Mengenal Seluk Beluk Pajak Karbon
Kolom

Mengenal Seluk Beluk Pajak Karbon

Terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan pajak karbon di Indonesia.

Bacaan 6 Menit
Founder & Director HSI Consulting, Ari Irfano. Foto: Istimewa
Founder & Director HSI Consulting, Ari Irfano. Foto: Istimewa

Perubahan Iklim yang terus dihadapi dunia saat ini, membuat Indonesia menjadi sangat rentan terhadap perubahan iklim. Salah satu yang menyebabkan perubahan iklim adalah emisi karbon yakni proses pelepasan karbon ke lapisan atmosfer bumi. Dalam mengatasi perubahan iklim tersebut, Pemerintah Republik Indonesia melalui Paris Agreement yang ditandatangani oleh 195 negara pada tahun 2015 telah mempunyai beberapa kesepakatan di antaranya yaitu berupaya membatasi kenaikan suhu global sampai di angka minimum 1,5 derajat celcius, dan tidak lebih dari 2 derajat celcius untuk tingkat praindustri.

Komitmen yang ada pada Paris Agreement ini menghasilkan Nationally Determined Contribution (NDC) yang bertujuan dalam mengatur dan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Gas Rumah Kaca adalah gas yang terkandung dalam atmosfer, baik alami maupun antropogenik, yang menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah. Emisi GRK adalah lepasnya GRK ke atmosfer pada suatu area tertentu dalam jangka waktu tertentu.

Dalam rangka mengendalikan emisi GRK untuk mendukung pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, pemerintah mengenakan pajak karbon. Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup seperti pemakaian bahan bakar fosil yaitu minyak bumi, gas alam, dan batu bara.

Baca juga:

Pajak karbon ini diterapkan agar mengubah perilaku industri supaya beralih kekegiatan ekonomi hijau yang rendah emisi karbon. Beberapa negara sudah menerapkan pajak karbon, di antaranya yaitu Finlandia negara pertama yang menerapkan pajak karbon pada tahun 1990. Selanjutnya Swedia dan Norwegia mengikuti pada tahun 1991. Jepang dan Australia pada 2012, Inggris pada 2013, dan Cina pada 2017. Di Asia Tenggara, baru Singapura yang memberlakukan kebijakan pajak karbon pada 2019.

Dasar hukum dari penerapan pajak karbon diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Menurut UU HPP, pajak karbon dikenakan kepada wajib pajak orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. Sesuai Bab VI Pasal 13 ayat (2) UU HPP, pajak karbon dikenakan dengan memperhatikan: a. peta jalan pajak karbon; dan/atau; b. peta jalan pasar karbon.

Terdapat empat peta jalan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada penjelasan Pasal 13 ayat (3) UU HPP. Pertama, strategi penurunan emisi karbon. Terkait hal ini Pemerintah telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030 dan menuju Net Zero Emission (NZE) paling lambat di tahun 2060.

Kedua, sasaran sektor prioritas. Mengenai hal ini target penurunan emisi sektor energi dan transportasi serta sektor kehutanan sudah mencakup 97% dari total target penurunan emisi NDC sehingga menjadi prioritas utama penurunan emisi gas rumah kaca. Selain dua sektor tersebut akan mengikuti transformasi industri nasional berbasis energi bersih dan pajak karbon menuju Indonesia Emas tahun 2045 dan NZE paling lambat tahun 2060.

Ketiga, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan. Bauran kebijakan pajak karbon, perdagangan karbon dan kebijakan teknis sektoral di antaranya phasing out coal, pembangunan energi baru dan terbarukan, dan/atau peningkatan keanekaragaman hayati diharapkan akan mendukung pencapaian target NZE 2060 dengan tetap mengedepankan prinsip just and a-ffordable transition bagi masyarakat dan memberikan kepastian iklim berusaha.

Keempat, keselarasan antarberbagai kebijakan lainnya. Peta jalan (road map) pajak karbon akan memuat antara lain strategi penurunan emisi karbon dalam NDC, sasaran sector prioritas, dan/atau memperhatikan pembangunan energi baru terbarukan dan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Tarif dan Skema Pajak Karbon

Berdasarkan UU HPP, tarif yang dikenakan atas pajak karbon yaitu ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Dalam hal harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp30 per kilogram CO2e atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp30 per kilogram CO2e atau satuan yang setara.

Pajak karbon di Indonesia untuk saat ini diterapkan dengan skema cap and tax yang di mana akan diintegrasikan dengan kebijakan cap and trade.

