Mengenal Instrumen Hukum Anti Suap Asing yang Berlaku Lintas Batas
Utama

Mengenal Instrumen Hukum Anti Suap Asing yang Berlaku Lintas Batas

FCPA dapat menjangkau warga negara serta entitas hukum AS yang melakukan praktik suap di luar yurisdiksi AS. Terdapat pula UK Bribery Act yang mengatur pelarangan tindakan suap secara internasional untuk entitas Inggris.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Partner pada Oentoeng Suria & Partner, Prawidha Murti. Foto: RES
Partner pada Oentoeng Suria & Partner, Prawidha Murti. Foto: RES

Dari aspek hukum, aktivitas bisnis merupakan objek yang mesti diatur dalam sejumlah ketentuan. Hal ini untuk menjamin adanya kepastian hukum yang dapat menunjang aktivitas bisnis dan mengantisipasi adanya praktik hitam dalam aktivitas bisnis. Apalagi jika praktik bisnis tersebut melampaui batas wilayah sebuah negara.

 

Di Indonesia misalnya, beberapa waktu lalu telah terbit Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi,  yang dipandang sebagai hukum acara untuk menangani tindak pidana yang dilakukan oleh entitas korporasi.

 

Tidak hanya di Indonesia, Amerika Serikat bahkan lebih dulu mengatur ketentuan serupa. Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) merupakan sebuah undang-undang yang dibentuk oleh senat Amerika Serikat sekitar tahun 1977. Undang-undang ini merupakan peraturan federal yang mengatur dua hal, yakni mengenai aspek transparansi akunting untuk perusahaan Amerika, serta perkara penyuapan dan bentuk korupsi lainnya untuk investasi di luar Amerika Serikat oleh perusahaan Amerika Serikat. Dengan kata lain, UU ini melarang perusahaan Amerika Serikat untuk melakukan penyuapan terhadap pegawai pemerintah tujuan investasi.

 

Selain itu, di Inggris terdapat undang-undang yang secara khusus mengatur pelarangan tindakan suap secara internasional untuk entitas Inggris. Undang-undang ini dikeluarkan pada tahun 2010 yang diberi nama UK Bribery Act. Dalam UU ini diatur secara tegas bahwa pemberian uang suap adalah tindakan ilegal tanpa pengecualian.

 

Undang-undang ini juga menganut prinsip ekstrateritorial di luar Inggris dan melarang penyuapan terhadap siapa pun. Dalam perkembangannya, menjadi acuan normatif yang mengatur definisi suap dan perbandingan hukum pemberian suap di berbagai negara. UK Bribery Act juga menjadi pedoman standar perilaku bisnis di seluruh dunia serta merupakan dasar pengembangan sistem whistleblowing di Indonesia.

 

Partner pada Oentoeng Suria & Partner, Prawidha Murti, menjelaskan sejumlah hal terkait kedua instrumen asing ini. Menurutnya, hal ini menjadi penting mengingat prinsip ekstrateritorial yang dianut oleh kedua instrumen hukum ini berakibat kemungkinan persinggungan instrumen dimaksud dengan sejumlah pihak yang berada di tanah air.

 

“FCPA dan UK Bribery Act belum kita ratifikasi tapi keduanya memiliki prinsip ekstrateritorial. Ada preseden penegakan di Indonesia seperti kasus Alstom dan Garuda dan Rolls Royce,” ujar Prawidha, dalam pelatihan yang diselenggarakan hukumonline bertajuk “Membedah Aspek Hukum Praktik Bisnis Anti Suap sebagai Tindak Pidana Korporasi Berdasarkan Tata Aturan di Indonesia (Angkatan Kedua)”, Senin (29/7), di Jakarta.

 

Ia menjelaskan sejumlah prinsip-prinsip umum yang dianut oleh FCPA. Menurut Prawidha, FCPA menganut prinsip vicarious liability. Hal ini berarti perusahaan juga dianggap bertanggung jawab atas pembayaran suap apabila direktur, pejabat, pegawai, atau agen yang bertindak dalam cakupan pekerjaannya, melakukan pelanggaran FCPA untuk kepentingan perusahaan.

 

“Dalam kasus semacam ini FCPA dapat menjerat perusahaan, manajemen, serta agen yang terlibat sekaligus,” ujarnya.

 

Menurut Prawidha, jika seorang subjek FCPA mengetahui atau secara efektif seharusnya mengetahui bahwa seorang agen yang ditunjuk akan melakukan pembayaran yang tidak patut atau terlibat dalam perilaku yang tidak dibenarkan lainnya, maka hal tersebut telah menunjukkan terjadi pelanggaran FCPA. Seperti yang disebutkan di atas, akibat prinsip ekstrateritorial sehingga FCPA dapat menjangkau warga negara serta entitas hukum AS yang melakukan praktik suap di luar yurisdiksi AS.

 

(Baca: PERMA No. 13 Tahun 2016 Momentum untuk Mulai Menjerat Korporasi)

 

Meski begitu, Prawidha menjelaskan sejumlah aktivitas bisnis yang tidak termasuk dalam pelanggaran yang diatur oleh FCPA. Menurut Prawidha, FCPA tidak berlaku untuk sejumlah pembayaran yang ditujukan untuk mempercepat atau menjamin suatu pelaksanaan tindakan rutin pemerintah. Ia kemudian merinci macam-mcam bentuk tindakan rutin pemerintah seperti mengeluarkan izin, lisensi, atau dokumen resmi lainnya untuk memenuhi persyaratan seseorang untuk melakukan bisnis di negara asing.

