Mengantisipasi Risiko Bisnis Bagi Fintech Ketika Masuk Regulatory Sandbox
Utama

Mengantisipasi Risiko Bisnis Bagi Fintech Ketika Masuk Regulatory Sandbox

Konsep ruang uji coba terbatas (Regulatory Sandbox) memiliki risiko bisnis terhadap penyelenggara Fintech yang ditetapkan ‘tidak berhasil’ oleh Bank Indonesia.

Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Diskusi soal Fintech yang diadakan Hukumonline, Selasa (12/12), di Jakarta. Foto: NNP
Diskusi soal Fintech yang diadakan Hukumonline, Selasa (12/12), di Jakarta. Foto: NNP

Konsep ruang uji coba terbatas (Regulatory Sandbox) bagi teknologi finansial atau ‘Fintech’ berpotensi memunculkan risiko bisnis. Salah satu risiko tersebut adalah ketika otoritas bank sentral menyatakan penyelenggara Fintech ‘tidak berhasil’ dalam pelaksanaan uji coba terbatas.

 

Partner dari firma hukum Arfidea Kadri Sahetapy-Engel Tisnadisastra (AKSET), Abadi Abi Tisnadisastra, mengatakan bahwa penyelenggara fintech bidang sistem pembayaran ketika ditetapkan masuk Regulatory Sandbox masih diperbolehkan beroperasi, akan tetapi perusahaan berada dalam pengawasan tertentu oleh bank sentral. Dengan kata lain, bank sentral tetap mengizinkan fintech beroperasi, namun kegiatan yang dilakukan terbatas sebagaimana ditetapkan oleh BI.

 

“Konsep Regulatory Sandbox ini baru di Indonesia. BI hanya akan melakukan Sandbox atas perusahaan yang ada di bawah kewenangan BI, salah satunya sistem pembayaran. Jadi, walaupun ada perusahaan non-sistem pembayaran (meskipun) tetap daftar, (namun) yang bisa masuk Sandbox hanya perusahaan yang menurut BI dianggap patut diawasi,” kata Abi saat diwawancarai Hukumonline di Jakarta, Selasa (12/12).

 

Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial mengatur, bank sentral dapat menetapkan suatu penyelenggara fintech beserta produk, layanan, teknologi, dan model bisnisnya diuji coba dalam Regulatory Sandbox sepanjang memenuhi kriteria menurut Pasal 3 ayat (2) aturan tersebut yakni bersifat inovatif, berdampak pada produk, layanan, teknolgi serta model bisnis finansial yang telah eksis, memberikan manfaat bagi masyarakat, dapat digunakan secara luas, serta kriteria lain yang ditetapkan bank sentral.

 

Setelah masa uji coba ternyata bank sentral menetapkan hasil uji coba tidak berhasil, maka penyelenggara fintech dilarang memasarkan produk dan/atau layanan serta menggunakan teknologi maupun model bisnisnya. Dikatakan Abi, ada risiko bisnis yang berpotensi dialami oleh setiap penyelenggara fintech yang dinyatakan tidak berhasil oleh bank sentral ketika masuk Regulatory Sandbox. Menurutnya, penyelenggara fintech mesti memitigasi risiko bisnis tersebut semenjak awal perencanaan masuk ke industri sistem pembayaran.

 

“Kita bisa bilang ada risiko bisnis di mana untuk perusahaan teknologi itu ada investasi. Bagaimana kalau ternyata sudah investasi sekain banyak tapi ternyata kemudian dianggap BI suatu bisnis yang belum saatnya diberikan izin operasi. Dalam konteks itu, ini lebih ke commercial issue dari pada legal issue,” kata Abi.

BAB IV

REGULATORY SANDBOX

 

Pasal 11

(1) Guna memberi ruang bagi Penyelenggara Teknologi Finansial untuk memastikan lebih lanjut bahwaproduk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya telah memenuhi kriteria Teknologi Finansialsebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Bank Indonesia menyelenggarakan RegulatorySandbox.

(2) Bank Indonesia menetapkan Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox.

(3) Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya yang dapat ditetapkan masuk dalam Regulatory Sandbox harus merupakan Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) atau telah menyampaikan informasi kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).

 

Pasal 12

(1) Bank Indonesia menetapkan jangka waktu tertentu bagi Penyelenggara Teknologi Finansial untuk melakukan uji coba dalam Regulatory Sandbox sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.

(2) Setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba Penyelenggara Teknologi Finansial berupa:

  1. berhasil;
  2. tidak berhasil; atau
  3. status lain yang ditetapkan Bank Indonesia.

(3) Dalam hal uji coba dinyatakan berhasil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial kategori sistem pembayaran maka Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang diujicobakan sebelum terlebih dahulu mengajukan permohonan izin dan/atau persetujuan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.

(4) Dalam hal uji coba dinyatakan tidak berhasil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial kategori sistem pembayaran maka Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk dan/atau layanan serta menggunakan teknologi dan/atau model bisnis yang diujicobakan.

(5) Dalam hal produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial selain kategori sistem pembayaran, Bank Indonesia dapat menyampaikan status hasil uji coba Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada otoritas yang berwenang

 

Pasal 13

(1) Selama proses uji coba dalam Regulatory Sandbox, Bank Indonesia dapat menetapkan kebijakan tertentu bagi Penyelenggara Teknologi Finansial.