  • Cap and Trade. Skema cap and trade yaitu entitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap diwajibkan membeli sertifikat izin emisi (SIE) entitas lain yang emisinya di bawah cap. Entitas juga dapat membeli sertifikat penurunan emisi (SPE).
  • Cap and Tax. Skema Cap and Tax yaitu ditujukan untuk sisa emisi yang belum bisa ditutup dengan pembelian SIE. Sisa emisi tersebut akan dikenakan tarif pajak karbon yaitu sebesar Rp 30 per kilogram CO2e.

Pemberlakuan Pajak Karbon

Pasal 13 ayat (7) UU HPP menjelaskan mengenai pelaksanaan pengenaan pajak karbon, antara lain; a. Tahun 2021, dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon; b. Tahun 2022 sampai dengan 2024, diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax/ untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara; c. Tahun 2025 dan seterusnya, implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai kesiapan sektor terkait dengan memperhatikan antara lain kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak, dan/atau skala.

Sedangkan terutangnya pajak karbon ditentukan oleh tiga hal. Pertama, pada saat pembelian barang yang mengandung karbon. Kedua, pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu. Ketiga, saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Hukumonline.com

Pelunasan dan Pelaporan Pajak Karbon

Pajak karbon tersebut harus dilunasi oleh wajib pajak dengan cara dibayar sendiri oleh wajib pajak atau dipungut oleh pemungut pajak karbon. Bagi wajib pajak yang melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak karbon.

Wajib pajak pemungut pajak karbon, harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak karbon. Bagi wajib pajak yang melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon atau wajib pajak pemungut pajak karbon, wajib mengisi Surat Pemberitahuan sesuai ketentuan Pasal 3 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Penyusunan Aturan Pelaksanaan/Turunan Pajak Karbon

Kementerian Keuangan tengah menyiapkan regulasi turunan penyelenggaraan Pajak Karbon melalui Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Pemerintah sebagai mandat dari UU HPP. Adapun aturan turunan yang sedang dipersiapkan adalah sebagai berikut:

  • Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) Tentang Tarif dan DPP Pajak Karbon
  • Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Tentang Tata Cara dan Mekanisme
  • Pengenaan Pajak Karbon
  • Peraturan Pemerintah Tentang Peta Jalan Pajak Karbon
  • Peraturan Pemerintah Tentang Subjek dan Alokasi Pajak Karbon

Tantangan Pelaksanaan Pajak Karbon

Pajak karbon dikenakan untuk mengurangi emisi karbon yang menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan. Dalam pelaksanaan pajak karbon tersebut terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi, tantangan tersebut di antaranya:

  • Peta Jalan (road map). Peta jalan pajak karbon dibuat untuk pencapaian NDC belum lengkap dan belum lulus. Sampai saat ini peta jalan (road map) yang sudah di legalisasikan adalah road map pada ketentuan Bab VI Pasal 13 ayat (3) UU HPP.
  • Pasar Karbon. Pasar karbon merupakan bagian penting dari pajak karbon karena insentif pajak atau kredit karbon didapatkan dari bursa karbon.
  • Pengujian Batas Emisi. Pajak karbon dikenakan atas pemakaian emisi karbon dalam jumlah tertentu, namun sampai saat ini masih belum adanya berapa batasan emisi tersebut. Dalam PP No 98 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No 21 Tahun 2022 Tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon disebutkan mengenai batas atas emisi, namun dalam peraturan tersebut tidak disebutkan berapa batas atas emisi tersebut.
  • Penentuan Tarif Pajak Karbo Tarif pajak karbon yang saat ini berlaku jika dibandingkan dengan negara lain yang sudah menerapkan pajak karbon tergolong masih sangat jauh lebih kecil, jika dalam satuan mata uang (kurs) US Dollar.
  • Transparansi Pelaksanaan Kebijakan. Tantangan yang dihadapi dapat berupa lemahnya sistem administrasi perpajakan, kontribusi sektor penyumbang penerimaan yang minim, juga rendahnya tingkat kepatuhan pajak.
  • Negosiasi yang Dilakukan Para Pengusaha di Sektor Energi. Tantangan dalam penerapan pajak karbon yaitu adanya kelompok pelaku usaha energi fosil yang ingin mempertahankan bisnisnya memiliki lobi-lobi agar bisa mempertahankan bisnisnya tersebut.

*)Ari Irfano, S.E., S.H., M.Ak., M.Kn. adalah Founder & Director HIS Consulting.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait