Mengenal Konsep Diversi dalam Pengadilan Pidana Anak
Berita

Mengenal Konsep Diversi dalam Pengadilan Pidana Anak

Konsep keadilan restoratif merupakan tujuan agar dapat dilaksanakannya konsep diversi pada pengadilan pidana anak. Inti dari keadilan restoratif adalah penyembuhan, pembelajaran moral, partisipasi dan perhatian masyarakat, rasa memaafkan, tanggungjawab serta membuat perubahan yang semua itu merupakan pedoman bagi proses restorasi dalam perpektif keadilan restoratif.

M-27
Bacaan 2 Menit

 

(Baca juga: Melihat Capaian Implementasi UU Sistem Peradilan Pidana Anak)

 

Melansir data Polda Metro Jaya periode 2013-2017 Ayu menghitung ada 229 kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Data itu meliputi perkara yang ada di wilayah Polda Metro Jaya. Dari 229 kasus itu hanya 32 kasus yang diupayakan diversi pada tahap penyidikan dan 158 kasus tidak dilakukan diversi dan 39 kasus tidak diketahui apakah dilaksanakan diversi atau tidak.

 

Pada tahap pra penuntutan (berkas P-21) sebanyak 13 kasus selesai karena laporan dicabut, 41 kasus selesai karena diversi, 20 kasus berhenti melalui SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), 113 selesai di persidangan dan 30 kasus tidak diberi keterangan perihal kelanjutan prosesnya.

 

Menurut Ayu, ada banyak tantangan yang dihadapi dalam mengupayakan diversi untuk kasus pidana anak. Misalnya, jenis tindak pidana yang melibatkan anak tidak dapat dilakukan diversi karena ancamannya lebih dari 7 tahun penjara. "Itu merupakan alasan paling banyak kenapa upaya diversi tidak dapat dilakukan," katanya dalam diskusi di Jakarta, Kamis (22/2).

 

(Baca juga: Lindungi Masa Depan Anak Lewat Sistem Peradilan Terintegrasi)

 

LBH Jakarta merekomendasikan pemerintah untuk melakukan legislatif review terkait syarat pelaksanaan diversi, terutama tindak pidana dengan ancaman lebih dari 7 tahun tapi tidak terdapat korban dalam pidana yang disangkakan kepada anak tersebut. Sebaiknya pemerintah merinci jenis tindak pidana apa saja yang dapat dilakukan diversi atau tidak. Kemudian perlu ada pengawasan lebih ketat terhadap pelaksanaan diversi dalam tiap tahapan dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan guna mencegah penyalahgunaan wewenang menyangkut diversi.

 

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Putu Elvina, mengatakan periode 2017 KPAI menerima 3.849 kasus, dari jumlah itu kasus yang berkaitan dengan anak berhadapan dengan hukum paling banyak dibanding  bidang lain yakni 1.209 kasus. Dia yakin jumlah yang ada di lapangan dan tidak tercatat lebih besar. Menurutnya jumlah kasus yang ditangani KPAI bisa berkurang jika pemerintah daerah (pemda) menyediakan akses pengaduan masyarakat seperti membentuk Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2 TP2A).

 

Elvina menjelaskan tahun 2015 KPAI melihat kesiapan penerapan UU SPPA, hasilnya belum memuaskan karena masih banyak sarana dan prasarana serta SDM yang belum memadai. Misalnya, unit pelayanan perempuan dan anak (UPPA) pada kepolisian di daerah tergolong minim.Tapi ada juga daerah yang sudah melakukan upaya yang baik seperti Kalimantan Selatan UPPA cukup bagus ruangannya karena mendapat bantuan dari pemda.

 

Data lain yang dijelaskan Elvira terjadi di Polres Jayapura. Pada tahun 2015, aparat setempat bersemangat untuk melakukan diversi terhadap perkara pidana anak. Sayangnya prosedur yang mereka lakukan untuk menjalankan diversi kurang tepat karena tidak melalui penetapan pengadilan. Pada tahun 2016 di Makassar, KPAI memantau banyak penyidik kepolisian yang belum mendapat pelatihan SPPA. Sekalipun ada aparat yang mengikuti pelatihan tapi dimutasi ke unit lain. Padahal SDM yang tidak terlatih bisa menghambat upaya diversi. "Ketentuan yang diatur dalam UU SPPA sudah ideal tapi pelaksanaannya sulit," kata Elvina.

Tags:

Berita Terkait