Mengenal Mekanisme Regulatory Sandbox pada Industri Fintech
Berita

Mengenal Mekanisme Regulatory Sandbox pada Industri Fintech

Selain perlu pembenahan, kemampuan regulator menerapkan regulatory sandbox pada seluruh perusahaan fintech di Indonesia masih diragukan.

CR-26
Bacaan 2 Menit
Bank Indonesia. Foto: SGP
Bank Indonesia. Foto: SGP

Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masing-masing menerapkan ketentuan regulatory sandbox atau program uji coba bagi perusahaan rintisan (startup) di bidang jasa keuangan berbasis teknologi atau financial technology (fintech). Program ini menjadi tempat uji coba bagi perusahaan fintech sebelum beroperasi melayani masyarakat.

 

Saat ini, lembaga yang menyelenggarakan regulatory sandbox hanya BI. Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial (Fintech). Sedangkan, OJK rencananya dalam waktu dekat akan menerbitkan regulasi serupa agar memiliki wewenang melakukan uji coba terhadap perusahaan fintech. Baca Juga: Asosiasi Fintech Susun Pedoman Teknis Demi Lindungi Konsumen

 

Dari sisi lingkup pengawasan, kedua lembaga tersebut memiliki perbedaan. BI berwenang melakukan uji coba pada perusahaan fintech dengan jenis sistem pembayaran elektronik (e-payment), seperti Go-Pay. Sedangkan, OJK berhak melakukan penilaian pada fintech jasa keuangan seperti crowdfunding (pembiayaan), peer to peer lending (layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi).  

 

Untuk mengikuti program regulatory sandbox, perusahaan fintech harus mendaftarkan diri kepada regulator terlebih dahulu. Selanjutnya, perusahaan mengikuti beberapa tahap penilaian. Misalnya, penilaian kondisi internal seperti profil manajemen dan reputasi pengurus, kebaruan dan manfaat produk, pendanaan serta konsultan hukum. Selain itu, regulator menilai sisi eksternal perusahaan, seperti persaingan usaha dan perlindungan konsumen, informasi, edukasi, dan penyelesaian sengketa konsumen.

 

Melalui proses regulatory sandbox ini, regulator dapat mengetahui kondisi manajemen dan produk yang ditawarkan perusahaan fintech. Setelah melakukan berbagai tahapan penilaian, regulator berwenang memberi pernyataan kelayakan dari perusahaan tersebut.

 

Berdasarkan PADG Nomor 19/2017 disebutkan BI dapat menetapkan jangka waktu tertentu bagi perusahaan fintech melakukan uji coba dalam regulatory sandbox dengan batasan maksimal 12 bulan. Setelah jangka waktu berakhir, BI menetapkan status hasil uji coba perusahaan fintech dengan tiga kriteria yakni berhasil, tidak berhasil, atau status lain yang ditetapkan BI.

 

Bagi yang berhasil dalam uji coba tersebut, selanjutnya perusahaan fintech dapat menawarkan produknya kepada masyarakat dengan mengajukan izin kepada BI terlebih dahulu. Pernyataan berhasil dari BI berpengaruh pada tingkat kepercayaan konsumen terhadap perusahaan fintech tersebut. Sedangkan, perusahaan yang tidak berhasil lulus dalam regulatory sandbox, maka dilarang memasarkan produk, layanan, teknologi, dan atau model bisnis yang diujicobakan.

 

Jangka waktu uji coba dalam regulatory sandbox ditetapkan paling lama enam bulan sejak tanggal penetapan atas skenario uji coba produk, layanan, teknologi, model bisnis. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang satu kali untuk waktu paling lama  enam bulan. Sehingga, total waktu yang dapat dimanfaatkan perusahaan fintech menguji coba produknya menjadi setahun.

 

Selama pelaksanaan uji coba tersebut, perusahaan fintech wajib memastikan diterapkannya prinsip perlindungan konsumen, manajemen risiko, dan kehati-hatian yang memadai. Perusahaan tersebut juga wajib menyampaikan laporan pelaksanaan uji coba, baik secara reguler maupun insidentil sesuai dengan permintaan BI.

 

Data BI pada awal April, hanya 1 dari 15 perusahaan fintech terdaftar mengikuti proses regulatory sandbox yaitu PT Toko Pandai Nusantara (Toko Pandai). Perusahaan ini dinilai telah memenuhi delapan kriteria BI untuk mengikuti proses uji coba tersebut seperti diatur Pasal 3 PADG Nomor 19/2017.  

 

 

Hukumonline.com

 

 

Masih perlu pembenahan

Dosen Departemen Hukum dan Bisnis Universitas Bina Nusantara, Bambang Pratama mengatakan program regulatory sandbox merupakan langkah tepat dari regulator untuk menciptakan kondisi industri fintech yang aman dan inovatif. Namun, dia menilai masih terdapat beberapa perbaikan/pembenahan yang harus dilakukan regulator dalam pelaksanaan uji coba perusahaan fintech tersebut.

 

Salah satunya, saran Bambang, seharusnya BI melibatkan pihak luar dari kalangan akademisi dan praktisi dalam proses regulatory sandbox tersebut agar dapat memberi penilaian yang lebih objektif terhadap perusahaan fintech. “Dalam usulan saya, penilaian itu tidak hanya dari BI, tapi melibatkan akademisi dan praktisi agar penilaian lebih objektif,” kata dia kepada Hukumonline pada Jumat (6/4/2018).

 

Dia menjelaskan negara-negara yang telah lebih dahulu menerapkan regulatory sandboxseperti Inggris dan Australia yang melibatkan akademisi dan praktisi sebagai tim penilai. Cara ini tidak lain agar perusahaan fintech mendapat masukan dan penilaian lebih komprehensif.

 

Bambang, yang juga termasuk dalam tim pengkaji kebijakan regulatory sandbox BI ini, mempertanyakan kesanggupan/kemampuan regulator menangani proses uji coba terhadap seluruh perusahaan fintech di Indonesia. Dia menilai antusiasme pendirian perusahaan fintech tidak hanya di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah lain.

 

“Saat saya FGD dengan asosiasi perusahaan fintech, ada beberapa fintech dari Yogyakarta bertanya ke BI di wilayah itu tentang regulatory sandbox. Ternyata, setelah ditanya, pihak BI sana (Yogyakarta) enggak ngerti tentang itu,” ungkapnya.

 

Meski demikian, Bambang berharap penerapan regulatory sandbox tersebut dapat meningkatkan kredibilitas industri fintech di Indonesia. Selain itu, pendampingan pemerintah selama ini tidak menghambat pertumbuhan perusahaan fintech. “Upaya BI tersebut juga harus didukung dengan kemudahan berinvestasi di Indonesia. Soalnya, dari sisi (pengurusan) perizinan badan hukumnya saja masih perlu berbulan-bulan, belum lagi pengurusan hak ciptanya. Ini yang masih jadi problem,” kata Bambang.

Tags:

Berita Terkait