Menggagas Peradilan Korupsi yang Lebih Menguntungkan Keuangan Negara
Utama

Menggagas Peradilan Korupsi yang Lebih Menguntungkan Keuangan Negara

Filosofi pemidanaan restoratif dan rehabilatif lebih mendorong pengembalian keuangan negara.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Febby Mutiara Nelson (tengah) bersama dosen penguji dan promotornya di FH UI Depok. Foto: EDWIN
Febby Mutiara Nelson (tengah) bersama dosen penguji dan promotornya di FH UI Depok. Foto: EDWIN

Kemanakah tujuan pemberantasan korupsi ke depan? Apakah harus mengedepankan penghukuman pelaku korupsi dengan hukuman berat, atau mengembalikan kerugian keuangan negara? Menjerat pelaku korupsi dengan hukuman penjara tak menjamin putusnya mata rantai korupsi. Beberapa terpidana korupsi masih bisa hidup dengan kekayaan melimpah pada saat menjalani hingga keluar dari penjara.

Beberapa kasus membuktikan petugas penjara juga tidak bersih-bersih amat. Terpidana yang sedang menjalani hukuman bisa sewaktu-waktu plesiran dengan memberikan sejumlah imbalan kepada petugas. Sebagian orang lantas beralih pada tujuan ‘memiskinkan’ pelaku tindak pidana korupsi.

Tetapi pada hakikatnya, penindakan pelaku tindak pidana korupsi adalah mengembalikan kerugian negara jika perbuatan pelaku berkaitan dengan keuangan negara. Gagasan-gagasan baru tentang arah penanganan tindak pidana korupsi ke depan sudah sering muncul di ruang publik. RUU Perampasan Aset hanya salah satu gagasan yang sampai sekarang belum terwujud. RUU ini pada dasarnya memperbolehkan perampasan asset seorang pelaku korupsi setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Kelemahan cara ini adalah proses yang panjang. Penyelesaian perkara hingga berkekuatan hukum tetap dapat memakan waktu panjang. Tidak pula ada jaminan keuangan negara akan dikembalikan.

Persoalan ini juga yang mendorong dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Febby Mutiara Nelson. “Kita dihadapkan pada tantangan besar mengembalikan kerugian keuangan negara dalam peradilan tindak pidana korupsi,” kata Kepala Laboratorium dan Klinik Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.

Febby telah mengajukan gagasan tentang arah pengadilan korupsi ke depan dalam disertasi yang dia pertahankan Juli lalu lalu, yakni sistem peradilan tindak pidana korupsi yang lebih menguntungkan negara. Penanganan perkara korupsi dilakukan melalui dua konsep Plea Bargaining dan Deferred Prosecution Agreement’ (DPA).

Setelah menelusuri banyak putusan, Febby menemukan fakta. Pertama, jumlah kerugian keuangan negara yang bisa diselamatkan jauh lebih kecil dari yang dikorupsi. Kedua, biaya perkara yang ditanggung negara juga besar mulai dari penyelidikan hingga jatuh putusan. Belum termasuk waktu panjang yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses hukum tiap perkara korupsi.

(Baca juga: KPK Dukung RUU Perampasan Aset).

Para pelaku korupsi lebih memilih menjalani tiga bulan kurungan, misalnya, ketimbang membayar denda satu miliar, “Mereka bersedia memilih hukuman pengganti dengan dipenjara, sementara uangnya masih banyak untuk dinikmati setelah keluar nanti,” kata Febby kepada hukumonline.

Jika Indonesia masih menggunakan pendekatan seperti sekarang, Indonesia akan menghadapi problem ekonomi yang serius karena keuangan negara terus digerogoti pelaku korupsi. Maka, melakukan pendekatan lain yang lebih menjanjikan penting untuk dicoba. Dari segi waktu, misalnya, model yang berlaku sekarang tidak sejalan dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Karena itu, ia mengusulkan plea bargaining dan DPA.

Plea Bargaining adalah proses negosiasi yang ditawarkan penuntut umum atau terdakwa untuk mengaku bersalah secara sadar. Pengakuan ini dilanjutkan dengan kesepakatan memenuhi pengembalian aset atau hasil tindak pidana korupsi. Lalu, tuntutan hukuman badan dikurangi.

Deferred Prosecution Agreement adalah konsep yang secara khusus membidik kejahatan oleh korporasi. Konsepnya, ada kesepakatan pengalihan tuntutan pidana atas kesalahan korporasi menjadi proses pemulihan administratif atau sipil. Reputasi korporasi bisa tetap tetap terjaga serta mengurangi kerugian bisnis lainnya akibat investigasi berkepanjangan oleh penegak hukum. Pada saat yang sama, sanksi sudah dijatuhkan dengan pengembalian lebih cepat kerugian keuangan negara.

(Baca juga: Kenali DPA-NPA, Perjanjian Penangguhan Penuntutan dalam Kejahatan Bisnis).

Kedua cara ini dinilai Febby menguntungkan kedua pihak. Sayangnya konsep-konsep tersebut belum dimuat dalam sistem peradilan pidana korupsi di Indonesia. “Diperlukan inovasi yang menyediakan alternatif lebih cepat, efektif, proporsional, dan kepastian hukum tinggi,” ujarnya.

Saat ini memang telah ada sedikit aturan perampasan aset hasil korupsi melalui putusan pidana atau gugatan perdata. Namun sangat terbatas untuk kondisi tertentu. Tidak terbuka ruang leluasa untuk menagih kerugian keuangan negara sejak awal proses peradilan. “Masyarakat Indonesia memang lebih cenderung hukuman badan yang diperberat, tapi datanya korupsi tidak berkurang dan tidak menyelesaikan masalah,” Febby menambahkan.

Kedua konsep ini dianggap Febby mendekati upaya untuk memiskinkan koruptor. Namun dengan lebih realistis untuk mengupayakan pemulihan kerugian keuangan negara lebih dulu. Alih-alih memperkuat semangat balas dendam pada koruptor, Febby bermaksud mengembalikan filosofi pemidanaan yang menatap masa depan. Ia mengingatkan konsep pemasyarakatan bagi narapidana sebetulnya sudah menekankan filosofi tersebut.

Guru Besar Hukum Pidana FHUI, Topo Santoso mengamini gagasan Febby.  “Banyak hal sudah dilakukan untuk pengembalian kerugian keuangan negara, kita perlu terobosan,” katanya kepada hukumonline.

Topo juga mengingatkan bahwa tidak sedikit koruptor yang bersedia kooperatif dalam menebus kesalahannya. Ia melihat para terdakwa semacam ini  layak diberikan tawaran untuk menyegerakan pemidanaannya dengan kesepakatan mengembalikan kerugian negara di luar jalur peradilan pidana. “Filosofi pemidanaan kita kan tidak hanya retributif, termasuk juga restorasi dan rehabilitasi,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait