Mengawal Implementasi Perdagangan Karbon
Kolom

Mengawal Implementasi Perdagangan Karbon

Terbitnya aturan teknis perdagangan karbon sangat mendesak untuk segera diundangkan.

Hukumonline
Hukumonline

Akhir tahun lalu Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Untuk Pencapaian Target Kontribusi Yang Ditetapkan Secara Nasional Dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional (Perpres 98/2021). Demikian pula dalam sesi G20 di Roma, dinyatakan bahwa penanganan perubahan iklim dan lingkungan hidup, hanya bisa dilakukan dengan bekerja sama dalam tindakan nyata, bukan saling menyalahkan.

Lebih lanjut pada sesi G20 tersebut Indonesia ingin G20 memberikan contoh, Indonesia ingin G20 memimpin dunia, dalam bekerja sama mengatasi perubahan iklim dan mengelola lingkungan secara berkelanjutan dengan tindakan nyata. G20 harus menjadi katalisator pemulihan hijau dan memastikan tidak ada satu pihak pun yang tertinggal. Penanganan perubahan iklim harus bergerak maju seiring dengan penanganan berbagai tantangan global lainnya seperti pengentasan kemiskinan dan pencapaian target SDGs.

Agenda perubahan iklim akan diteruskan dari G20 di Roma diteruskan pada G20 di Indonesia, mengingat Indonesia memiliki arti strategis dalam menangani perubahan iklim sebagai salah satu pemilik hutan tropis terbesar di dunia. Posisi strategis tersebut kami gunakan untuk berkontribusi. Dalam data kementerian lingkungan hidup dan kehutanan per 2020 bahwa deforestasi di Indonesia dapat ditekan ke titik terendah dalam 20 tahun terakhir. Indonesia telah melakukan rehabilitasi 3 juta hektar critical land pada 2010-2020.

Saat ini Indonesia telah menargetkan Net Sink Carbon untuk sektor lahan dan hutan selambat-lambatnya tahun 2030 dan “Net Zero” di tahun 2060. Kawasan Net Zero mulai dikembangkan termasuk pembangunan Green Industrial Park di Kalimantan Utara seluas 13.200 hektar, yang menggunakan energi baru terbarukan dan menghasilkan green product. Jika mengacu pada perhatian Presiden pada G20 di Roma pada November 2021 maka aspek tata kelola perlu menjadi perhatian yang serius.

Tata kelola yang baik di tingkat global untuk penerapan carbon pricing menindaklanjuti Perpres 98/2021 perlu segera dilakukan agar sesuai dengan tujuan Persetujuan Paris dan memberikan insentif bagi partisipasi swasta dengan memperhatikan kapabilitas dan kondisi tiap negara. Saat ini Indonesia sedang dalam tahap akhir penyelesaian regulasi turunan mengenai carbon pricing untuk mendukung pemenuhan komitmen target nasional (national determined contribution/NDC). serta perizinan yang diperlukan dalam perdagangan karbon.

Baca Juga:

Hambatan dan Tantangan

Untuk mencapai perdagangan karbon sebagaimana dimaksud dalam Perpres 98/2021 maka diperlukan aturan pelaksanaan setingkat aturan menteri guna pelaksanaan perdagangan karbon dalam rangka pemenuhan komitmen target kontribusi yang ditetapkan nasional NDC sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 ayat (1) Perpres 98/2021. Dalam Perpres tersebut perdagangan karbon dapat dilakukan baik dalam pasar dalam negeri maupun pada pasar luar negeri, demikian pula perdagangan karbon dapat melalui mekanisme perdagangan mandatori dan voluntary.

Mengingat Pasal 33 UUD 1945 mengenai sifat penguasaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk karbon maka dalam Perpres 98/2021 diatur mengenai keterlibatan pemerintah, terlebih dalam hal ini negara mempunyai tujuan terkait pencapaian perubahan iklim melalui perdagangan karbon. Hal ini khususnya terhadap komitmen yang dibuat pada dunia internasional pada UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) yang digelar di Glasgow Akhir 2021 yang lalu.

