Menggagas Constitutional Complaint Lewat Kasus Ahmadiyah
Fokus

Menggagas Constitutional Complaint Lewat Kasus Ahmadiyah

Pro kontra mengenai apakah SKB pelarangan Ahmadiyah bertentangan atau tidak dengan konstitusi sebenarnya bisa terjawab bila ada mekanisme constitutional complaint. Sayangnya, MK belum memiliki kewenangan tersebut.

Ali/Rzk
Bacaan 2 Menit

 

Harus Amandemen UUD'45

Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin mengakui memang sering terjadi pelanggaran konstitusi, tetapi warga negara yang terlanggar tak bisa berbuat apa-apa. Fakta empirisnya, memang sering terjadi pelanggaran konstitusi yang langsung dirasakan oleh warga negara. Tetapi tak bisa men-challenge-nya, jelasnya kepada hukumonline, Senin (12/5).  

 

Meski begitu, Firman menyadari mengapa kewenangan constitutional complaint tak diberikan kepada MK. Ia pun menjelaskan latarbelakang dibentuknya MK. Bila melihat risalah sidang MPR, lanjutnya, pembentukan MK berdasarkan kebutuhan pragmatis. Kala itu, latarbelakangnya adalah kasus Gus Dur yang bisa di-impeach begitu mudah. Karenanya, MPR mengharapkan agar ada mekanisme impeachment presiden yang jelas, sehingga terbentuklah MK. 

 

Pasal 24C UUD 1945

 

(1)  Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2)  Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

 

Menurut Firman, latarbelakang dibentuknya MK ini berbeda dengan MK di negara lain. Ia mengungkapkan, di banyak negara, kewenangan pokok MK itu sebenarnya hanya ada tiga. Pengujian UU dengan UUD 1945, constitutional complaint, serta memutus sengketa kewenangan lembaga negara, ungkapnya. Sedangkan kewenangan seperti memutus sengketa hasil pemilu dan pembubaran partai politik hanya bersifat aksesoris. 

 

Berdasarkan penjelasan Firman, latarbelakang inilah yang membuat MK tak memiliki kewenangan constitutional complaint. Karena MPR kala itu lebih fokus kepada mekanisme pemakzulan presiden dibanding memikirkan mekanisme menyelesaikan pelanggaran konstitusi yang menimpa warga negara. Walau pada dasarnya, wacana pengujian undang-undang bukan hal yang baru di Indonesia. M. Yamin dalam sidang BPUPKI juga sudah mewacanakan hal tersebut (pengujian UU, red), ungkapnya.

 

Sementara itu, Ketua MK Jimly Asshiddiqie terkesan kurang tertarik dengan wacana constitutional complaint. Dalam kasus Ahmadiyah ini, MK memang menjadi lembaga negara yang ketiban pulung. Pihak-pihak yang berseberangan bergantian menyambangi gedung MK. Pertama adalah FUI, kemudian dalam hitungan hari hadir AKKBB. Setelah kubu Gogon (Ahmad Sumargono, Anggota FUI,-red), kini hadir kubu AKKBB, candanya saat menerima AKKBB yang didampingi oleh pengacara kondang Todung Mulya Lubis. 

 

Pertemuan itu memang tak menghasilkan apa-apa. Jimly pun enggan berkomentar lebih dalam, karena masalah ini belum sampai ke MK. Namun, soal constitutional complaint, Jimly punya pendapat sendiri. Ia menilai tak mudah memberikan kewenangan itu kepada MK. Banyak tahap yang perlu dilalui.

Tags: