Mengetahui Hitungan Biaya Nafkah dalam Putusan Cerai UAS
Seluk Beluk Hukum Keluarga

Mengetahui Hitungan Biaya Nafkah dalam Putusan Cerai UAS

​​​​​​​Ada biaya mut’ah, nafkah iddah hingga biaya maskan dan kiswah.

Aji Prasetyo
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Beberapa waktu lalu publik sempat dikejutkan rencana pernikahan Abdul Somad Batubara atau yang biasa dikenal dengan Ustadz Abdul Somad (UAS) dengan seorang gadis berusia 19 tahun yang diketahui bernama Fatimah Az Zahra. Pernikahan pun telah dilangsungkan di Jombang, Jawa Timur, pada Rabu (28/4) kemarin.

Sebelum ramai soal pernikahan, perceraian UAS dengan istri pertamanya Mellya Juniarti juga sempat menjadi perhatian masyarakat pada Desember 2019 lalu. Dalam salinan berkas putusan Pengadilan Agama Bangkinang, Kampar Riau yang diperoleh Hukumonline, tertulis jika perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga menjadi duduk perkara perceraian dimana UAS selaku pemohon dan Mellya merupakan termohon.

“Bahwa rumah tangga Pemohon dengan Termohon awal menikah cukup bahagia, akan tetapi sejak 3 (tiga) tahun terakhir (2016) usia pernikahan Pemohon dengan Termohon, kehidupan rumah tangga Pemohon dengan Termohon sering dihadapkan pada perselisihan dan pertengkaran sehingga menimbulkan ketidakharmonisan rumah tangga serta tidak berjalannya komunikasi antara Pemohon dengan Termohon,” isi dokumen putusan.

Selain poin tersebut, ada empat penyebab awal pertengkaran yang dibeberkan. Pertama Termohon jarang mau menerima nasehat baik dari Pemohon, tidak patuh pada Pemohon, sering berprasangka tidak sehat terhadap Pemohon, dan terakhir Termohon sudah tidak berkomunikasi dengan baik dengan Pemohon.

Dalam putusan banding yang diperoleh Hukumonline, Melly selaku Pembanding/Termohon meminta Hakim Tinggi Agama Pekanbaru mengabulkan permohonan biaya mut’ah yang dibayarkan terbanding/pemohon sebesar Rp30 juta. Kemudian membayar biaya Iddah sebesar Rp15 juta serta biaya Kiswah sebesar Rp5 juta.

Majelis dalam pertimbangannya menyebut, dalam gugatan provisi Perhitungan nafkah anak sejak bulan 16 hingga anak berusia 21 tahun sebesar Rp4,245 juta perbulan sangat melampaui batas karena dalam rinciannya tidak tepat. Seperti biaya makan 3 X sehari Rp45 ribu dijumlahkan dengan biaya makan satu bulan Rp1,35 juta, kemudian uang beli mainan kereta api dan jajan Rp200 ribu, pakaian Rp500 ribu dan kesehatan Rp250 ribu.

Selain itu gugatan provisi nafkah untuk termohon sejak Juli 2016 hingga putusan inkracht sebesar Rp4,05 juta perbulan juga dianggap melampaui batas. Karena dalam rincian kebutuhan untuk perawatan muka 1x3 bulan masing-masing Rp1 juta perbulan, pakaian 1x3 bulan masing-masing Rp500 ribu, serta kesehatan Rp500 ribu (total seharusnya Rp4,5 juta) dihitung dan dijumlahkan dengan kebutuhan perbulan.

Maka menurut Majelis Hakim Tingkat Banding kedua provisi Termohon tersebut tidak tepat, karena menurut jurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 788 K/Sip/1976 dan Putusan mahkamah Agung Nomor 279K/Sip/1976, gugatan provisi bertujuan agar ada tindakan sementara dari hakim mengenai hal yang tidak termasuk pokok perkara semisal larangan melanjutkan atau menghentikan pembangunan di atas tanah objek perkara,” ujar hakim tinggi.