 

Selain itu, yang termasuk dalam tindakan rutin pemerintah lainnya adalah memproses surat-surat resmi dari pemerintah seperti visa atau perintah kerja; menyediakan perlindungan polisi, penjemputan dan pengiriman surat, atau menjadwalkan inspeksi yang terkait dengan pelaksanaan kontrak atau inspeksi yang terkait dengan transit barang lintas negara; menyediakan jasa seluler telepon, suplai air dan listrik, bongkar muat kargo, melindungi barang atau komoditas mudah rusak dari kerusakan; atau tindakan lain dengan bersifat serupa.

 

Ditegaskan Prawidha, tidak termasuk tindakan rutin pemerintah hal-hal seperti keputusan apa pun oleh pejabat asing mengenai apakah, atau dengan ketentuan apa, bisnis baru atau kelanjutkan bisnis akan diberikan kepada suatu perusahaan, atau tindakan apa pun yang diambil oleh pejabat asing yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan untuk mendorong keputusan untuk memberikan bisnis baru kepada, atau melanjutkan bisnis dengan sebuah perusahaan.

 

FCPA secara jelas menyarankan emiten yang memperbolehkan facilitation payments untuk memiliki kontrol internal dan prosedur kepatuhan yang memadai yang dirancang untuk menjaga bahwa pembayaran tersebut memenuhi syarat pengecualian tindakan rutin pemerintah sebagaimana diatur dalam FCPA dan pembayaran tersebut disetujui dan didokumentasikan secara benar dalam pembukuan dan pencatatan emiten.

 

Selain FCPA, Prawidha juga menjelaskan mengenai UK Bribery Act. Sebagaimana FCPA, UK Bribery Act juga memiliki kekuatan mengikat secara ektrateritorial. UK Bribery Act berlaku untuk perusahaan Inggris dan perusahaan yang memiliki hubungan ke Inggris. “Artinya, entitas perusahaan selain yang berasal dari Inggris pun dapat dikenakan instrument ini,” ujarnya.

 

Salah satu yang menarik adalah terkait adanya sanksi yang memberikan hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda tak terbatas, termasuk pelanggaran terhadap kegagalan mencegah penyuapan dan tindakan menyuap pejabat asing.

 

Dalam ketentuannya, UK Bribery Act menetapkan empat pelanggaran utama yakni pelanggaran terhadap tindakan menyuap, pelanggaran terhadap tindakan disuap, pelanggaran suap terhadap pejabat publik asing, dan penerapn pertanggungjawaban mutlak (strict liability) terhadap perusahaan berdasarkan Section 7 dari kegagalan entitas komersial untuk mencegah orang melakukan tindakan penyuapan terhadap orang lain.

 

Prawidha menyebutkan bahwa pertanggungjawaban timbul dariUK Bribery Act, apabila tindakan pidana dilaksanakan di wilayah teritorial Inggris. Kemudian, tindakan pidana dilakukan oleh seseorang dengan koneksi dekat ke Inggris.

 

Misalnya warga negara Inggris, orang dengan kewarganegaraan Inggris di luar wilayah teritorial Inggris, penduduk Inggris, entitas bisnis berbadan hukum Inggirs. “Serta dalam kasus Pelanggaran berdasarkan Section 7, yang dilakukan oleh orang (dari setiap kewarganegaraan) yang bertindak atas nama perusahaan yang menjalankan sebagian bisnisnya di Inggris,” ujar Prawidha.

 

Hukumonline.com

Mantan Penyidik KPK Arinta Handini. Foto: RES

 

Mantan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Arinta Handini, dalam kesempatan yang sama menjelaskan pentingnya memitigasi risiko tindakan penyuapan melalui mekanisme good corporate governance. Menurutnya, untuk unit kerja yang memiliki potensi dan mengelola risiko mesti memiliki kontrol manajemen yang di dalamnya terdapat antara lain sistem pengendalian terhadap keuangan, keamanan, serta manajemen terhadap risiko.

 

Selain sistem kontrol manajemen, perusahaan mesti memiliki perangkat tindakan pengendalian internal. Instrumennya bisa terdiri dari kualitas, mekanisme inspeksi, serta kepatuhan. Setelah itu, perusahaan mesti memiliki internal audit yang memenuhi sejumlah prasyarat.

 

Arinta mengatakan, sebagai bagian dari internal audit, sumber daya manusianya harus memiilki independensi serta kemampuan objektif. “Untuk itu internal audit harus diisi oleh sumber daya manusia yang mampu dan memiliki pengetahuan yang cukup, kemampuan, dan pengalaman untuk menjalankan fungsi sebagai internal audit,” ujarnya.

 

Menurutnya, dalam menjalankan tugasnya, seorang internal audit harus mampu melakukan pekerjaan berdasarkan pendekatan berbasis resiko. Selain itu rung lingkup kerja internal audit haruslah menyeluruh dan mengacu pada standar internasional.

 

Tags:

Berita Terkait