Mengenang Santi Kusumaningrum, Kolaborator Cendekia Pelindung Anak
Kolom

Mengenang Santi Kusumaningrum, Kolaborator Cendekia Pelindung Anak

Kehadiran Santi dalam menganalisis, berbagi panggung, dan memberikan kontribusinya merupakan kehilangan besar bagi dunia akademik dan penelitian.

Bacaan 5 Menit

Fakta di atas—di tiga provinsi dengan infrastruktur paling rendah—adalah salah satu sampel bagaimana pengambil kebijakan cenderung mengabaikan bukti untuk hal yang sangat berdampak bagi masyarakat luas. Keengganan untuk menyusun kebijakan berbasis bukti ini merupakan batu uji bagi kesiapan pengambil keputusan dalam menyaring masukan terbaik demi menggolkan agendanya. Sebagian pihak mungkin berargumen balik, pasal-pasal tersebut bukan ditujukan untuk kriminalisasi warga tapi bertujuan agar tertib administrasi kependudukan terwujud. Benar bahwa pilihan pembuat undang-undang untuk memberlakukan KUHP dengan masa tunggu dua tahun agar “masyarakat siap” menunjukkan adanya kompromi. Namun, sulit membayangkan dalam dua tahun sudah terbentuk infrastruktur dengan sarana memadai yang mampu menjangkau warga di wilayah terpencil seluruh Indonesia. Pemberlakuan masa tunggu tersebut juga salah satu sinyal bahwa pembuat undang-undang sadar bahwa sebetulnya ada kendala kesiapan aparat penegak hukum serta pemerintahan—baik pusat maupun daerah—yang belum tentu merata setara secara nasional.

Jika abai mengambil kebijakan lebih ramah bagi kelompok masyarakat termarginalisasi—karena posisi mereka di provinsi termiskin—dalam KUHP, maka bagaimana dengan kebijakan lainnya? Bukan tidak mungkin juga dengan berbagai pertimbangan keterbatasan, aparat urung menegakkan pasal-pasal tersebut. Bila hal ini terjadi, bukankah semakin sulit menilai efektivitas pemberlakuan pasal-pasal dimaksud?

Keengganan menggunakan pendekatan berbasis bukti diperparah dengan meningkatnya kasus yang mengancam kebebasan berpendapat, terutama di ranah akademik. Indeks Kebebasan Akademik (Academic Freedom Index/AFI) memperlihatkan bahwa peringkat Indonesia turun dari 0,77 di tahun 2015 menjadi 0,65 di tahun 2021. Indeks Kebebasan Akademik ini mengukur 5 elemen dalam kebebasan akademik yaitu kebebasan melakukan riset dan mengajar, kebebasan pertukaran gagasan akademik, kebebasan kampus dalam menjalankan otonominya, integritas kampus, serta kebebasan ekspresi akademik. Beberapa kasus yang berhubungan dengan kebebasan akademik yang mendapat sorotan publik antara lain ancaman pada mahasiswa dalam penyelenggaraan diskusi bertema pemakzulan Presiden di FH UGM tahun 2020 lalu. Kasus lain—yang semakin kuat mencitrakan kesan Pemerintah memiliki sikap anti ilmu pengetahuan—adalah ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengusir lima peneliti asing karena dianggap hasil penelitiannya mendiskreditkan Pemerintah Indonesia.

Harus diakui, kebijakan perlindungan anak tidak termasuk bidang yang rentan dipolitisasi seperti isu-isu di atas—setidaknya sampai saat tulisan ini disusun. Namun, tiap bidang keilmuan atau kebijakan perlu mendapat perhatian dan perlakuan yang setara. Berkaitan dengan kebebasan akademik, masalahnya bukan ketiadaan kebebasan tersebut di kalangan akademik dan pengambil keputusan. Masalahnya adalah kebebasan akademik yang bersifat tebang pilih. Para pihak yang sejalan dengan status quo bebas menyuarakan sementara mereka yang mengangkat isu yang kritis justru dibungkam.

Sepanjang hidupnya Santi tak pernah berposisi frontal konfrontatif ke pengambil kebijakan. Usahanya berbagi panggung dengan disiplin ilmu lain—yang menekankan pendekatan multidisipliner dalam berbagai hal —seharusnya meninggalkan jejak mendalam bagi siapa saja yang ingin mendorong penyusunan kebijakan. Santi telah terpapar begitu banyak disiplin ilmu, metode riset, dan pengalaman kerja bersama peneliti kelas dunia dalam perjalanan kariernya sehingga luntur sudah arogansi keilmuannya. Sebagian elit politik dan mungkin juga akademisi kita kerap mengidap arogansi ini. Mereka bergeming walau berhadapan dengan bukti, malah justru menjadi semakin mantap dengan posisinya tanpa rasa rendah hati.

Banyak akademisi dan peneliti dari berbagai disiplin ilmu yang menjadi bagian dari ranah penyusunan kebijakan. Namun, hanya segelintir yang menekankan pentingnya pendekatan multidisipliner dan rendah hati membagi panggung kajiannya dengan ranah keilmuan lain. Almarhum Santi Kusumaningrum adalah sedikit dari segelintir akademisi/peneliti yang bersedia melakukan hal tersebut. Kepergian Santi yang terlalu cepat meninggalkan kekosongan dalam sikap tindak akademik yang rendah hati, terutama dalam berhadapan dengan bukti dalam proses penyusunan kebijakan.

Panasnya iklim politik menjelang 2024 ditambah minimnya keberpihakan pada kebijakan berbasis bukti, ketiadaan sosok Santi yang jernih menjadi semakin terasa di dunia penyusunan kebijakan. Kehadiran Santi dalam menganalisis, berbagi panggung, dan memberikan kontribusinya merupakan kehilangan besar bagi dunia akademik dan penelitian. Mengisi kekosongan tanpa hadirnya Santi dalam penyusunan kebijakan membutuhkan kerja keras, kerendahhatian dan kesediaan berbagi panggung dengan banyak pihak, sebuah sikap yang makin langka di hari-hari belakangan ini.

Beristirahatlah dalam damai, Santi.

*)Gita Putri Damayana, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Direktur Eksekutif PSHK 2019-2023, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, kandidat Ph.D. di Australia National University (ANU).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait