Mengenali Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Terkait Penembakan Laskar FPI
Utama

Mengenali Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Terkait Penembakan Laskar FPI

Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM dapat dilanjutkan ke pengadilan pidana jika ditemukan ada unsur pidana. Untuk pelanggaran HAM berat diselesaikan oleh penyidik jaksa melalui mekanisme pengadilan HAM Ad Hoc bila diduga kuat terjadi kejahatan genosida atau kemanusiaan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam menunjukan barang bukti berupa bagian CCTV disaksikan Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin (kanan). Foto: RES
Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam menunjukan barang bukti berupa bagian CCTV disaksikan Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin (kanan). Foto: RES

Komnas HAM telah mengumumkan hasil penyelidikan terhadap kematian 6 laskar FPI yang terjadi di tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada 8 Januari 2021 lalu.. Dari 6 orang laskar FPI yang tewas, Komnas HAM menyimpulkan peristiwa yang menyebabkan 4 orang yang tewas termasuk pelanggaran HAM. Untuk peristiwa 2 orang laskar FPI lainnya yang tewas, Komnas HAM menyebut konteksnya peristiwa saling serempet antar mobil dan saling serang antara petugas dan laskar FPI, bahkan diduga menggunakan senjata api.

Peristiwa tewasnya 4 orang FPI yang termasuk pelanggaran HAM, Komnas HAM merekomendasikan kasus ini dilanjutkan dengan mekanisme pengadilan pidana guna mendapatkan kebenaran materiil lebih lengkap demi menegakkan keadilan. Komnas HAM juga meminta proses penegakan hukum dilakukan secara akuntabel, objektif, dan transparan sesuai standar HAM.

Namun demikian, ada kalangan yang menilai peristiwa tewasnya 4 orang laskar FPI itu dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, bukan pelanggaran HAM biasa. Terlepas dari perbedaan itu, bagaimana sih penyelesaian kasus pelanggaran HAM, apa perbedaan pelanggaran HAM biasa dan pelanggaran HAM berat? (Baca Juga: Ragam Fakta Temuan Komnas HAM dalam Kasus Penembakan 6 Laskar FPI)

Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menyebut pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin UU ini dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Langkah hukum apa yang bisa dilakukan jika mengalami pelanggaran HAM? Pasal 7 UU HAM mengatur setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran HAM yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima Indonesia. Penjelasan Pasal 7 UU HAM menyebut yang dimaksud “upaya hukum” adalah jalan yang dapat ditempuh oleh setiap orang atau kelompok untuk membela dan memulihkan hak-haknya yang disediakan oleh hukum di Indonesia, misalnya melalui Komnas HAM atau pengadilan.

Upaya hukum itu termasuk upaya naik banding ke Pengadilan Tinggi, kasasi, dan peninjauan kembali ke MA. Bagi yang ingin menegakan HAM dan kebebasan dasarnya, UU HAM mewajibkan untuk lebih dulu menempuh semua upaya hukum di tingkat nasional (exhaustion of local remedies) sebelum menggunakan forum tingkat regional maupun internasional, kecuali jika tidak mendapat tanggapan dari forum hukum nasional.

Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang patut diduga terdapat pelanggaran HAM dilakukan oleh Komnas HAM. Komnas HAM juga berfungsi menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran HAM kepada pemerintah dan DPR untuk ditindaklanjuti. “Setiap orang dan atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM,” begitu bunyi Pasal 90 ayat (1) UU HAM.

Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, ketika dihubungi, Selasa (19/1/2021), menjelaskan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang mengandung unsur pidana, maka penyelesaiannya setelah dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM berlanjut ke aparat penegak hukum (kepolisian) hingga ke pengadilan melalui mekanisme pengadilan pidana. Jika tidak mengandung unsur pidana, penyelesaian pelanggaran HAM dilakukan mekanisme pemulihan, misalnya merekomendasikan untuk mencabut kebijakan terkait atau tindakan yang perlu dilakukan pemerintah.

Pelanggaran HAM berat

UU HAM juga mengatur tentang pengadilan pelanggaran HAM berat. Pasal 104 UU HAM menjelaskan pengadilan HAM dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM berat. Pengadilan HAM secara khusus diatur melalui UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengadilan HAM berkedudukan di kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Untuk DKI Jakarta, pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah pengadilan negeri yang bersangkutan. Pasal 7 UU Pengadilan HAM mengatur pelanggaran HAM berat yang terdiri dari 2 jenis yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Pengadilan HAM tak hanya memeriksa perkara untuk kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia, tapi juga berwenang mengadili pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar batas teritorial wilayah Indonesia. “Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia,” demikian bunyi Pasal 5 UU Pengadilan HAM.

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Serangan itu meliputi 10 bentuk. Pertama, pembunuhan. Kedua, pemusnahan. Ketiga, perbudakan. Keempat, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. Kelima, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.

Keenam, penyiksaan. Ketujuh, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara. Kedelapan, penganiayaan suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. Kesembilan, penghilangan orang secara paksa. Kesepuluh, kejahatan apartheid.

Untuk kejahatan terhadap kemanusiaan, Beka menilai peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut harus bersifat sistematis atau meluas. Mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat diawali proses penyelidikan Komnas HAM. Hasil penyelidikan disampaikan kepada Jaksa Agung dan dilanjutkan dengan proses penyidikan. Setelah berkas dianggap lengkap dibentuklah pengadilan HAM Ad Hoc.

“Penyelesaian semua kasus pelanggaran HAM dilakukan dengan penyelidikan. Jika dalam peristiwa itu ditemukan tindakan yang memenuhi unsur sistematis atau meluas (sebagai unsur pelanggaran HAM berat, red), penyidikan bisa menggunakan dasar UU Pengadilan HAM,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait