Menggali Karakter Hukum Progresif
Laporan dari Semarang:

Menggali Karakter Hukum Progresif

Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, Prof. Satjipto Rahardjo menyebut deep ecology. Hukum tak semata untuk manusia.

MYS
Bacaan 2 Menit

Salah satu contoh Undang-Undang yang tidak adil adalah UU Pemilu yang hanya mengizinkan partai politik yang punya kursi di DPR yang boleh ikut pemilu pada 2009. Aturan semacam itu dinilai Mahfud sebagai bentuk kolusi yang tidak memberikan rasa keadilan. Walhasil, Mahkamah Konstitusi menggunakan optik hukum progresif untuk membatalkan regulasi itu.

Jaksa KPK, Yudi Kristiana, memberi contoh lain. Penanganan kasus korupsi Angelina Sondakh juga bermuatan hukum progresif. Dari pesan blackberry yang didasap KPK, kata dia, tak ada kata-kata uang. Yang ada istilah apel Malang dan apel Washington. Tetapi penyidik meyakini maksud istilah itu adalah uang karena ada proses penyerahan (levering) dan ucapan terima kasih antara pemberi dan penerima. Yudi memuji hakim agung yang menghukum Angie 12 tahun penjara sebagai hakim yang berpikiran hukum progresif. 

Hukum progresif memandang bahwa hukum itu untuk manusia. Jadi hukum untuk membahagiakan manusia, hukum untuk mengabdi untuk kepentingan manusia. Bukan manusia untuk hukum. Tetapi akademisi hukum, Sidharta, mengatakan Prof. Satjipto terutama pada tahun-tahun  akhir hayatnya menyinggung apa yang disebut deep ecology. Konsep ini mengandung arti bahwa hukum bukan lagi semata untuk manusia, tetapi untuk untuk membahagiakan semua makhluk hidup. “Itu berarti hukum untuk semua mahluk hidup,” kata dosen Universitas Tarumanegara itu.

Ralat:
Paragraf 5, tertulis:

Tetapi yang tak kalah penting adalah karakter hukum progresif yang berpegang teguh pada hati nurani dan menolak hamba materi. “Hukum itu harus berhati nurani,” kata Guru Besar Universitas Padjajaran Bandung, B. Arief Sidharta.

Yang benar:

Tetapi yang tak kalah penting adalah karakter hukum progresif yang berpegang teguh pada hati nurani dan menolak hamba materi. “Hukum itu harus berhati nurani,” kata Guru Besar Universitas Parahyangan Bandung, B. Arief Sidharta.

@Redaksi

Tags: