Mengenali Konsep Kodifikasi dalam Proses Legislasi
Terbaru

Mengenali Konsep Kodifikasi dalam Proses Legislasi

Ada kelemahan dan kelebihan. Tapi kodifikasi memungkinkan adanya perubahan, penambahan ataupun mencabut materi yang ada dalam UU yang terkodifikasi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Narasumber webinar bertajuk 'Konsultasi Hukum Pembaruan KUHP 2022'. Foto: RFQ
Narasumber webinar bertajuk 'Konsultasi Hukum Pembaruan KUHP 2022'. Foto: RFQ

Praktik kodifikasi dalam legislasi terbilang jarang dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Konsep kodifikasi merupakan penyusunan peraturan hukum dalam satu kitab UU secara tertulis termasuk mengumpulkan ketentuan-ketentuan hukum yang tersebar, kemudian disusun secara sistematis. Lantas, seperti apa dan bagaimana perkembangan kodifikasi dalam proses legislasi saat ini?

Dosen Ilmu Konstitusi dan Legisprudensi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Fajri Nursyamsi menerangkan tujuan dari kodifikasi setidaknya ada tiga hal. Pertama, mengumpulkan dasar-dasar hukum yang selama ini tersebar. Kedua, menyatukan hukum yang berlaku dalam suatu teritorial. Ketiga, tidak berorientasi pada mengubah perilaku masyarakat sesuai dengan tujuan negara (modifikasi).

Ia melanjutkan dari aspek kelebihan dan kelemahan konsep kodifikasi. Keuntungannya cenderung mudah mendapat dan menelusuri ketentuan-ketentuan sejenis, sehingga hanya satu hukum yang menjadi pegangan dalam melihat isu tertentu. Seperti RKUHP mengatur hukum pidana, tak ada yang lain. Sekalipun ada, itu pun peraturan lebih lanjut yang tidak setara dengan RKUHP. Sedangkan kelemahannya kodifikasi tidak mudah melakukan perubahan-perubahan menyesuaikan hukum dengan perkembangan zaman, sehingga selalu tertinggal.

“Dia (kodifikasi, red) sifatnya kompilasi dan tidak untuk menyesuaikan dengan zamannya. Sehingga hukum tidak bisa mengimbangi perkembangan zamannya, hanya menjadi rujukan untuk dikembangkan dalam peraturan lebih lanjut yang sifatnya modifikasi,” ujar Fajri Nursyamsi dalam sebuah webinar bertajuk “Konsultasi Hukum Pembaruan KUHP 2022” pekan lalu.

Baca Juga:

Dia mengusulkan agar ada kodifikasi terbuka agar dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat sesuai perkembangan zaman dan sekaligus upaya menutupi kelemahan. Maklum, kodifikasi biasanya bersifat kaku secara literatur dan memiliki kelemahan tidak dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Fajri yang juga menjabat Direktur dan Advokasi Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia itu mengurai perkembangan praktik kodifikasi. Menurutnya, kodifikasi dipandang dengan pendekatan formil untuk mewadahi substansi peraturan yang kompleks. Kemudian secara materil, kodifikasi dimungkinkan untuk mengatur ketentuan baru, bukan hanya mengumpulkan ketentuan lama.

Selanjutnya, praktik kodifikasi tak hanya sekadar mengumpulkan, tetapi juga membentuk hukum.Pendekatan kodifikasi tidak banyak digunakan, karena UU saat ini cenderung sektoral, dibanding multisektor dan kompleks. Menurutnya, dalam iklim pembuatan peraturan yang sektoral jarang peraturannya mengandung substansi yang kompleks, sehingga pemikiran membentuk secara kodifikasi tidak dilakukan.

”Secara praktik belum diuji, kita punya UU Pemilu dan RKUHP ini menjadi praktik pelaksanaan kodifikasi. Tetapi kedua UU itu punya kompleksitasnya tinggi,” ujarnya.

Dia melanjutkan secara teknis pembentukan UU dengan substansi yang kompleks sudah mulai diakomodasi, khususnya dalam Peraturan DPR Nomor 2 tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang. Kemudian tidak ada pertimbangan terhadap kompleksitas substansi RUU dalam perencanaan RUU prioritas tahunan.

“Ini menjadi kendala kenapa kodifikasi ini tidak menjadi pertimbangan menarik, karena dari pembentukan Prolegnas tidak mempertimbangkan apakah UU substansinya besar atau sedikit. Karena yang menentukan RUU prioritas diusulkan komisi,” ujarnya.

Sedangkan praktik kodifikasi dalam pembentukan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), ternyata telah menggunakan sistematika dalam buku, bab, bagian dan paragraf. Kemudian memasukkan ketentuan yang berasal dari berbagai UU termasuk KUHP yang berlaku.

RKUHP memasukkan ketentuan-ketentuan pidana, termasuk tindak pidana khusus, sehingga tidak lagi bersifat umbrella law. RKUHP juga tidak membatalkan UU yang ketentuannya terkait. Hanya saja, memerlukan tindak lanjut perubahan terhadap UU asal. “Seharusnya metode kodifikasi yang diterapkan RKUHP disertai dengan perubahan pemikiran terkait penggunaan sanksi pidana, yang tidak bisa lagi diatur di setiap peraturan perundang-undangan,” ujarnya.

Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Arsil berpandangan, kodifikasi memungkinkan adanya perubahan, penambahan ataupun mencabutan materi yang ada dalam UU yang terkodifikasi. Begitu pula sistem kodifikasi mengharapkan materi-materi sejenis yang baru bakal diatur di kemudian hari untuk dimasukkan dalam kodifikasi UU tersebut.

“KUHP mengharapkan ketentuan-ketentuan pidana yang akan datang juga masuk ke dalam RKUHP,” ujarnya.

Menurutnya, perubahan, penambahan dan pencabutan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP dilakukan dengan UU. Sebab, KUHP pun sejatinya adalah UU. Hal tersebut pun nyaris terjadi di semua negara yang menganut sistem kodifikasi.

Tags:

Berita Terkait