Menggagas Judicial Liability di Indonesia
Utama

Menggagas Judicial Liability di Indonesia

Di negara lain, bila hakim salah membuat putusan yang mengakibatkan kerugian pihak yang berperkara, pihak tersebut dapat meminta ganti rugi. Kompensasi itu dibayarkan oleh negara atau hakim itu sendiri secara personal.

Ali
Bacaan 2 Menit
Di negara lain hakim bisa diminta pertanggungjawaban atas <br> putusannya yang keliru. Foto: Sgp
Di negara lain hakim bisa diminta pertanggungjawaban atas <br> putusannya yang keliru. Foto: Sgp

Istilah Judicial liability mungkin masih asing terdengar di telinga para penggiat peradilan atau masyarakat hukum Indonesia. Konsep yang memungkinkan pihak yang berperkara menuntut ganti rugi akibat kesalahan hakim dalam menangani atau memutus perkara memang belum diatur secara tegas oleh hukum Indonesia.

 

A.W. Jongbloed, Profesor Hukum dari Universitas Utrecht Belanda, mengatakan tindakan hakim yang bisa dimintai pertanggungjawaban, apabila ada prinsip-prinsip fundamental hukum dan fair trial yang dilanggar oleh hakim dalam memeriksa atau memutus perkara. “Konsep Judicial Liability ini sudah diterapkan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (12/5).

 

Kasus kepailitan sebuah restoran di Belgia bisa menjadi contoh. Di tingkat pertama, sebuah restoran dinyatakan pailit oleh pengadilan. Lalu, putusan ini dibatalkan oleh Pengadilan Banding karena proses pengadilan di tingkat pertama tidak melewati prosedur yang benar.

 

Meski tak jadi dinyatakan pailit, pemilik restoran sudah telanjur mengalami kerugian. Pasalnya, aset-aset restoran itu sudah telanjur dijual dan para pegawainya telah hengkang pasca dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan tingkat pertama.

 

Lalu siapa yang akan membayar ganti rugi dalam judicial liability? Jongbloed menyebutkan beberapa negara mempunyai konsep yang berbeda. Mayoritas negara yang menerapkan judicial liability membebankan pembayaran ganti rugi kepada negara. Namun, ada juga yang membebankannya kepada si hakim yang telah salah memeriksa atau memutus perkara.

 

Jerman dan Slovakia merupakan contoh negara yang menerapkan tanggung jawab personal kepada para hakim. Di dua negara ini, hakim tak bisa sembarangan melanggar proses beracara. Pemeriksaan perkara yang berlarut-larut atau melewati deadline termasuk pelanggaran berat. “Bila ada pihak yang dirugikan karena penundaan itu, maka dia bisa meminta ganti rugi kepada hakim yang memeriksa,” tuturnya. 

 

Meski begitu, Jongbloed tak menganjurkan konsep pertanggungjawaban personal dianut oleh Indonesia. “Saya tidak setuju dengan konsep ini,” ujarnya. Menurut Jongbloed, bila hakim bisa digugat ganti rugi secara personal ketika menangani perkara, maka hakim akan ‘tersandera’ dalam memeriksa perkara dan membuat putusan.

 

“Salah satu prinsip yang tak boleh dilanggar adalah hakim tak boleh takut dalam membuat suatu putusan. Kalau konsep pertanggungjawaban personal ini diterapkan, hakim tentu akan ragu-ragu dalam memutus perkara,” jelasnya. Hakim dikhawatirkan tak akan berani membuat putusan yang menjadi terobosan hukum.

 

Di negara-negara yang menggunakan sistem common law yang menganut preseden, dimana hakim kerap merujuk putusan-putusan sebelumnya yang kasusnya mirip dengan kasus yang sedang ditanganinya, konsep judicial liability dapat diterima dengan mudah. Namun, bagaimana dengan Indonesia yang menganut sistem civil law, dimana hakim lebih sering menggunakan atau menafsirkan UU tanpa terikat pada putusan-putusan hakim yang lalu?

 

Praktek di Indonesia

Pengamat Peradilan Indonesia, Sebastian Pompe mengatakan negara-negara penganut sistem eropa kontinenantal atau civil law juga menerapkan tanggung jawab hukum lembaga yudisial ini. Salah satu instrumen hukum yang kerap digunakan adalah gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad). 

 

Meski begitu, beberapa negara seperti Jerman mengecualikan hakim sebagai pihak yang digugat dalam PMH oleh penguasa. Di Indonesia, lanjut Pompe, juga mengecualikan hal yang demikian. Ia menunjuk Surat Edaran MA No. 9 Tahun 1976 sebagai dasar pengecualiannya itu. “Seharusnya pengecualian ini diatur dalam konstitusi, bukan dalam SEMA,” tutur penulis disertasi berjudul ‘Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse’ ini.  

 

Artinya, Indonesia memang belum mengatur secara tegas mengenai judicial liability ini. “Setahu saya, kita memang belum menganut konsep ini,” ujar Anggota KY Soekotjo Soeparto. Ia mengakui praktek putusan yang kerap merugikan pihak yang berperkara memang sering terjadi. Salah satunya adalah ‘pengadilan sesat’. Kasus Sengkon-Karta atau kasus Kemat-David bisa menjadi contoh. Mereka harus mendekam di penjara sebagai ‘pembunuh’ terhadap perbuatan yang tak pernah mereka lakukan. Hal ini baru terbukti belakangan, setelah mereka menjalani pidana penjara bertahun-tahun.   

 

Soekotjo melihat adanya kecenderungan orang Indonesia yang tak mau ‘memperpanjang’ persoalan dengan meminta ganti kerugian. “Dibebaskan saja, mereka sudah senang,” tuturnya. Namun, ia menambahkan wacana judicial liability ini perlu didiskusikan secara mendalam. 

 

Praktisi Hukum Bambang Widjojanto menuturkan KUHAP Indonesia memang mengenal rehabilitasi atau ganti rugi bagi tersangka atau terdakwa. Sayangnya, praktek ini hanya di lingkup praperadilan, yakni terkait sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan. Di Indonesia, belum ada instrumen meminta ganti rugi terhadap putusan hakim yang salah sehingga mengakibatkan kerugian bagi si terpidana.

Tags: