Mengatasi Perubahan Lanskap Perpajakan Secara Global
Berita

Mengatasi Perubahan Lanskap Perpajakan Secara Global

Terjadi perubahan yang besar pada sistem perpajakan internasional yang berpengaruh secara signifikan terhadap sistem perpajakan nasional di masing-masing negara.

CT-CAT
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Kerja sama multilateral negara-negara dunia dalam menyelesaikan masalah perpajakan global kini semakin gencar dilakukan. Lanskap perpajakan secara global, telah mengalami transformasi. Artinya, terjadi perubahan yang besar pada sistem perpajakan internasional yang berpengaruh secara signifikan terhadap sistem perpajakan nasional di masing-masing negara.

 

Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak John Hutagaol mengemukakan, profit shifting dipicu adanya asymmmetric information, yang menggerogoti basis pemajakan di berbagai negara. Hal tersebut juga telah menjadi persoalan global yang tidak bisa dihadapi secara unilateral maupun bilateral saja, melainkan harus dengan kolaborasi internasional.

 

Isu terkini di perpajakan internasional adalah aggressive tax planning yang sudah semakin kompleks dan advance. Beberapa hal yang melatarbelakangi pergeseran lanskap perpajakan internasional, yaitu:

 

  1. Globalisasi. Dengan adanya globalisasi, transaksi antarnegara menjadi tidak terelakkan. Baik transaksi jual atau beli, penyerahan jasa maupun transaksi intangible property menjadi sangat mudah. Batas-batas yurisdiksi negara menjadi kabur/crossborderless. Oleh karenanya, otoritas pajak suatu negara dalam kaitannya dengan transaksi internasional bertugas mencegah agar tidak terjadi pengenaan pajak berganda (double taxation) atau bahkan mencegah tidak adanya pemajakan di kedua negara (double non taxation).
  2. Underground Economy adalah kegiatan-kegiatan ekonomi baik secara legal maupun ilegal yang terlewat dari perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) yang juga dikenal dengan nama lain unofficially economy atau black economy (Scheineider & Enste, 2000). Meningkatkan underground economy menjadi gambaran beratnya beban pajak yang harus ditanggung oleh pelaku ekonomi.
  3. Perkembangan information and Communication Technology (ICT). Era transaksi digital zaman sekarang memungkinkan kita melakukan segala keperluan tanpa beranjak dari tempat duduk. Belanja, membayar tagihan, memesan makanan, bahkan membayar pajak bisa dilakukan dari tempat tinggal. Meningkatnya nilai transaksi e-commerce juga berdampak pada tidak diperlukannya pertemuan langsung antara penjual dan pembeli.
  4. Pertumbuhan Ekonomi Global. Saat ini perekonomian dunia berporos pada tiga titik saja: Amerika, Tiongkok, dan Eropa. Perubahan kebijakan ekonomi ketiga negara tersebut sangat memengaruhi perekonomian negara lain.

 

Pada November 2012, Menteri Keuangan negara-negara G20 sepakat untuk memulai suatu agenda bersama yang diberi nama Proyek Anti-Penggerusan Basis Pajak dan Pengalihan Laba (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS Project). Untuk merealisasikannya, G20 memberikan mandat kepada OECD untuk merumuskan rekomendasi yang diperlukan.

 

BEPS telah menyebabkan persoalan yang serius bagi penerimaan pajak, kedaulatan pajak, serta kepercayaan atas integritas sistem pajak di seluruh negara yang akan berakibat negatif pada investasi, jasa, kompetisi, dan pertumbuhan dan pasar tenaga kerja global (OECD, 2013). Namun, perlu diperhatikan bahwa BEPS tidak mengacu pada kebocoran yang diakibatkan oleh pengelakan pajak lintas batas (offshore tax evasion) yang sifatnya ilegal.

 

Selain berkaitan dengan penghindaran pajak, proyek BEPS juga terkait dengan upaya melawan kompetisi pajak yang merugikan negara lain, melawan perencanaan pajak yang agresif, hingga adanya keinginan untuk koordinasi internasional yang lebih baik di sektor pajak. Dengan demikian, BEPS dalam Proyek Anti-BEPS sesungguhnya tidak hanya mendiskusikan tentang praktik penghindaran pajak. Lebih dari itu, BEPS diletakkan juga dalam konteks keseluruhan lanskap pajak internasional yang menyebabkan maraknya aktivitas penghindaran pajak.

