Menganut Prinsip Retroaktif, Perjanjian MLA Indonesia-Swiss Sah Ditandatangani
Berita

Menganut Prinsip Retroaktif, Perjanjian MLA Indonesia-Swiss Sah Ditandatangani

Perjanjian terdiri dari 39 pasal, yakni mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan.

RED
Bacaan 2 Menit
Menkumham Yasonna H Laoly bersama Kepala Departemen Peradilan dan Kepolisian Federal Swiss Karin Keller Sutter saat menandatangani perjanjian MLA. Foto: Humas Kemenkumham
Menkumham Yasonna H Laoly bersama Kepala Departemen Peradilan dan Kepolisian Federal Swiss Karin Keller Sutter saat menandatangani perjanjian MLA. Foto: Humas Kemenkumham

Pemerintah Indonesia bersama Konfederasi Swiss resmi menandatangani perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana atau Mutual Legal Assistance (MLA). Penandatanganan tersebut dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly bersama Kepala Departemen Peradilan dan Kepolisian Federal Swiss Karin Keller Sutter di Bern, Senin (4/2).

 

Yasonna menyambut baik penandatanganan ini. Menurutnya, perjanjian MLA ini sejalan dengan program Nawacita pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. “Perjanjian MLA ini ditandatangani sejalan dengan program Nawacita dan arahan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan. Di antaranya pada peringatan Hari Anti Korupsi se-Dunia pada 2018,” ujar Yasonna sebagaimana dalam siaran pers yang diterima hukumonline.com, Selasa (5/2).

 

Yasonna menekankan, keberadaan perjanjian ini penting sebagai upaya kerja sama hukum antar kedua negara. Mulai di sektor pemberantasan korupsi hingga pengembalian aset hasil tindak pidana atau asset recovery. “Presiden Jokowi menekankan bahwa pentingnya perjanjian ini sebagai platform kerjasama hukum. Khususnya dalam upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi atau asset recovery," tambahnya.

 

Ia menjelaskan, bahwa perjanjian MLA terdiri atas 39 pasal. Di antaranya mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan. Bukan hanya terkait pemberantasan korupsi dan asset recovery, menurut Yasonna, perjanjian MLA ini juga dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan atau tax fraud.

 

Pemerintah Indonesia, kata Yasonna, berupaya memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan. Kemudian tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya. “Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta,” katanya.

 

Yasonna menambahkan, bahwa Perjanjian MLA Indonesia-Swiss menjadi sejarah keberhasilan diplomasi yang sangat penting. Juga merupakan capaian kerjasama bantuan timbal balik pidana yang luar biasa. “Swiss merupakan financial center terbesar di Eropa,” tuturnya.

 

Perjanjian MLA tersebut, atas usulan Indonesia menganut prinsip retroaktif. Prinsip tersebut memungkinkan untuk menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian. Sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan. “Hal ini sangat penting guna menjangkau kejahatan yang dilakukan sebelum perjanjian ini,” ucapnya. Perjanjian MLA Indonesia-Swiss merupakan kerjasama hukum masalah pidana yang ke-10 diteken Indonesia bersama negara lainnya.

 

Baca:

 

Usai ditekennya Perjanjian MLA antara Indonesia-Swiss, Menkumham berharap dukungan penuh dari Dewan Perwakilan Rakyat segera meratifikasi perjanjian MLA ini. Supaya dimanfaatkan oleh para penegak hukum di Indonesia dan instansi terkait lainnya. Sebelumnya bersama negara ASEAN, Australia, Hong Kong, RRC, Korsel, India, Vietnam, UEA, dan Iran. Sedangkan bagi Swiss, perjanjian MLA ini yang ke-14 ditandatangani bersama negara non Eropa.

 

Rupanya, sebelum Perjanjian MLA antara Indonesia-Swiss resmi diteken. Kedua negara sebanyak dua kali gelar pertemuan membahas perjanjian itu. Pertama kali dilakukan di Bali pada 2015. Lalu kedua kalinya pada 2017 di Bern, Swiss untuk menyelesaikan pembahasan pasal-pasal yang belum disepakati pada perundingan pertama kali.

 

Kedua perundingan tersebut sebelumnya dipimpin Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional Cahyo Rahadian Muzhar. Cahyo kini menjabat sebagai Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham. Saat itu, Cahyo mengatakan, kesepakatan ini merupakan terobosan positif penegakan hokum di Indonesia serta kerja sama antar kedua negara.

 

Melalui Perjanjian MLA ini, Indonesia dan Swiss bisa saling bertukar informasi mengenai dugaan tindak pidana yang dilakukan orang tertentu dan berkaitan dengan kedua negara. Perjanjian ini juga menjadi peringatan bagi para koruptor, pengemplang pajak, dan sindikat narkotika untuk tidak mengalirkan dana yang diduga hasil dari kejahatan ke Swiss. Dengan perjanjian ini, ada solusi terhadap masalah yurisdiksi dalam penegakan hukum. Aparat penegak hukum Indonesia semakin mudah mengakses informasi tentang pelarian aset hasil kejahatan ke Swiss.

Tags:

Berita Terkait