Mengenal Judex Factie dan Judex Jurist dalam Praktik Peradilan
Jeda

Mengenal Judex Factie dan Judex Jurist dalam Praktik Peradilan

Judex factie dan judex jurist adalah sebutan proses peradilan di tingkat pertama dan banding serta proses kasasi di MA. Dalam perkembangannya, pemeriksaan kasasi tidak hanya memeriksa masalah penerapan hukum, tetapi juga mengadili fakta yang telah diperiksa pengadilan tingkat pertama dan banding.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Sistem peradilan di Indonesia mengenal tiga tingkatan pengadilan yakni pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding, dan pengadilan tingkat kasasi. Untuk penyebutan tiga tingkatan proses peradilan ini dikenal dua istilah judex factie dan judex jurist. Judex factie merupakan hakim yang memeriksa fakta persidangan, apakah dari fakta itu terbukti atau tidak perkara tersebut. Sedangkan, judex jurist merupakan hakim yang memeriksa penerapan hukum, apakah ada kekeliruan dalam penerapan hukum di pengadilan judex factie.

Kedua istilah itu berasal dari bahasa latin. Judex factie artinya hakim-hakim (yang memeriksa) fakta dan judex jurist artinya hakim-hakim (yang memeriksa) hukum. Pengadilan Negeri adalah pengadilan tingkat pertama yang memeriksa dan memutus perkara sebagai judex factie. Pengadilan Tinggi ialah pengadilan banding terhadap perkara yang diputus Pengadilan Negeri untuk memeriksa ulang bukti-bukti dan fakta hukum yang terjadi. Dengan demikian, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi disebut sebagai pengadilan judex factie.

Lalu, apa dan bagaimana judex jurist? Judex jurist merupakan pengadilan tingkat kasasi atau peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) yang tidak lagi memeriksa fakta dan bukti-bukti perkara. MA hanya memeriksa penerapan hukum terhadap fakta yang sudah ditentukan/diputuskan pengadilan judex factie. Pengadilan judex jurist di MA ini tidak memeriksa fakta peristiwa hukum atau perbuatan hukum, tapi menilai benar atau tidaknya penerapan hukum dalam putusan judex factie. Hal ini dijelaskan oleh A. Mukti Arto dalam bukunya berjudul Pembaruan Hukum Islam melalui Putusan Hakim (2015: 43).

Menurut Moh. Amir Hamzah dalam bukunya berjudul Hukum Acara Perdata Peradilan Tingkat Banding (2013: 5), menyebutkan fungsi judex factie melalui beberapa tahapan pemeriksaan yaitu merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat, dan mereka-reka probabilitas. Menurut Pasal 6 UU No.20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan, peradilan tingkat banding merupakan peradilan judex factie tingkat kedua.

Pasal 6 UU No.20 Tahun 1947 disebutkan “Dari putusan-putusan Pengadilan Negeri di Jawa dan Madura tentang perkara perdata, yang tidak ternyata, bahwa besarnya harga harga gugat ialah seratus rupiah atau kurang, oleh salah satu dari pihak-pihak yang berkepentingan diminta, supaya pemeriksaan perkara diulangi oleh Pengadilan Tinggi yang berkuasa dalam daerah masing-masing.” Dijelaskan pula dalam Pasal 15 ayat (1) “Pengadilan Tinggi dalam pemeriksaan ulangan memeriksa dan memutuskan dengan tiga hakim, jika dipandang perlu, dengan mendengarkan sendiri kedua belah pihak atau saksi.”  

Kemudian melalui Putusan MA No.951 K/Sip/1973 tanggal 9 Oktober 1975 disebutkan “Cara pemeriksaan perkara perdata di tingkat banding-pengadilan tinggi yang hanya memeriksa keberatan-keberatan yang diajukan oleh pembanding saja adalah salah. Seharusnya Majelis Hakim Banding juga melakukan pemeriksaan ulang atas seluruh perkara tersebut baik faktanya maupun penerapan hukumnya yang telah diputuskan oleh hakim (tingkat, red) pertama.”

Meskipun pengadilan banding disebut peradilan judex factie tingkat kedua, tetapi dalam praktik beracara dalam proses pemeriksaan perkara yang telah berjalan berpedoman pada Pasal 357 Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering (Rv). Pasal 357 Rv menyebutkan “Perkara kemudian oleh Hakim Banding yang bersangkutan tanpa banyak proses diputus berdasarkan surat-surat saja, tetapi ia berwenang sebelum menjatuhkan putusan akhir untuk memberikan putusan persiapan atau putusan sela.” Menurut M. Yahya Harahap, alasan pengadilan tingkat banding menjadikan Pasal 357 Rv sebagai pedoman karena penerapannya dianggap sangat bermanfaat menjadi landasan beracara. 

Bila dicermati lebih mendalam tidak berjalanya judex factie di peradilan tingkat banding sebagaimana diatur Pasal 6, Pasal 15 ayat (1) UU Pengadilan Peradilan Ulangan dan yurisprudensi MA No.951 K/Sip/1973, No.194 K/Sip/1973, dan No.3136 K/Sip/1983 karena dalam ketentuan tersebut tidak ada ketentuan khusus yang mengatur perihal tata cara pemeriksaan perkara di pengadilan tingkat banding. Pada akhirnya pengadilan tingkat banding menggunakan Pasal 357 Rv sebagai dasar pelaksanaan praktik beracara di pengadilan tingkat banding.

Dalam buku karangan Machmud Raschimi dkk (2015) berjudul Kewenangan Mahkamah Agung Sebagai Judex Jurist Dalam Menilai Fakta Untuk Mewujudkan Keadilan, secara yuridis formal penilaian fakta-fakta dan masalah berat ringannya hukuman yang dijatuhkan tidak termasuk wewenang MA, tapi wewenang Pengadilan Negeri (PN) atau Pengadilan Tinggi (PT). Kewenangan MA mengadili perkara kasasi hanya terbatas pada menyelidiki apakah putusan bertentangan dengan penerapan hukum atau pengadilan di bawahnya telah melampaui batas-batas kewenangan atau tidak.

Dalam Kertas Kebijakan Pengurangan Arus Perkara ke MA yang diterbitkan LeIP (2017), peradilan kasasi dan peninjauan kembali, Mahkamah Agung idealnya melaksanakan fungsinya sebagai judex jurist. Maksudnya, MA tidak lagi memeriksa fakta dalam proses penanganan perkara. Perkara yang diperiksa adalah putusan atau penetapan yang bermasalah secara penerapan hukum, sehingga MA dikenal dengan pengadian judex jurist.

Namun dalam perkembangannya, mengutip artikel Premium Stories berjudul “Problem Judex Factie Dalam Penanganan Kasasi di MA”, pemeriksaan kasasi tidak hanya memeriksa masalah penerapan hukum, tetapi juga mengadili fakta yang telah diperiksa pengadilan tingkat pertama dan banding. Kata lain, MA terkadang menempatkan dirinya sebagai pengadilan judex factie. Hal ini dapat terlihat dalam sejumlah putusan kasasi perkara pidana korupsi yang menjatuhkan hukuman lebih berat.  

Persoalan itu ditegaskan Sebastian Pompe dalam bukunya berjudul Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung (2012: 314), dijelaskan permasalahan mendasar yang sangat berpengaruh tingginya arus perkara di MA adalah penyimpangan praktik kasasi di Indonesia yang lebih mengarah pada judex factie ketimbang judex jurist. Menurutnya, penyimpangan praktik kasasi ini terjadi sejak lama, bahkan sejak pertama kali MA berdiri.

Tags:

Berita Terkait