(2) Penetapan kebijakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan karakteristik produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang diuji coba.

 

Pasal 14

Ketentuan lebih lanjut mengenai Regulatory Sandbox diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.

 

Direktur Departemen Hukum BI, Imam Subarkah, menjelaskan konsep Regulatory Sandbox dilakukan untuk mengidentifikasi model bisnis sebelum ditetapkan oleh otoritas menetapkan penyelenggara fintech apakah masuk kegiatan tertentu di bawah pengawasan BI. Kalau ternyata uji coba tersebut tidak berhasil, kata Imam, penyelenggara fintech dapat kembali mengajukan permohonan kepada BI.

 

“Di Sandbox yang dilihat itu produknya apa, layanannya apa, teknologi seperti apa, dan yang dilihat adalah keamanannya ketika produk ini di-launching itu memang bisa aman. Sehingga Sandbox itu adalah tempat untuk mengamati model bisnis yang sedang diajukan,” kata Imam.

 

Selama dalam masa uji coba selama enam bulan atau maksimal satu tahun, penyelenggara fintech diperbolehkan beroperasi namun dibatasi ruang lingkupnya. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial, menyebutkan bahwa BI menetapkan skenario uji coba produk layanan, teknologi, dan/atau model bisnis. Dengan kata lain, penyelenggara fintech dalam Regulatory Sandbox hanya dapat menyelenggarakan kegiatan sesuai dengan skenario yang ditetapkan tersebut.

 

“Selama dalam Sandbox,dia belum boleh memasarkan kepada masyarakat. Dia [fintech] boleh dalam konteks Sandbox, bukan dalam konteks umum. Pas Sandbox itu di-define dulu, jadi Sandbox batasannya misalnya penerbit Uang Elektronik, Sandbox-nya itu uji coba dan bisa dipasarkan ke maksimal 200 konsumen,” kata Imam.

 

Jalan Keluar

Menurut Abi, kunci utama memitigasi risiko bisnis sebelum terjun menjadi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) adalah perencanaan yang matang. Setelah memenuhi syarat pendirian perusahaan sebagaimana PBI 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (PTP), penyelenggara fintech mesti merancang rencana bisnis yang matang dan reasonable dengan target bisnis yang nantinya disampaikanketika mengajukan permohonan.

 

“Pada waktu kita punya business plan bahwa kita (perusahaan) pada tahun pertama akan punya misalnya 500ribu users, tapi kita taruh modalnya minimum, BI akan komentar. Apakah modal segini kalian bisa achieve, jadi kita harus juga reasonable dalam men-submit aplikasi dan BI bisa juga minta menyesuaikan permodalannya, ada kemungkinan seperti itu,” kata Abi.

 

Hukumonline.com

 

Berdasarkan pengalaman, Abi mengatakan, syarat IT Audit dalam pendaftaran menjadi salah satu hal yang cukup sulit lantaran perusahaan membutuhkan investasi hingga jutaan dollar. Sementara itu, tidak ada jaminan yang diberikan ketika penyelenggara fintech akan diberikan izin operasional oleh bank sentral sekalipun telah mengucurkan banyak uang untuk memenuhi ketentuan tersebut. Abi memaklumi syarat tersebut lantaran bank sentral berusaha memastikan bahwa izin yang diterbitkan tidak mengganggu sektor jasa keuangan dan stabilitas sistem keuangan.

 

Hanya saja, masih kata Abi, tetap ada risiko bisnis yang berpotensi dihadapi perusahaan terlebih lagi ketika perusahaan memiliki investor. Bukan menjadi persoalan ketika misalnya suatu perusahaan didirikan tidak sebagai single purpose. Contohnya, perusahaan konsultan manajemen lalu terjun menjadi pemain electronic money (e-money). Ketika permohonan sebagai PJSP tidak diterima BI, perusahaan tersebut tetap dapat beroperasi sebagai perusahaan konsultan manajemen.

 

“Pada waktu e-money tidak approve, mereka tidak bisa menyelenggarakan kegiatan e-money, tapi bisa menjalankan kegiatan yang sudah ada (existing) lainnya. Dalam konteks perusahaan masuk regulatory sandbox hanya ditujukan untuk fintech dan kemudian tidak bisa, secara teori perusahaan itu harus diubah peruntukkannya atau masuk dalam ranah likuidasi kalau para shareholders-nya merasa tidak perlu dilanjutkan,” kata Abi.

 

Namun, implikasi hukumnya tidak se-simple yang dilihat. Abi mengatakan, bila perusahaan tersebut memiliki investor biasanya terdapat perjanjian yang mendahulukan hak-hak investor dalam likuidasi. Perjanjian investasi (investment agreement) juga mengatur posisi investor berada di atas para pendiri perusahaan sehingga ketika likuidasi, investor mendapat prioritas atas proses likuidasi tersebut.

 

“Kalau perusahaan single purpose tidak dapat lisensi, dia tidak boleh lagi melakukan kegiatan lain. [pilihannya] dia mengubah anggaran dasar atau dia dilikuidasi,” kata Abi.

 

Tags:

Berita Terkait