Dalam hal ini keterlibatan pemerintah dalam perdagangan karbon baik di dalam negeri maupun keluar negeri adalah melalui pembatasan kuota perdagangan karbon dan aspek perizinan terkait perdagangan karbon. Dalam Perpres 98/2021 dan draft terakhir (draft ke 11) rancangan peraturan menteri (rapermen) dijelaskan bahwa perdagangan karbon keluar negeri hanya dapat dilakukan setelah tercapainya kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC). Dalam draft terakhir rancangan peraturan menteri kuota karbon yang dapat diperdagangkan adalah sebesar lima puluh persen dari kinerja pengurangan emisi.

Hingga saat ini perdagangan karbon dapat dikatakan masih memerlukan proses yang panjang dalam implementasinya. Perdagangan karbon selain memerlukan pengesahan aturan turunan Perpres 98/2021 sebagai aturan implementasi teknis juga memerlukan pembangunan sarana dan prasarana perdagangan yang hingga saat ini belum terbangun. 

Perpres 98/2021 dan rancangan aturan turunannya dijelaskan bahwa perdagangan karbon dapat dilakukan melalui mekanisme pasar karbon melalui bursa karbon dan/atau perdagangan langsung. Persoalannya hingga saat ini belum terbentuk bursa karbon secara nasional demikian pula persoalan perdagangan karbon masih terhambat surat menteri kehutanan dan LHK Nomor S.798/MENLHK-PHPL/KPHP/HPL.0.05/2021 yang memerintahkan penundaan perdagangan karbon secara langsung hingga terbitnya seluruh aturan teknis perdagangan karbon. Sehingga dalam hal ini terbitnya aturan teknis perdagangan karbon sangat mendesak untuk segera diundangkan.

Postner (1991), menjelaskan dalam perspektif economic analysis of law, potensi ekonomi yang tidak didukung dengan kepastian regulasi akan mengalami kendala dalam implementasinya. Mengingat tanpa kepastian regulasi maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam implementasinya dan akan menimbulkan gangguan berusaha (business interruption). Artinya dalam hal ini potensi besar investasi dan pemasukan negara dari perdagangan karbon harus segera didukung oleh terbitnya regulasi teknis sehingga perdagangan karbon di Indonesia tidak hanya menjadi retorika saja.

Demikian juga persoalan lainnya adalah persoalan perizinan dalam bidang usaha perdagangan karbon yang sejak berlakunya UU Cipta kerja dikenal dengan perizinan berusaha pengusahaan hutan (izin PBPH). Kendala lainnya dalam perdagangan karbon adalah persoalan ‘legendaris’ aspek perizinan, baik aspek perizinan PBPH pengusahaan kawasan hutan untuk restorasi ekosistem (untuk peruntukan perdagangan karbon) maupun kelak perizinan perdagangan karbon baik keluar negeri dan dalam negeri.

Mengacu pada laporan bank dunia (2019) atas peringkat kemudahan berusaha di Indonesia, persoalan utama implementasi investasi di Indonesia adalah perizinan dan kepastian hukum. Persoalannya saat ini perizinan PBPH guna peruntukan restorasi ekosistem kebanyakan masih dilaksanakan secara manual di daerah yang tidak transparan dan sangat birokratis sehingga terbitnya rekomendasi gubernur yang dipersyaratkan bagi perizinan lanjutan di kementerian menimbulkan kendala tersendiri.

Selanjutnya perizinan di tingkat kementerian menggunakan sistem OSS – RBA yang pada faktanya hingga saat ini OSS – RBA yang dikelola BKPM pada bidang usaha kehutanan dan lingkungan hidup hingga awal tahun 2022 belum berfungsi sama sekali.

Perbaikan tata kelola perizinan PBPH dan perdagangan karbon akan sangat memegang peranan yang penting dalam realisasi perdagangan karbon. Mengingat pada implementasinya perdagangan karbon akan memerlukan izin otorisasi perdagangan karbon dan pencatatan hasil perdagangan karbon dari menteri kehutanan sehingga perbaikan tata kelola perizinan PBPH dan perdagangan karbon mutlak harus segera dilaksanakan.

*)Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn., adalah Associate Professor dan mengajar di Universitas Prasetiya Mulya.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Prasetiya Mulya dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait