​​​​​​​Mengetahui Best Practice Fidusia setelah Putusan MK
Info Hukumonline

​​​​​​​Mengetahui Best Practice Fidusia setelah Putusan MK

​​​​​​​Diskusi ini bertujuan untuk memberikan informasi dan pencerahan terkait dengan Praktik Eksekusi berkaitan dengan penafsiran Wanprestasi pada Perjanjian Fidusia setelah Putusan MK No. 18 /PUU-XVII/2019.

Tim Hukumonline
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Menyimpulkan pertimbangan Hakim pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU XVII/2019 (Putusan MK) yang menyatakan konstitusional bersyarat Pasal 15 ayat (2), Penjelasan Pasal 15 ayat (2), dan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia), didapatkan bahwa pada praktiknya kondisi wanprestasi sebagaimana diatur UU Fidusia tidak dapat serta merta ditentukan sepihak oleh kreditur.

 

Hal ini perlu kesepakatan antara kreditur dan debitur, atau perlu diselesaikan melalui pengadilan (debitur dikatakan wanprestasi setelah ada putusan pengadilan yang inkracht). Dampak lainnya kreditur tidak bisa serta merta melakukan eksekusi atas objek jaminan fidusia milik debitur.

 

Dalam pertimbangan hukumnya MK pun menilai mengedepankan perlindungan hukum yang berbentuk kepastian hukum dan keadilan, yang seharusnya diberikan terhadap ketiga unsur dalam perjanjian fidusia yaitu kreditur, debitur, dan objek hak tanggungan. Sekelumit dampak dari putusan ini perlu dibahas scara detail.

 

Baca:

 

Maka dari itu Hukumonline bekerja sama dengan firma hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP) akan menyelenggarakan agenda yang penting yakni Diskusi Hukumonline dengan tema “Diskusi Hukumonline 2020: Wanprestasi dan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia: Best Practice setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019” yang akan diadakan pada 19 Februari 2020 di Sari Pacific, Jakarta Pusat.

 

Dalam pelatihan ini akan hadir pembicara-pembicara kompeten sebagai narasumber yang dapat memberikan pemahaman dan pencerahan terkait praktik di lapangan, karena pada pelaksanaannya perlu ada pengawasan dan pembaharuan hukum untuk meluruskan isu-isu hukum fidusia dan dampak yang berkembang dari Putusan MK Nomor 18/PUU XVII/2019.

 

Adapun pembicara-pembicaranya adalah:

  • Dr. Teddy Angggoro - Dosen, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
  • D.Y Witanto - Hakim Yustisial Biro Hukum dan HUMAS, Mahkamah Agung Republik Indonesia
  • Ashoya Ratam, S.H., M.Kn. – Ketua Umum Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) / Notaris & PPAT
  • Ibrahim Sjarief Assegaf - Partner, Assegaf Hamzah & Partners

 

Acara ini akan dimoderatori oleh M Yasin, Redaktur Senior Hukumonline dan M Dani Pratama Huzaini, Legal Journalist Hukumonline.

 

Kami membuka pendaftaran pelatihan ini bagi yang berminat, terutama bagi perusahaan. Jangan sampai melewatkan kesempatan ini, tempat terbatas, first come first served! Jika Anda tertarik, silakan klik di sini.

 

Hukumonline.com

 

Sebagaimana diketahui, Putusan MK secara final dan mengikat mengubah aturan main eksekusi jaminan fidusia. Tidak ada jalan mundur karena tafsir sudah diberikan. Bagi mereka yang berada pada posisi debitor, putusan Mahkamah Konstitusi itu mungkin menjadi solusi atas problem hak konstitusional.

 

Mekanisme izin eksekusi dari pengadilan melindungi hak mereka dari kesewenang-wenangan cara penagihan atau penarikan. Bagi pelaku usaha pembiayaan selaku kreditor, putusan itu tentu sebagai hambatan baru dalam berbisnis. Tidak mudah lagi bagi mereka untuk mengurangi risiko kerugian.

 

Namun, jika ditelisik lebih jauh putusan Mahkamah bukan tanpa imbas ke pengadilan. Jika setiap penarikan benda jaminan akibat cidera janji harus melalui pengadilan, maka pengadilan berpotensi kebanjiran permohonan eksekusi jaminan fidusia. Transaksi pembelian kendaraan bermotor melalui perusahaan pembiayaan terbilang banyak. Ini berarti pengadilan negeri harus siap menerima permohonan eksekusi atas jaminan fidusia dari perusahaan pembiayaan.

Tags:

Berita Terkait