 

Dengan demikian, Proyek Anti-BEPS sesungguhnya berupaya menyelesaikan hampir seluruh persoalan yang ada dalam sistem pajak internasional saat ini, mulai dari kompetisi pajak, kurangnya koordinasi, penghindaran pajak dan perencanaan pajak yang agresif, perilaku perusahaan multinasional, sistem yang adil, serta penerimaan pajak. Proyek Anti-BEPS juga bermaksud untuk memberikan kepastian, mengurangi sengketa, memberikan keadilan dan konsistensi dari sistem pajak internasional.

 

Jadi, dilema yang terjadi di era digital economy dan globalisasi sekarang ini terletak pada kecenderungan otoritas pajak di berbagai negara yang mengalami asymmetric information sehingga kapabilitasnya makin lemah. Masing-masing negara melengkapi aturannya untuk menghadapi isu itu. Tidak cukup sampai di situ, negara-negara juga melakukan bilateral tax agreement hingga membangun kerja sama perpajakan bilateral.

 

Upaya bilateral juga masih belum cukup untuk menyelesaikan permasalahan perpajakan global. Maka diperlukan kolaborasi internasional. Kita perlu bersama-sama menyelesaikan permasalahan global, tidak cukup dengan bilateral apalagi unilateral. Dari kolaborasi internasional ini tentu diharapkan adanya konsensus atau kesepakatan bersama dalam menghadapi permasalahan global. Setelah menghasilkan konsensus, perlu ada komitmen masing-masing negara yurisdiksi untuk menerapkan kesepakatan bersama tersebut ke dalam regulasi domestiknya.

 

Lanskap perpajakan global mulai mengalami pergeseran fundamental, Tepatnya sejak G-20 Leader Summit di London tahun 2009. Dalam pertemuan puncak para pemimpin dunia termasuk Indonesia itu, ditegaskan bahwa era kerahasiaan perbankan sudah berakhir. Sejak itulah peta perpajakan global mengalami pergeseran. Artinya para pemimpin dunia sudah tidak bisa lagi menoleransi karena mereka yang pertama merasakan basis pemajakannya digerogoti oleh aksi aggressive tax planning.

 

Pertukaran informasi sendiri bisa dilakukan oleh otoritas pajak di berbagai negara. Pertama, pertukaran informasi berdasarkan permintaan (by request). Ini bisa dari dalam ke luar atau sebaliknya. Misalnya DJP melakukan pemeriksaan terhadap sebuah perusahaan penanaman modal asing (PMA) dari Singapura yang melakukan transaksi dengan WP Indonesia. Pemeriksa DJP tidak mengetahui dengan pasti kebenaran transaksi yang dilaporkan. Maka DJP melalui direktorat perpajakan internasional dapat berkirim surat kepada otoritas pajak Singapura untuk minta klarifikasi. Pihak Singapura akan menjawab dalam maksimum 90 hari.

 

Kedua, automatic exchange of Information (AEOI) yang dilaksanakan September 2018. Indonesia sudah lulus ujiannya dan kita terus melakukan persiapan. Dalam pertukaran informasi secara automatic, maksudnya tanpa diminta Indonesia akan mengirimkan data atau informasi mengenai WP Indonesia kepada otoritas pajak negara yang membutuhkan. Data-data yang dipertukarkan adalah data keuangan WP, yakni identitas si pemilik rekening, identitas rekening itu sendiri, identitas lembaga keuangan dari rekening, saldo rekening, dan pendapatan yang diperoleh dari rekening itu.

 

Terakhir, spontaneous exchange of information. Misalnya, suatu negara melakukan kegiatan dan memperoleh data informasi dari kegiatan itu. Data itu dikirim ke negara mitra secara spontan. Contohnya orang Indonesia yang belanja barang mewah di luar negeri. Data transaksi dari toko tempat belanja itu akan masuk ke kantor pajak, disortir, lalu dikirim ke kantor pajak negara terkait secara online. Data informasi itu harus dijaga kerahasiaannya oleh kantor pajak. Inilah upaya-upaya untuk menangkal praktik penghindaran pajak yang sudah sangat agresif. Bahkan negara sebesar Amerika Serikat dan Jepang tidak sanggup menghadapinya sendiri. Persoalan global ini mesti dihadapi secara bersama-sama.

 

Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Ikatan Kuasa Hukum dan Advokat Pajak Indonesia (IKHAPI).

Tags:

Berita Terkait