Di samping dua pertimbangan tersebut di atas gugatan provisi a quo termasuk ke dalam gugatan rekonvensi (akan dipertimbangkan tersendiri dalam rekonvensi), maka Majelis Hakim Tingkat Banding sependapat dengan pertimbangan Hakim Tingat Pertama bahwa Termohon keliru menuntut nafkah anak sejak bulan Juli 2016 sampai berusia 21 tahun, “Karena itu, tuntutan provisi Termohon tersebut harus dinyatakan ditolak,” tambah hakim.

Demikian juga tuntutan provisi tentang nafkah untuk Termohon yang dituntutnya sejak bulan Juli 2016 hingga putusan ini inkracht sebesar Rp4,05 jutaperbulan ada juga dituntut dalam rekonvensi (gugatan balik), maka Majelis Hakim Tingkat Banding akan sekaligus mempertimbangkannya dalam rekonvensi (gugatan balik).

Baca:

Pokok masalah

Menurut majelis yang menjadi pokok masalah dalam perkara a quo adalah Pemohon memohon izin untuk menceraikan Termohon karena terjadinya perselisihan dan pertengkaran antara Pemohon dengan Termohon, yang pada awalnya disebabkan oleh 4 hal seperti yang disebutkan sebelumnya. Pertama, termohon jarang mau menerima nasihat baik dari pemohon, tidak patuh, sering berprasangka tidak sehat dan juga termohon sudah tidak berkomunikasi yang baik dengan pemohon.

Sehingga puncaknya terjadi pada bulan April dan Mei 2016 dan keduanya telah pisah tempat tinggal, Pemohon yang pergi dari rumah tempat kediaman bersama itu sejak bulan Juli 2016. Tetapi pemohon masih tetap memberikan nafkah kepada termohon dan seorang
anak setiap bulan minimal Rp5 juta.

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, suami-istri wajib cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lainnya, yang dapat disimpulkan rumah tangga itu harus dalam keadaan sakinah, mawaddah, warohmah.

Sementara kondisi rumah tangga Pemohon dengan Termohon tidak tergambar adanya suasana sepert tersebut, oleh karenanya Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat apabila kondisi rumah tangga Pemohon dengan Termohon seperti tersebut dalam pertimbangan di atas tetap dipertahankan, maka akan menambah beban penderitaan bagi keduanya dan akan lebih besar mudharatnya dari pada maslahatnya.

Penyebab ternyadinya perselihan/pertengkaran Pemohon dengan Temohon tersebut, berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 534 K/Pdt/1996, tanggal 18 Juli 1996 tidak harus dilihat siapa yang bersalah dan dari mana atau dari siapa yang menyebabkannya, melainkan cukup dilihat apakah perkawinan Pemohon dengan Termohon masih dapat dipertahankan atau tidak.

Majelis banding berpendapat karena kondisi rumah tangga Pemohon dengan Termohon sudah sedemikian rupa sebagaimana dipertimbangkan di atas, maka majelis Hakim Tingkat banding menilai, bahwa rumah tangga Pemohon dengan Termohon tersebut sangat sulit untuk dapat dipertahankan.

Oleh karenanya untuk perceraian Pemohon dengan Termohon tersebut dapat dinilai telah memenuhi ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, dengan demikian permohonan perceraian Pemohon tersebut dapat dikabulkan,” jelas majelis.

Kemudian mengenai Hadhonah, (pemegang hak pemeliharaan/hak asuh) seorang anak laki-laki dari perkawinan Pemohon dengan Termohon dalam perkara a quo tidak dipermasalahkan. Tetapi karena ada pernyataan Pemohon tidak keberatan apabila hak asuh (hadhonah) seorang anak itu berada pada Termohon, ibunya, dengan syarat tidak menghalangi untuk berjumpa.

Selain itu ada juga pernyataan, kesanggupan Pemohon untuk memberi nafkah kepada anak tersebut, maka dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 105 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam, Majelis Hakim Tingkat Banding memandang alangkah baiknya anak tersebut tetap tinggal bersama Termohon, selaku ibu kandungnya.

“Dengan pembebanan nafkah, biaya pendidikan dan biaya kesehatan dibebankan kepada Pemohon, selaku ayah kandungnya sampai anak tersebut dewasa, dan apabila Pemohon (selaku ayah anak tersebut) mengalami ketidakmampuan atau pailit, makan sang ibu juga harus bertanggungjawab atas nafkah anak.

Perhitungan nafkah

Majelis menganggap mengenai permintaan mut’ah akibat talak sebesar Rp1 miliar yang diminta Pembanding, majelis tidak mengabulkannya. Apalagi Terbanding/Pemohon hanya menyanggupi sebesar Rp15 juta. Namun Hakim Tingkat Pertama menjatuhkan putusan sebesar Rp30 juta dan putusan itu dianggap sudah tepat dan memenuhi rasa keadilan.

Sementara nafkah Iddah yang diminta Pembanding sebesar Rp300 juta juga tidak dikabulkan. Majelis sependapat dengan Hakim Tingkat Pertama nafkah tersebut sebesar Rp15 juta sesuai dengan kesanggupan dari Terbanding dan dipandang sudah cukup memadai untuk hidup sederhana seorang diri di daerah Pekanbaru.

Sementara tuntutan rekonvensi tentang nafkah maskan dan kiswah selama iddah (Pasal 149 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam) sebenarnya sudah include (termasuk) ke dalam nafkah selama iddah tersebut di atas secara jelas-jelas, nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas istri selama iddah.

Tetapi karena telah diputuskan secara terpisah oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama (biaya) kiswah untuk Termohon berupa uang sejumlah Rp5 juta dari tuntutan Penggugat
Rekonvensi sebesar Rp200 juta, maka Majelis Hakim Tingkat Banding sependapat dengan putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama dan diambil alih sebagai pertimbangan dan putusan Majelis Hakim Tingkat Banding sendiri.

“Karena menurut pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Banding, putusan mengenai nafkah, maskan dan kiswah tersebut apabila digabungkan akan berjumlah Rp20 juta dan besaran sejumlah itu dipandang cukup memadai untuk hidup sederhana seorang diri selama 3 bulan masa iddah,” ujar majelis.

Majelis juga berpendapat mengenai nafkah madhiyah (waktu yang lampau) sejak Juli 2016 hingga putusan ini berkekuatan hukum tetap, majelis menyatakan Pemohon/Terbanding/Tergugat Rekonvensi tidak terbukti melalaikan memberi nafkah kepada istri (Penggugat Rekonvensi) dan seorang anaknya.

Tergugat Rekonvensi memberikan nafkah kepada Penggugat Rekonvensi dan anaknya tersebut setiap bulan minimal sejumlah Rp5 juta yang dititipkan kepada saksi yang pernah diminta bantuannya untuk mentrasferkan uang nafkah tersebut ke nomor rekening Penggugat Rekonvensi atas nama Tergugat Rekonvensi dan kepada atasan Penggugat rekonvensi di tempat kerjanya (Rumah Sakit Zainab).

Di samping itu bendahara gaji di Universitas Islam Negeri (UIN) Suska Riau, mentransferkan juga uang setiap bulannya sejumlah Rp1,2 juta ke nomor rekening Penggugat Rekonvensi, oleh karena itu tuntutan rekonvensi mengenai nafkah madhiyah tersebut tidak terbukti dan harus dinyatakan ditolak.

Atas pertimbangan-pertimbangan di atas majelis memutuskan untuk mengijinkan ikrara talak, biaya Mut’ah sebesar Rp30 juta, nafkah selama Iddah sebesar Rp15 juta, biaya maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) sebesar Rp5 juta, pembayaran uang di atas harus dilakukan oleh Terbanding/Pemohon (UAS) kepada Pembanding/Termohon (Mellya Juniarti) sebelum ikrar talak diucapkan dalam sidang.

Hukumonline telah mencoba meminta konfirmasi putusan ini kepada penasihat hukum UAS, Hasan Basri. Namun hingga berita ini ditayangkan yang bersangkutan belum memberikan tanggapan.

Tags:

Berita Terkait