrasi pencairan JHT termasuk pekerja kontrak yang akan terkafer JHT. Pembatalan Permenaker 2/2022 sekaligus penerbitan Peremenaker baru akan dilakukan sebelum 4 Mei 2022. Pembatalan resmi Permenaker 2/2022 adalah upaya memberi kepastian hukum masyarakat khususnya kaum buruh. Berharap bukan hanya janji manis atau gula-gula.

Bagaimana dengan program JKP yang dinyatakan telah berlaku dan sudah ada penerima manfaat yang menggunakannya. Meskipun belum diresmikan oleh Presiden, kita layak mempertanyakan kembali dan menyuarakan bahwa program JKP belum bisa memenuhi standar jaminan sosial sesuai kebutuhan masyarakat. JKP bukan solusi, kepastian kerja adalah kunci.

Belajar dari Pengalaman

Berangkat dari polemik Permenaker 2/2022, terdapat pembelajaran yang bisa diambil, khususnya oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Partisipasi masyarakat tidak dapat diabaikan. Dalam pembuatan kebijakan, selain aspek hirarki yang tidak boleh saling bertentangan dengan ketentuan di atasnya, selayaknya juga mengedepankan aspek keterlibatan masyarakat sebagai upaya menyerap aspirasi melalui ruang-ruang yang dapat diupayakan secara pasti.

Selain itu, pembuatan kebijakan selayaknya dilakukan tidak terburu-buru. Pemerintah sebagai pihak pelayan publik, maka kebijakan pun berdampak secara publik. Pemerintah musti berupaya dengan sungguh-sungguh untuk memenuhi pelayanan kepada rakyat.

*)Jumisih adalah Ketua Bidang Politik Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI). Mahasiswa STH Indonesia Jentera. Penerima Beasiswa Munir Said Thalib Scholarship.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait