Mengenal Dua Konsep Hukum Humaniter
Terbaru

Mengenal Dua Konsep Hukum Humaniter

Dalam praktiknya, pelaksanaan hukum humaniter internasional menghadapi beberapa tantangan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Deputi Redaktur Hukumonline, Norman Edwin Elnizar, saat menjadi dosen tamu di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Kamis (16/11/2023). Foto: RES
Deputi Redaktur Hukumonline, Norman Edwin Elnizar, saat menjadi dosen tamu di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Kamis (16/11/2023). Foto: RES

Setelah pandemi Covid-19 berakhir situasi global masih dibayangi ketidakpastian. Merosotnya demokrasi di berbagai negara termasuk Indonesia, konflik antar negara yang berujung perang seperti Rusia-Ukraina dan Palestina (Hamas)-Israel, mewarnai pemberitaan di media baik lokal dan internasional.

Perkembangan itu patut dicermati pegiat hukum, khususnya yang mendalami hukum humaniter internasional atau hukum perang. Oleh karena itu Fakultas Hukum (FH)  Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengundang Hukumonline sebagai dosen tamu (guest lecturer) guna memaparkan materi tentang hukum humaniter atau hukum perang kepada civitas akademika FH UMS.

Deputi Redaktur Hukumonline, Norman Edwin Elnizar, sebagai dosen tamu menyampaikan materi bertema ‘Politik Global dan Hukum Humaniter Internasional’. Dia menjelaskan beberapa hal mengenai prinsip hukum humaniter internasional. Antara lain mengenai 2 konsep. Pertama, Jus ad Bellum. Yakni hukum tentang konflik bersenjata/perang yang mengatur bagaimana suatu negara dibenarkan menggunakan kekerasan senjata. Misalnya ada keharusan (necessity) dan pembelaan diri (self defence).

Kedua, Jus in Bello. Yakni hukum yang berlaku di tengah perang, baik itu mengatur cara perang dilakukan (coduct of war) dan mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Komite internasional palang merah menyebut konsep yang terakhir ini dimaksud sebagai hukum humaniter internasional.

“Orientasi hukum humaniter internasional adalah memenuhi kepentingan militer sekaligus meminimalkan penderitaan korban dalam konflik bersenjata,” ujarnya  saat menjadi dosen tamu di FH UMS, Kamis (16/11/2023).

Baca juga:

Edwin menjelaskan, hukum humaniter internasional berlaku pada kondisi berlangsungnya konflik bersenjata/perang. Sumber hukum humaniter internasional antara lain konvensi Jenewa 1949 dan protokol tambahan tahun 1977. Termasuk kategori ‘protected persons’, seperti masyarakat sipil yang berada dalam wilayah yang dikuasai musuh, tenaga medis dan agamawan, pengungsi, perempuan, dan anak-anak serta lainnya.

Setidaknya ada 2 kategori hukum humaniter internasional. Pertama, konflik bersenjata internasional (International Armed Conflict/IAC), terjadi antara negara baik itu dua negara atau lebih yang saling berkonflik. Kedua, konflik bersenjata non internasional (Non International Armed Conflict/NIAC), terjadi antara negara dengan pihak bukan negara.

Soal kejahatan perang, Edwin menyebut 3 hukum humaniter internasional yang jadi acuan seperti konvensi Jenewa tahun 1949 (grave breache), Deklarasi HAM Universal tahun 1948 (gross violation), dan Statuta Roma tentang pengadilan kriminal internasional atau International Criminal Court (ICC) tahun 1998 (the most serious crimes).

Unsur kejahatan perang meliputi tindakan yang merupakan pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan perang. Tindakan yang dilakukan pada situasi atau dalam konflik bersenjata/perang dan tindakan yang menimbulkan tanggungjawab pidana secara individual. Instrumen hukum internasional sebagaimana dimandatkan Statuta Roma 1998 menyediakan mekanisme peradilan untuk menangani perkara kejahatan perang yakni ICC. Pasal 5 Statuta Roma 1998 mengatur empat jenis tindak pidana dalam yurisdiksi ICC meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Pelaksanaan hukum humaniter internasional, menurut Edwin menghadapi beberapa tantangan. Misalnya, aktor non negara yang terlibat konflik bersenjata/perang semakin berkembang. Metode perang juga berkembang mengikuti teknologi dan dinamika politik global.

PBB sebagai organisasi internasional mengalami dinamika dalam menghadapi situasi global apalagi resolusi majelis umum PBB bersifat tidak mengikat tapi menunjukkan opini dunia, resolusi dewan keamanan diasumsikan wajib dipatuhi semua anggota PBB dengan 5 anggota tetap pemegang hak veto yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, China dan Rusia.

Kalangan civitas akademika FH UMS antusias mengikuti kegiatan tersebut. Seperti dari kalangan dosen dan mahasiswa. Beberapa mahasiswa sempat melontarkan pertanyaan seputar perkembangan terkini konflik yang terjadi dan mengaitkannya dengan hukum humaniter serta peran PBB.

Tags:

Berita Terkait